Pendiri Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh tentu bukan
nama yang asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang menggeluti
dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding
sebagai 'biang pemecah belah umat', membuat dakwah mereka sangat populer dan
mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.
Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; ”Mas, Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh.
Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.
Jamaah Tabligh didirikan
oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan
bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il
Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad- Dihlawi.
Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di
daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi),
ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh
berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah
terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti
dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin
Al-Jisyti.
Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
Latar Belakang Berdirinya
Jamaah Tabligh
Asy-Syaikh Saifurrahman
bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang
Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam,
berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama
dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali
hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati
Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid
Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan
ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan
arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah
At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa
Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19)
Merupakan suatu hal yang
ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya
Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke
makan Rasulullah (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 3).
Markas Jamaah Tabligh
Markas besar mereka berada
di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah
desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka
(Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan
India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas,
nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi
empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)
Yang lebih mengenaskan,
mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka,
di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai
orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi
dan orang-orang shalih dari kalangan mereka.
Padahal Rasulullah
melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid. bahkan
mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.
(Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya Asy-Syaikh
Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12)
Asas dan Landasan Jamaah
Tabligh
Jamaah Tabligh mempunyai
suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung
berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam
landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian
sebagai berikut:
Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna
Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu
dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah,
bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat
dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”.
Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid
rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4).
Padahal makna Laa Ilaha
Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang
berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55).
Adapun makna
merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al- uluhiyyah,
ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha,
karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10).
Dan juga sebagaimana
dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya
membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan,
bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)
Oleh karena itu,
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara
'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal
dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid.
Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah,
di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah
saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid
uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini,
mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash
shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada
Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah
At-Tablighiyyah, hal. 46).
Sifat Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi
berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan
tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat,
kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih
lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut
Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya
segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.
5- 6).
Sifat ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi ilmu
menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut
mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu
fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di
bawah, red) dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan
ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta
dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang
sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang bergaul
dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba
ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku
pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang
yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para
ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan
ringkas).
Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya Jamaah
Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat
keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara
(kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan
sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka
atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang
tersebut 'alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin,
tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8)
Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi
bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah
porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh
adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka
dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka
biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)
Sifat Keenam: Dakwah dan
Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata'ala
Cara merealisasikannya
adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah
Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari
setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan
menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari
suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari,
majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di
rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit,
mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap
hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj,
serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj,
mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen)
yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal
khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang.
Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj
maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya
seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari
tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi
dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih
banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)
Asy-Syaikh Abdurrazzaq
'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan
Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan
tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di
Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh,
hal. 6)
Aqidah Jamaah Tabligh dan
Para Tokohnya
Jamaah Tabligh dan para
tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah. Demikian
pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya
Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan,
bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah
aqidah adalah:
1. Keyakinan tentang
wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab Tablighi
Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar,
Lahore).
2. Sikap berlebihan
terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib.
(Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet.
Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul kepada
Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka
dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail
Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
4. Keyakinan bahwa
para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail
A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5. Keyakinan bahwa
seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari
perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet.
Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan
keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi
(lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang
pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun
1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah
syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari
Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
7. Saling berbai’at
terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah,
Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh
Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An
Tushahhah, hal. 12).
8. Keyakinan tentang
keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk
berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail
Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran suatu
kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau
perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj
Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).
10. Keharusan untuk
bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria
Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha,
hal. 70).
11. Banyaknya
cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal
mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam
kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal.
50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka
jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.
Semangat Dakwah
A. Pendahuluan
Bagi
seorang yang ingin mengetahui kesesatan sebuah paham atau kelompok hendaknya
dia mengetahui terlebih dahulu mana pemahaman yang benar dan mana pemahaman
yang salah. Banyak kita saksikan seseorang kebingungan bila dia mendengar atau
membaca pernyataan bahwa : Ini adalah pemahaman yang sesat dan itu adalah
pemahaman yang menyeleweng! Mengapa dia bingung. Hal itu terjadi tidak lain
karena dia belum mengetahui perkara yang benar dan yang salah. Kebingungan ini
tidak hanya melanda orang awam saja. Akan tetapi para pelajar, mahasiswa, dan
kalangan intelek pun mengalami hal yang sama. Untuk itu sudah seharusnya
seorang itu terlebih dahulu mengetahui kebenaran sehingga bila diajak berbicara
tentang firqah-firqah sesat semacam syi’ah, mu’tazilah, jahmiyah, dan
lain-lainnya tidak akan merasa heran. Begitu juga berkaitan dengan tema yang
akan kita angkat kali ini tentang jamaah tabligh. Sudah semestinya seorang
Muslim mempelajari kebenaran yang terdapat pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah
dan bagaimana sikapnya terhadap jamaah ini.
Berpenampilan
zuhud. Berjalan ke sana kemari. Bergerombol. Ada yang menenteng kompor. Ada
yang berjalan telanjang kaki. Mengajak orang-orang ke masjid. Mereka jama’ah
(firqah) Tabligh. Ada apa lagi dengan mereka? Tidakkah cukup satu edisi
membicarakan tentang mereka? Tidakkah merasa bosan? Apakah orang yang
berdakwah, mengajak ke masjid dan rajin beribadah itu dikatakan sesat?
Beranikah engkau menyatakan mereka sebagai orang yang sesat?! Itulah
permasalahannya! Apakah kita tega untuk menyatakan sesat orang yang memang
telah dikatakan sesat oleh para ulama kaum muslimin?! Apakah kita tetap lebih
mendahulukan perasaan kita daripada ilmu yang menerangkan siapa mereka
sebenarnya di balik baju kezuhudannya?! Apakah kita ragu mengatakan sesat orang
yang memang sesat tetapi menutupi kesesatannya dengan berpura-pura zuhud??
Apakah
kita ragu untuk membela agama Allah dari kerusakan yang mereka lakukan melalui
baju tadi? Ataukah kita malah menyalahkan orang yang menerangkan tentang
kesesatan mereka? Di edisi ini kita akan menambah ilmu tentang kesesatan
mereka, bukan untuk mengikuti mereka. Tapi untuk berhati-hati. Sebagaimana yang
dikatakan oleh seorang penyair.
Aku mengetahui kejelekan bukan untuk mengikutinya.
Akan
tetapi untuk berhati-hati!
Karena
siapa yang tidak mengetahui kejahatan,
dia
akan terperosok ke dalamnya.
Setelah Anda mempelajari ‘aqidah ahlus sunnah yang benar, akan tampak kesalahan besar yang mereka lakukan. Kalau anda belum mempelajarinya, maka anda akan menganggapnya enteng dan biasa-biasa saja.
Sebelum kita berbicara tentang kesalahan-kesalahan Firqah Tabligh, maka kita akan memaparkan dulu sekilas sejarah mereka.
B. Sesatkah Jamaah
Tabligh
Firqah
ini berdiri di India melalui usaha Muhammad Ilyas Al Kandahlawi, seorang
penganut tarikat sufiyah Naqsyabandiyah yang salah satu pemahaman yang amat
bahaya ialah apa yang dinamakan Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa Allah
menyatu dengan hambaNya yang dicintaiNya bila hamba tersebut telah mencapai
tingkatan kewalian tertentu.
Kemudian
menyebar di India, Pakistan hingga menembus negeri-negeri Arab dan di sana
berdiri markas-markas mereka dan muncul para da’inya. Dan juga menembus
negeri-negeri non Islam. Pusat kepemimpinannya ada di kampung Nizamuddin di
kota Delhi. Dan dari sana juga bersumber segala perintah dan maklumat kelompok
ini.
Tidak
diragukan lagi bahwa jamaah tabligh adalah suatu kelompok dakwah yang telah
menyebar kemana-mana. Tapi sebenarnya bagaimana jamaah ini bila dilihat dengan
kacamata ajaran Islam. Kalau kita menengok sejarahnya, jamaah ini dirintis oleh
Muhammad Ilyas Ad Diobandi Al Jisti Al Kandahlawi kemudian Ad Dahlawi. Dia
adalah pendiri jamaah tabligh di India. Dia pula yang merancang dan merumuskan
ushulus sittah (enam dasar) ajaran jamaah tabligh. Ini dengan isyarat gurunya,
Rasyid Ahmad Kankuhi Ad Diobandi Al Jisti An Naqsyabandi dan Asyraf Ali At
Tanuhi Ad Diobandi Al Jisti. (Lihat Al Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit
Tabligh oleh Syaikh Hamud At Tuwaijiri halaman 24).
Kemudian
dilanjutkan gerakan ini oleh anaknya, Yusuf. Dan pimpinan mereka sekarang
adalah In’amul Hasan. (Halaman 7).
Jamaah
ini dibangun di atas empat jenis tarekat sufi : Jistiyah, Qadiriyah,
Sahrawardiyah, dan Naqsyabandiyah. Di atas empat tarekat sufi inilah In’amul
Hasan membaiat para pengikutnya yang telah dianggap pantas untuk dibaiat.
(Halaman 7-8).
Dari
sini telah nampak jamaah tabligh tidaklah mendasarkan pemahamannya kepada
pemahaman Salaf As Shalih sebagai dasar pemahamannya pasti sesat. Dan berikut
ini kita akan mendapatkan bukti nyata kesesatan mereka. Penampilan zuhud jamaah
tabligh telah menipu sebagian besar kaum Muslimin sehingga ketika ada orang
yang menyatakan bahwa mereka adalah kelompok yang sesat tiba-tiba terkejut
sambil berkata: “Apakah orang-orang yang zuhud seperti itu sesat dan salah.!”
Rupanya, orang-orang seperti ini tidak paham pokok dan dasar Ahlus Sunnah wal
Jamaah dalam menilai sesat atau tidaknya suatu kelompok tertentu. Mereka
mengukur baik dan buruk hanya dari segi penampilan luar tanpa melihat bagaimana
keadaan dalamnya.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang yang arif dan bijaksana. Mereka menghukumi kelompok atau perorangan tidaklah berdasarkan hawa nafsu atau karena sakit hati tetapi dengan ilmu dan bukti-bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan semua makhluk. Berapa banyak orang-orang sufi yang berpenampilan sederhana dan zuhud tidak luput dari kritikan dan kecaman pedas dari para ulama. Mereka bisa menipu orang awam tapi jangan harap bisa menipu ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ahli
Tarikh Islam, Al Imam Al Hafidh Adz Dzahabi mengomentari tertipunya Al Manshur,
seorang khalifah Bani Abbasiyah karena ulah seorang tokoh mu’tazilah, ‘Amr bin
‘Ubaid. Khalifah bersyair :
Semua kalian berjalan dengan perlahan-lahan
Semua
kalian memburu buruannya
Kecuali
‘Amr bin ‘Ubaid
Imam
Adz Dzahabi berkata : “Dia (Manshur) tertipu dengan kezuhudan dan lagak
keikhlasannya hingga dia melupakan kebid’ahannya.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala
6/105 dan Naqdur Rijal karya Syaikh Rabi’ halaman 12)
C. Ushulus Sittah
“Jamaah
ini memiliki manhaj yang dijadikan dasar sebagai tempat rujukan yang dinamakan
Ushulus Sittah (enam dasar), Ushulus Sittah tersebut berisi :
1. Merealisasikan kalimat thayibah Laa Ilaha
Illallah Muhammadar Rasulullah.
2. Shalat dengan khusyu’ dan khudhu’ (penuh
ketundukan).
3. Ilmu dan dzikir.
4. Memuliakan kaum Muslimin.
5. Memperbaiki niat dan mengikhlaskannya.
6. Keluar (khuruj) di jalan Allah.
Tujuan
mereka berkisar untuk merealisasikan enam dasar (ushulus sittah) yang selalu
mereka dengang dengungkan siang malam, yaitu:
1. Merealisasikan syahadat Laa Ilaaha Illallah dan
Muhammad Rasulullah. Yang mereka maksudkan dengannya adalah: mengeluarkan
keyakinan yang rusak dari hati kepada benda-benda dan memasukkan keyakinan yang
benar terhadap dzat Allah dengan meyakini bahwa Allah adalah dzat yang
pencipta, pemberi rezki, pemberi manfaat, pemberi bahaya, memuliakan,
menghinakan, menghidupkan, mematikan, pemberi, dan penahan. Mereka memahami
kalimat tauhid sebatas makna tauhid Rububiyyah saja. Adapun makna secara
uluhiyyah, maka itu disepelekan mereka secara ilmu dan amalan dan sikap
menyepelekan tauhid uluhiyah yang berkembang di kalangan mereka, sangat tampak
khususnya di kalangan pengikut mereka yang berasal dari non arab.” (Waqafat
Ma’a Jama’atit Tabligh, Nazar Al Jarbu’ hal 5-6).
Tentang
pemaknaan Laa Ilaaha Illallah dengan: Mengeluarkan keyakinan yang rusak dari
hati kepada benda-benda dan memasukkan yang benar terhadap dzat Allah.
Pernah
ditanyakan kepada syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhahullah dan
beliau menjawab dengan: “Ini adalah penafsiran yang batil. Salafush shalih
tidak pernah mengenalnya. Dan bukan maksudnya engkau meyakini Allah dan
mengeluarkan keyakinan dari selainNya, karena ini tidak mungkin. Karena
keyakinan bisa terjadi pada selain Allah, sebagaimana dalam ayat (yang
artinya): “Niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka jahannam, dan
sesungguhnya kalian benar- benar akan melihatnya dengan pandangan yang
menimbulkan keyakinan.” (At Takatsur: 6-7).
Meyakini sesuatu yang terjadi bisa dirasakan tidaklah menghapus tauhid, maka menurut keterangan ini, tafsiran seperti itu tertolak. (Ta’liqat ‘ala Kitab Kasyfusy Syubhat, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin hafizhahullah hal. 19).
2. Shalat dengan khusyu’. Mereka sangat
memperhatikan penunaian shalat walau bagaimanapun sibuknya demikian juga kekhusyu’annya,
selalu memperhatikan shaf pertama, dan berbuat amalan sunnat. Perkara ini
memang dituntut kepada setiap muslim dan pelakunya akan diberi pahala oleh
Allah, akan tetapi mereka meremehkan sisi mempelajari rukun-rukunnya,
kewajiban-kewajibannya, sunnah- sunnahnya dan hukum-hukumnya.” (Waqafat… hal
6).
Syaikh
Al Albani dalam kasetnya yang berjudul “Nasehat untuk Jama’ah Tabligh”
mengatakan bahwa mereka mendapatkan ilmu tentang tauhid, shalat dan yang
lainnya tidak dari jama’ah mereka, tapi dari berbagai tempat karena memang
dalam kelompok mereka tidak memperhatikan bidang-bidang ilmu tersebut.
3. Ilmu. Dan yang mereka maksudkan adalah ilmu
fadhail dan ilmu tentang keorganisasian jama’ah tabligh,
permasalahan-permasalahannya, tarekat-tarekat Sufiyah para syaikhnya dan ilmu
tentang permisalan-permisalan yang mereka buat. Adapun ilmu tentang hukum-hukum
dan masalah-masalah fiqih serta ilmu tauhid, maka tidak mereka perhatikan dan
hargai. Mereka istilahkan ilmu-ilmu tersebut sebagai ilmu Masa`il yang mereka
anggap bisa menjadi sumber perpecahan di kalangan ummat.
4. Memperbaiki niat agar amal bersih dari riya’
dan ingin dikenal orang.
5. Menghormati kaum muslimin dan bersikap lembut
kepada mereka. Mereka keterlaluan dalam hal ini hingga meninggalkan amar ma’ruf
dan nahi mungkar dengan alasan untuk menyatukan hati.
6. Khuruj di jalan Allah. Mereka membatasinya
dengan khuruj bersama mereka untuk berdakwah.” (Waqafat… hal 6-7 dengan
beberapa ringkasan).
Perhatikanlah
wahai para pembaca yang budiman terhadap Ushulus Sittah ini. Kemudian kita
lihat apakah mereka berada di atas manhaj yang benar dalam memahami,
mempraktikkan, dan mendakwahkan dasar-dasar ini. Sebelum kita membicarakannya,
Anda harus mengetahui terlebih dahulu bahwa Ushulus Sittah ini memiliki Kalimat
Rahasia. Jika Anda telah mengenalinya akan bisa –dengan ijin Allah– memahami
semua pendapat dan gerakan jamaah ini dengan mengembalikan semua ucapan dan
perbuatan tersebut kepada Kalimat Rahasia ini. Kalimat Rahasia itu adalah
segala sesuatu yang menyebabkan lari atau berselisih antara dua orang maka
harus diputus dan dilenyapkan dari manhaj jamaah ini.
Sekarang
mari bersama saya membahas dasar yang pertama jamaah ini, yaitu merealisasikan
dua kalimat syahadat.
Apakah
Anda telah mengetahui cara merealisasikan dua kalimat syahadat di atas.
Realisasi
dua kalimat syahadat itu adalah dengan cara mewujudkan tiga jenis tauhid,
Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ was Sifat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan
Alus Syaikh rahmatullah ‘alaihi mengatakan dalam Kitab Fathul Majid halaman 84
:
“Ucapan beliau, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab : ‘Bab Siapa Yang Merealisasikan Tauhid Akan Masuk Surga Tanpa Dihisab. Yaitu tanpa diadzab.’ Saya (Syaikh Abdurrahman) katakan : Merealisasikannya adalah (dengan cara) memurnikan dan membersihkannya dari noda-noda syirik, kebid’ahan, dan kemaksiatan.” Setelah kita memahami makna kalimat tauhid di atas dan Kalimat Rahasia yang ada pada mereka baiklah sekarang kita lihat realisasinya pada jamaah ini. Mereka merealisasikan kalimat ini dengan hanya berbicara sekitar tauhid Rububiyah saja. Mengapa demikian. Karena hal itu tidak sampai menyebabkan terjadinya perpecahan, membuat orang lari, dan berselisih antara dua orang Muslim.
Adapun kalau berbicara tentang tauhid Al Asma’ was Shifat maka akan menyebabkan terjadinya perpecahan, membuat orang lari, dan perselisihan karena di sana ada kelompok asy’ariyah, maturidiyah, jahmiyah, hululiyah, ittihadiyah, dan Salafiyah. Mereka semua berbeda dalam masalah ini. Dan dasar yang dijalani oleh jamaah tabligh dalam Kalimat Rahasia ini bahwa sesuatu yang akan menyebabkan orang lari, perselisihan, dan perpecahan antara dua orang maka harus dibuang dan ditiadakan dari manhaj jamaah ini.
Demikian juga jenis ketiga dari bagian tauhid, yaitu tauhid Uluhiyah maka pembicaraan dalam masalah ini diputus dan ditiadakan karena akan menyebabkan terjadinya perpecahan dan perselisihan karena nanti ada yang Salafi dan ada yang khalafi quburi. Yang pertama (Salafi, pent.) tidak membolehkan seseorang bepergian ke kuburan, shalat di sisinya, (shalat) ke arahnya, thawaf di situ, tawassul dengan orang-orang shalih, istighatsah kepada mereka, dan seterusnya. Berbeda dengan yang kedua (khalafi quburi, pent.), semua hal tadi boleh bahkan yang kita sebutkan tadi adalah intisari agama mereka.
Oleh karena itu wahai saudaraku yang mulia, jika ada di antara mereka yang menerangkan dasar ini tidaklah mereka mengatakan kecuali segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kepada kita, memberi nikmat kepada kita, dan seterusnya yang berkaitan dengan tauhid Rububiyah saja. Kita telah mengetahui bahwa yang namanya ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, serta ucapan para shahabat, apakah dalam bidang aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, dan yang lainnya. Mereka menyatakan ilmu itu ada dua, ilmu fadha’il yang berasal dari mereka dan ilmu masa’il yang berasal dari para ulama yang berada di setiap negeri. Setiap orang yang khuruj (keluar berdakwah) bersama mereka hendaknya mengambil (ilmu masa’il) tersebut dari para ulama di negeri masing-masing.
Apakah Anda telah memperhatikan pembagian ini. Dan mengapa mereka membolehkan seseorang berbicara tentang ilmu fadha’il dan melarang berbicara ilmu masa’il bahkan menganjurkan orang yang khuruj bersama mereka untuk mengambil ilmu tersebut dari para ulama di negeri masing-masing. Karena ilmu yang pertama (fadha’il) tidak menimbulkan perpecahan dan perselisihan, berbeda dengan yang kedua yang akan menimbulkan perpecahan.
Dalam perkara amar ma’ruf nahi munkar mereka juga menggunakan senjata Kalimat Rahasia ini. Mestinya amar ma’ruf nahi munkar itu diterapkan dalam semua perkara akan tetapi mereka menerapkannya dalam perkara yang sekiranya tidak menimbulkan perpecahan. Lalu bagaimana mereka mempraktikkannya. Maka jawabnya dengan cara pemaparan, yaitu mereka memaparkan hadits-hadits dan ayat-ayat yang berisi anjuran untuk melaksanakan perbuatan itu atau meninggalkan perbuatan yang dilakukannya tanpa menembus sisi aqidah. Mereka akan mengatakan kepada orang yang meninggalkan shalat –misalnya– : “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mukminun : 12) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam besabda : “Tidaklah setiap hamba Muslim shalat untuk Allah di setiap harinya dua belas rakaat tathawwu’ bukan fardlu kecuali Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di Surga.” Ini keutamaan shalat yang sunnah maka bagaimana dengan yang fardlu.
Oleh
karena itu bila ada orang yang bermaksiat ikut khuruj (keluar) bersama mereka
ingin merokok maka mereka membolehkannya bahkan membelikan rokok untuknya.
Demikian juga peminum arak mereka akan membawakan botolnya. Dan kalau orang itu
ingin mencukur jenggotnya mereka akan berikan pisau cukur untuknya atau mereka
akan membawanya ke tukang cukur. Mungkin Anda akan berkata : “Ini hanyalah
hal-hal yang dilebih-lebihkan saja.” Maka saya katakan : “Semoga Allah memberi
hidayah kepadaku dan kepada Anda.” Cerita tidak sama dengan orang yang
menyaksikan. Lihatlah buku-buku yang mengkritik mereka, Anda akan dapati
perkara yang lebih aneh lagi.
Ketahuilah,
mereka memiliki dua pertemuan rutin di malam Selasa dan Rabu. Pertemuan pertama
untuk orang-orang yang pulang dari khuruj. Pada pertemuan pertama dihadirkan di
hadapan mereka orang-orang yang ingin diberi semangat untuk khuruj bersama
mereka atau untuk mempengaruhi mereka. Pertemuan kedua untuk menata khuruj pada
waktu Ashar di hari Rabu. Amir pertemuan berkata kepada salah seorang yang
telah khuruj –agar yang baru dan para pendengar mengetahui– : “Berapa hari Anda
khuruj.” Yang khuruj menjawab: “Saya khuruj selama 4 bulan di jalan Allah.”
Sang amir berkata : “Masya Allah! Di mana Anda habiskan semua waktu Anda itu.”
Yang khuruj menjawab : “10 hari di negeri-negeri Teluk, 20 hari di belantara
Afrika, 1 bulan di Eropa, 1 bulan di Amerika Selatan, 1 bulan di Asia Timur,
India, dan Pakistan.” Maka sang amir pertemuan berkata (perhatikan ucapannya) :
“Masya Allah! Anda adalah dai dan ketahuilah dai itu seperti awan yang datang
ke bumi turun berupa air hujan kemudian menyirami mereka. Berbeda dengan ulama,
mereka itu ibarat sumur, jika Anda merasa haus Anda harus menempuh perjalanan
sejauh 1 mil untuk mendatangi sumur itu maka Anda akan mati dulu sebelum sampai
ke sumur tersebut. Bahkan mungkin Anda tidak bisa minum karena timba yang
digunakan untuk mengambilnya tidak ada. Dan kalau Anda ingin minum maka Anda
harus datang ke pinggir sumur kemudian menimba dulu baru engkau bisa minum.”
Apakah Anda merasa tergugah –seperti tergugahnya para pendengar cerita itu– yang lebih memuliakan dai dari orang yang alim! Maka akibat dari cerita ini jika salah seorang di antara mereka ingin duduk menuntut ilmu, diceritakanlah kisah ini maka akhirnya diapun ingin menjadi awan saja daripada menjadi sumur!.
Agar
Anda tidak kebingungan setelah membaca kisah ini maka harus diterangkan di sini
kekeliruannya. Saya katakan –dengan mengharapkan bimbingan Allah– : Ketahuilah
–semoga Allah membimbing kita kepada jalan-jalan kebaikan– bahwa awan yang
turun berupa hujan tidaklah menumbuhkan kecuali rerumputan untuk pakan ternak
pada umumnya dan hanya menumbuhkan rumput yang bersifat musiman. Bahkan kalau
hujan itu turunnya di bumi yang gersang atau tidak pada musimnya, tidak
bermanfaat. Dan kadang-kadang awan itu membawa kerusakan dan menimbulkan
kehancuran. Berbeda halnya dengan air sumur, dia bisa dijadikan air minunm dan
untuk bercocok tanam. Dan biasanya daerah yang ada sumurnya kehidupan di sana
lebih bertahan lama karena penduduknya bisa bercocok tanam, minum, memanen
hasil tanamannya, dan seterusnya. Dan keberadaan sumur bisa memberi manfaat
bagi orang yang tinggal di situ dan bagi orang yang lewat apakah untuk diri
mereka, tunggangan mereka, untuk tanaman mereka, dan perbekalan mereka dengan
cara disimpan dalam bejana-bejana. Sumur, setiap saat airnya bersih, jernih,
dan harum, apakah Anda berpikir untuk meninggalkannya??
Ada
kisah lain, mudah-mudahan semakin memperjelas kesesatan jamaah ini. Diceritakan
di hadapan para pemula yang ingin menuntut ilmu syar’i bahwa salah seorang di
antara mereka berkata : “Kemana Anda akan pergi wahai fulan.” Maka yang lain
akan menjawab : “Aku akan pergi belajar.” Kemudian orang yang pertama tadi
berkata : “Untuk apa.” Yang lain berkata : “Agar aku mengetahui perkara yang
halal dan haram.” Yang pertama berkata : “Subhanallah, Anda tidak tahu perkara
yang halal dan haram.! Apakah anda tidak mendengar bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Mintalah fatwa kepada hatimu meskipun banyak
orang yang memberi fatwa kepadamu.’ Subhanallah, sampai sekarang engkau
tidak mengetahui perkara yang halal dan yang haram padahal banyak binatang yang
mengerti tentang itu. Apakah Anda tidak melihat kucing ketika Anda letakkan
makanan di suatu tempat kemudian Anda pergi dan kembali lagi sebentar setelah
itu maka Anda akan lihat dia memakannya dan ketika melihatmu dia akan lari.
Berbeda dengan kalau Anda duduk di atas kursi makanmu kemudian Anda letakkan di
sebelahmu sesuatu makanan maka dia akan makan dengan tenang di sebelahmu. Pada
kasus yang pertama kucing itu tahu bahwa dia terjatuh ke dalam perbuatan yang
haram oleh karena itu dia lari. Dan pada kasus yang kedua, dia tahu bahwa
makanan yang didapatkannya halal oleh karena itu dia makan bersamamu dengan
tenang. Wahai saudaraku, akal kaum Mukminin bisa membedakan mana yang halal dan
mana yang haram! Oleh karena itu mintalah fatwa kepada hatimu walau banyak
orang yang memberi fatwa kepadamu.!”
Maka wahai saudaraku, apakah Anda setuju dengan permisalan seperti itu. Tentunya bagi seorang Muslim dalam menentukan perkara halal/haram dan perkara lain dalam urusan agama ini harus bersandar kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Sebab kalau masing-masing orang diberikan kebebasan menentukan urusan agama ini sekehendaknya sendiri niscaya akan rusak agama yang mulia ini. Adapun perkara minta fatwa kepada hati dalam menentukan suatu permasalahan, hal ini kadang- kadang bisa diterapkan dalam hal-hal yang memang belum jelas urusannya dalam agama ini. Dan tentunya syaratnya dia harus seorang rasikh (mendalam) ilmunya dalam Dien ini dan tidak dikhawatirkan hawa nafsu mempengaruhinya.
Diceritakan
bahwa salah seorang tabligh berbicara memberikan semangat kepada para
pendengarnya untuk khuruj bersama mereka dengan meninggalkan anak, istri,
keluarga, harta, negeri, dan lain-lainnya : “Wahai saudaraku, jika Anda
meletakkan gula ke dalam gelas teh kemudian Anda tuangkan air dan Anda minum
tanpa mengaduk gulanya maka Anda tidak akan merasakan manisnya gula. Dan jika
Anda aduk maka akan merasakan manisnya gula. Demikian halnya dengan iman di
dalam hati setiap manusia. Iman itu ada dan tidak akan bisa dirasakan manisnya
oleh pemiliknya kecuali setelah mengaduknya dengan bergabung dan khuruj bersama
jamaah ini.”
Saya
beranggapan, Anda akan segera membantah kisah ini dengan berkata :
“Subhanallah! Jadi iman itu ada di setiap hati manusia.! Hingga di hati-hati
orang munafik, kafir, dan murtad!” Dan barangkali Anda akan berkata pula :
“Subhanallah! Jadi para ulama, penuntut ilmu, dai, orang awam dari kalangan
pria dan wanita tidak akan merasakan manisnya iman bila tidak ikut khuruj dengan
kalian.!”
Mungkin
Anda akan juga berkata : “Subhanallah! Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda : ‘Tiga perkara, barangsiapa ada pada dirinya tiga perkara itu
akan merasakan manisnya iman : Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya
dari selain keduanya, dia mencintai seseorang karena Allah, dan dia benci
kembali kepada kekufuran setelah dia diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia
benci kalau dilemparkan ke dalam neraka.’ (HR. Muslim 1/66)
Terakhir akan saya tutup dengan sebuah kisah bagaimana mereka mempermainkan syariat dan akal para pendengarnya. Amir khuruj membagi kelompoknya pada hari Kamis pagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama, tinggal di masjid membuat halaqah dzikir yang terus berkelanjutan hingga semua kelompok pulang. Kelompok kedua menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3 orang lebih. Tugasnya mengetuk pintu-pintu rumah yang berdekatan dengan masjid dan mengajak mereka untuk hadir dan bergabung dalam kegiatan jamaah ini dan agar mereka menghadiri bayan (penjelasan) yang diadakan setelah Maghrib sampai Isya’. Dan sebelum semuanya berpencar sang amir menceritakan kepada mereka kisah-kisah untuk memberi pelajaran kepada mereka maka dia berkata : “Pernah pada suatu saat sebuah kelompok ke suatu daerah. Setelah mereka dibagi menjadi 2 kelompok berdiamlah kelompok pertama dalam masjid. Dan kelompok kedua keluar mengetuk pintu-pintu rumah. Setiap kali mereka mengetuk pintu, mereka tidak mendapati jawaban yang menyenangkan dan sambutan yang baik. Tetapi mereka terus mengetuk pintu-pintu rumah dan tetap saja tidak disambut dengan baik. Maka ada di antara mereka yang berkata : ‘Periksalah iman kalian, wahai teman-teman!’ Maka merekapun memeriksa iman mereka tapi mereka tidak mendapati cacat (!). Maka salah seorang mereka berkata : ‘Mungkin teman-teman kita yang kita tinggalkan di masjid lalai berdzikir kepada Allah.’ Maka mereka berkata : ‘Marilah kita lihat mereka!’ Maka ternyata mereka dapati teman-teman mereka yang ada di masjid lalai berdzikir kepada Allah.
Saudaraku,
apa yang terasa di dalam dirimu kalau engkau khuruj bersama mereka kemudian
mereka menjadikanmu di halaqah masjid apakah Anda ketika mendengar kisah ini
akan lalai dari dzikir kepada Allah. Atau engkau akan berusaha dengan keras
agar Allah memberi taufiq kepada teman-temanmu yang di luar hingga mereka
membawa hasil.”
Tidak diragukan lagi, inilah terjadi. Terlebih lagi jika si tablighi tadi menyandarkan perbuatannya itu dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa : [ “Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah dari beberapa rumah Allah (masjid), membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka kecuali akan turun sakinah (ketenangan) kepada mereka. Dan mereka akan diliputi rahmat, dinaungi malaikat, dan disebut-sebut Allah pada hamba-hamba yang ada di sisi- Nya.” (HR. Muslim 4/2074)
Maka menurut mereka, penghuni masjid seperti sumber listrik dan kelompok kedua seperti lampu. Bila bergerak sumber listrik mereka akan hidup. Dan kalau tidak bergerak lampunya akan mati. ] Apakah Anda pernah mendengar permisalan seperti ini dan apakah Anda pernah melihat cara berdalil seperti ini! (Quthbiyah oleh Abu Ibrahim halaman 4-12
D. Kitab Rujukan Jamaah
Tabligh
Syaikh
Tuwaijiri berkata : “Kitab yang paling top di kalangan tabligh adalah kitab
Tablighin Nishshab yang dikarang oleh salah seorang tokoh mereka yang bernama
Muhammad Zakaria Al Kandahlawi. Mereka sangat mengagungkan kitab ini
sebagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah mengagungkan Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim serta kitab hadits lain.
Para tablighi (orang tabligh) menjadikan kitab ini sebagai rujukan dan pegangan bagi orang India dan Ajam yang mengikuti mereka. Di dalam kitab ini (Tablighin Nishshab) berisi kesyirikan-kesyirikan, bid’ah-bid’ah, khurafat-khurafat, dan hadits- hadits yang palsu dan lemah yang banyak sekali. Kitab ini sebenarnya adalah kitab yang jelek dan jahat serta sarat dengan fitnah dan kesesatan. Orang-orang tabligh menjadikannya sebagai rujukan untuk menyebarkan kebid’ahan-kebid’ahan dan kesesatan mereka, melariskannya, dan memperindahnya kepada orang-orang yang bodoh yang mereka (orang-orang tabligh -red) lebih sesat dari binatang ternak … .
Dan termasuk juga yang mereka perindah adalah dengan mewajibkan ziarah ke kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah haji. Padahal dalam perkara itu hanya bersandar dengan hadits-hadits yang palsu. Dan orang tabligh memiliki kitab lain yang mereka jadikan sebagai pegangan dan rujukan para pengikut mereka dari kalangan Ajam, India, dan selainnya yaitu kitab yang bernama Hayatush Shahabah karya Muhammad Yusuf Al Kandahlawi. Kitab ini juga sarat dengan hadits-hadits yang palsu dan lemah. Dan ini termasuk kitab yang jahat, sesat, dan berisi fitnah.” (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 11-12)
E. Perkara-perkara
yang Terlarang di Kalangan Jama’ah Tabligh
Termasuk
dasar kelompok ini adalah melarang pengikutnya untuk membicarakan masalah
keyakinan (masalah tauhid) atau masalah fiqh, karena hal itu membuka
pintu-pintu kejelekan dan membuat kaum muslimin menjadi terpecah. Bahkan bisa
membuat ganjalan dalam dakwah. Dan menuntut ilmu juga terlarang di barisan
mereka. Kalau ada yang menuntut ilmu, ilmu yang dimaksud di sini ialah memahami
Al-Qur`an dan Hadits dengan pemahaman Salafus Shalih, maka tokohnya akan
melarang sebagaimana yang terjadi pada beberapa orang teman yang mengingkari
kemungkaran dan bid’ah yang dilakukan orang bahkan lebih luas dari itu. Tapi
orang-orang Tabligh tidak memandang itu sebagai suatu dasar untuk mengingkari
kemungkaran dan hanya mencukupkan dengan menyuruh orang berbuat yang baik
saja.” (Waqafat… hal 13).
Ini adalah bahaya yang besar karena melarang orang untuk menerangkan mana yang benar dan mana yang salah dengan alasan takut timbul perpecahan. Karena termasuk manhaj salafus shalih adalah Al ‘Ardh (memaparkan kebenaran) dan Ar Radd (membantah kesalahan itu).
Kesalahan dan Penyimpangan
Jamaah Tabligh
I. menggunakan manhaj
sufi dalam bidang aqidah, dakwah, ibadah, cara para pengikutnya, amirnya dan
syaikhnya. Sehingga terjadi pada individu-individu kelompok ini, khususnya non
arab, bid’ah-bid’ah, kesyirikan-kesyirikan, jimat-jimat dan lain-lain. Jimat
itu pernah dibuka dan saya melihat di dalamnya tertulis dengan bentuk segi
tiga, segi empat, ayat-ayat yang terpotong-potong dan tulisan-tulisan yang
tidak difahami. Dan berisi panggilan kepada nama-nama yang asing seperti Ya
Baduh, Ya Syaddad. Demikian juga, mereka beribadah kepada tempat-tempat yang
dianggap keramat dan kubur-kubur. Mereka berdo’a dan memohon berkah kepadanya.
II. berbai’at kepada
sang amir dan sebagian para syaikhnya bagi arab dan non arab dengan berdasarkan
empat tarekat: Jistiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Sahrawardiyyah. Di
jazirah arab mereka menampakkan diri banyak melakukan sunnah-sunnah. Dan ketika
ketahuan kesesatan mereka, mereka berdalih bahwa keempat tarekat itu yang
tersebar di India. Dan kalau mereka (para pengikut Tabligh) tidak dibai’at,
mereka akan dicaplok dan berbai’at oleh kelompok-kelompok lain yang dianggap
sesat oleh mereka. Dari mana mereka menghukumi dengan membolehkan manusia
berbai’at kepada mereka menurut empat tarekat ini hingga manusia tidak
bersandar kepada tarekat-tarekat yang lebih sesat darinya. Maka mereka harus
membawakan dalil tentang hal itu dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
III. Mereka mengakui dan
berpegang dengan buku Tablighi Nishab karya Muhammad Zakaria Al Kandahlawi
sebagai manhaj dan patokan dalam dakwah.
Buku itu sendiri di dalamnya mengandung bid’ah-bid’ah,
kesyirikan-kesyirikan dan kesufian. Demikian juga dengan buku Hayatush Shahabah
karya Muhammad Yusuf Al Kandahlawi yang penuh dengan kisah-kisah palsu dan
hadits-hadits dha’if (lemah) dan palsu.
IV. mereka membatasi
pengertian Islam hanya dengan sebagian amalan Islam seperti: ibadah praktis,
dzikir-dzikir, memuliakan kaum muslimin, bersikap lembut kepada mereka, zuhud
di dunia, dan mengajak manusia kepadanya. Mereka menganggap dengan itu telah
menegakkan Islam menurut bentuk yang paling sempurna, padahal mereka berpaling
dari firman Allah (yang artinya): “Hai orang- orang yang beriman, masuklah
kalian ke dalam Islam secara menyeluruh.” (Al Baqarah: 208).
Yaitu masuk ke dalam Islam sampai ke batas akhir syari’at-syari’atnya tanpa melampaui batas, sebagaimana yang diterangkan dalam tafsir Al Baghawi 1/183.
Mereka juga berpaling dari mendidik kaum muslimin di atas tauhid dan jihad di jalan Allah. Mereka pura-pura tidak tahu tentang keadaan pahit yang sedang dirasakan kaum muslimin dan kebutuhan mereka yang sangat besar kepada perbaikan dengan manhaj (metode, sistem pemahaman, pengamalan dan dakwah) yang sempurna. Mereka melalaikannya. Kemudian mereka datang dengan manhaj yang menyimpang dan kabur.
Terdapat dalam Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1674 tanggal 7/10/1397H yang berisi jawaban tentang Jama’ah Tabligh, sebagai berikut:
“Sesungguhnya jama’ah tabligh memiliki semangat untuk mengamalkan apa yang diyakini dan mengajak kepada akhlak yang baik serta tidak menghina manusia. Padanya terdapat sikap menyuruh saling menghormati kepada yang lain, maka tidak ada pertengkaran sesama anggotanya dengan kelompok lain dan dengan pemerintah. Akan tetapi mereka keterlaluan dalam bersikap saling menghormati tadi, pasif dan bersikap global dalam berdakwah hingga mereka meninggalkan berbicara tentang kerincian aqidah tauhid, padahal ini adalah dasar Islam. Padahal tauhid ini yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was sallam. Mereka melawan ummat-ummat hingga terjadi permusuhan dan peperangan antara dua kelompok itu. Dan itu adalah jihad di jalan Allah dan menolong agama- Nya serta meninggikan kalimat-Nya. Sedangkan di kalangan mereka (tabligh) tidak dikenal kecuali khuruj, (Meninggalkan rumah) negeri dalam rangka menyeru kaum muslimin untuk ikut bersama gerakan sufiyah mereka, dan mendakwahkannya, Yakni mendakwah dengan apa-apa yang mereka anggap sebagai kewajiban khuruj atas kaum muslimin, yang mana ini adalah dasar yang dikenal di kalangan jama’ah tabligh.
Yaitu masuk ke dalam Islam sampai ke batas akhir syari’at-syari’atnya tanpa melampaui batas, sebagaimana yang diterangkan dalam tafsir Al Baghawi 1/183.
Mereka juga berpaling dari mendidik kaum muslimin di atas tauhid dan jihad di jalan Allah. Mereka pura-pura tidak tahu tentang keadaan pahit yang sedang dirasakan kaum muslimin dan kebutuhan mereka yang sangat besar kepada perbaikan dengan manhaj (metode, sistem pemahaman, pengamalan dan dakwah) yang sempurna. Mereka melalaikannya. Kemudian mereka datang dengan manhaj yang menyimpang dan kabur.
Terdapat dalam Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1674 tanggal 7/10/1397H yang berisi jawaban tentang Jama’ah Tabligh, sebagai berikut:
“Sesungguhnya jama’ah tabligh memiliki semangat untuk mengamalkan apa yang diyakini dan mengajak kepada akhlak yang baik serta tidak menghina manusia. Padanya terdapat sikap menyuruh saling menghormati kepada yang lain, maka tidak ada pertengkaran sesama anggotanya dengan kelompok lain dan dengan pemerintah. Akan tetapi mereka keterlaluan dalam bersikap saling menghormati tadi, pasif dan bersikap global dalam berdakwah hingga mereka meninggalkan berbicara tentang kerincian aqidah tauhid, padahal ini adalah dasar Islam. Padahal tauhid ini yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was sallam. Mereka melawan ummat-ummat hingga terjadi permusuhan dan peperangan antara dua kelompok itu. Dan itu adalah jihad di jalan Allah dan menolong agama- Nya serta meninggikan kalimat-Nya. Sedangkan di kalangan mereka (tabligh) tidak dikenal kecuali khuruj, (Meninggalkan rumah) negeri dalam rangka menyeru kaum muslimin untuk ikut bersama gerakan sufiyah mereka, dan mendakwahkannya, Yakni mendakwah dengan apa-apa yang mereka anggap sebagai kewajiban khuruj atas kaum muslimin, yang mana ini adalah dasar yang dikenal di kalangan jama’ah tabligh.
Dan tidak ada diketahui di kalangan para Nabi hanya semata-mata
saling menghormati, tapi mereka memperjuangkan kebenaran sebagaimana mereka
bersemangat untuk mengamalkannya. Mereka tidak takut kepada celaan orang yang
mencela, kebencian dan pemerintah walau akhirnya terjadi peperangan, hijrah dan
pembunuhan jiwa. Sedangkan Jama’ah Tabligh tidak pernah diketahui kalau mereka
melakukan hal yang demikian, yaitu bersikap dengan sikap para rasul ‘alaihimus
shalatu was salam dalam berdakwah, mengajak kepada kerincian syariat yang ushul
dan furu’nya.
Sedangkan mereka (tabligh) hanya sebatas khuruj dan global,
yaitu seruan-seruan yang bersifat umum yang kiranya bisa diterima oleh semua
pihak seperti: shalat, Ukhuwah Islamiyyah dan lain-lain tanpa merincinya
menurut tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwah.
Orang-orang yang ikut khuruj bersama mereka tidak mendapatkan pemahaman yang
benar tentang Islam atau pengetahuan tentang hal-hal yang rinci dalam agamanya.
Dakwah yang demikian ini tidaklah mengikuti Sunnah para rasul ‘alaihimush
shalatu was salam.”
V. Mereka meremehkan
ilmu dan ulama serta melarang pengikut-pengikutnya untuk menuntut ilmu dan
duduk belajar kepada para ulama kecuali yang mendukung mereka. Dan itu
dinyatakan terang-terangan. Maka meratalah kebodohan dan menyebarlah keruntuhan
ilmu di kalangan mereka. Jadilah perasaan, bisikan hati, mimpi-mimpi,
keramat-keramat dan keajaiban-keajaiban sebagai ukuran baik buruk segala
permasalahan di kalangan mereka. Akibatnya timbullah kesalahan yang inilah
akibatnya.” (Waqafat hal. 29).
“Al Ustadz Saifurrahman berkata (dalam Nadhrah ‘Abirah
I’tibariyyah Haulal Jama’atit Tabligh hal. 60 dengan ringkas): Sesungguhnya
orang-orang Tabligh membangun agama mereka di atas kejahilan (kebodohan),
beriman kepada khurafat-khurafat dan hikayat-hikayat, mencintai kebodohan dan
orang-orang bodoh, lebih mempercayai orang-orang yang bodoh daripada para ulama
kaum muslimin serta memerangi ilmu dan para ulama.” (Al Qaulul Baligh Fit
Tahdzir min Jama’atit Tabligh, Hummud At Tuwaijiri hal. 201).
VI. Berdakwah mengajak
manusia kepada agama Allah tanpa berdasarkan ilmu dan bashirah. Ini menjadi
sebab yang paling besar menyeret kepada penyimpangan. Karena mereka mengajak
manusia kepada sesuatu yang mereka sendiri tidak paham. Maka orang yang tidak
memiliki sesuatu tentu tidak akan bisa memberi kepada yang lain. Inilah mereka,
mereka mengajak manusia kepada Islam, mengikuti perintah Allah dan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ternyata mereka malah tidak tahu
dan tidak faham tentangnya. Bahkan sebenarnya mereka sendiri yang sangat perlu
dididik dan didakwahi.
Ada salah seorang mereka yang memberi nasehat kepada kami di
Masjid Sakrinah setelah shalat fajar. Dia menceritakan dengan terbata-bata
bahwa dia mendapat hidayah melalui jama’ah ini sejak beberapa bulan yang lalu
ketika berada di Amerika dan dia langsung menghentikan belajarnya dan khuruj
untuk berdakwah di jalan Allah! Lihatlah, bagaimana dia berpindah dari
kefasikan dan kerusakan kepada berdakwah langsung tanpa didasari ilmu dan
bashirah serta kemampuan untuk menasehati. Hanya kepada Allah tempat mengadu
dari kebodohan kuadrat ini.
Mengapa mereka tidak memasuki rumah dari pintu-pintunya dengan belajar ilmu kepada para ulama dan memahami agama Allah sebelum berdakwah di jalan Allah
Di dalam Al Qur’an dinyatakan (yang artinya): “Katakanlah:
Inilah jalanku. Aku mengajak manusia kepada Allah di atas ilmu dan juga orang
yang mengikutiku.” (Yusuf: 108).
Yaitu, dakwah yang aku dakwahkan adalah jalanku dan sunnahku. Dan orang yang mengikutiku juga berdakwah seperti aku berdakwah di atas hujjah (dalil) yang jelas, keyakinan dan bukti.
Imam Asy Syaukani berkata dalam tafsirnya Fathul Qadir ketika membicarakan ayat ini: “Di dalam ayat terdapat dalil bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib pula atasnya untuk mengikuti beliau dalam berdakwah kepada Allah, yaitu berdakwah untuk beriman kepadaNya, mentauhidkan-Nya dan beramal dengan apa-apa yang disyari’atkan untuk hamba- hamba-Nya (dengan ilmu syari’at Allah –pent).
Ayat-ayat tentang keutamaan ilmu dan para ulama banyak sekali. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu? Hanya sanya orang yang mengambil peringatan adalah ulul albab.” (Az Zumar: 9).
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki- laki dan wanita.” (Muhammad: 19).
Dan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Siapa yang dikehendaki Allah kebaikan padanya, Dia jadikan hamba tersebut memahami agama.” (HR. Bukhari).
VII. Mereka banyak
berdalil dengan hadits-hadits dha’if (lemah) dan palsu serta yang tidak ada
asalnya. Mereka beralasan dalam hal itu dengan pendapat para ulama yang
membolehkan beramal dengan hadits-hadits yang dha’if, tapi menghempaskan
syarat-syarat kebolehan menggunakan hadits-hadits tersebut ke tembok. Ini kalau
kita berbaik sangka bahwa mereka mengetahui syarat-syarat itu. Tapi sangat
kecil sekali kemungkinan mereka mengetahuinya. Kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.
Itu karena mereka tidak belajar, maka akibatnya tidak bisa membedakan mana yang
shahih dan mana yang tidak serta palsu. Mereka mengambil semua hadits yang
dianggap shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkannya
dan menyuruh orang lain mengamalkannya. Maka mereka menambah dalam agama Allah
apa-apa yang bukan darinya. Dan menyandarkan kepada Rasulullah apa-apa yang
tidak beliau katakan dengan mempromosikan hadits-hadits lemah dan palsu ini.
Dan Nabi telah bersabda (yang artinya): “Siapa yang berdusta
atas namaku dengan sengaja, maka silahkan dia menyiapkan tempatnya di neraka.”
(HR. Ahmad dan enam serta yang lainnya. Dan ini hadits yang mutawatir.)
Maka hendaklah seorang muslim khawatir dalam masalah ini kalau dia menimbulkan bencana, bid’ah-bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan. Dan hendaknya juga berhati-hati kalau dia terjatuh dalam perbuatan berdusta atas nama Rasulullah karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut akibatnya merugikannya padahal dia mengharap pahala, dan menjadi sesat padahal dia mengharapkan hidayah.
VIII. Berhizb-hizb
(berkelompok-kelompok) dan mendirikan kelompok sendiri yang menyelisihi manhaj
ahlus sunnah wal jama’ah serta mengambil bai’at dari para pengikutnya untuk
sang amir. Jadilah individu mereka terpisah dari saudara- saudaranya kaum
muslimin, maka dia hanya mengajak orang kepada jama’ahnya. Dia membenci dan
mencintai, berwala’ dan bermusuhan karena jama’ahnya. Tidak ada yang benar
kecuali yang disetujui oleh kelompoknya walau bagaimanapun kesalahannya.
Dia menganggap tidak ada jalan untuk berdakwah kecuali hanya melalui kelompok- kelompok hizbiyahnya sebagaimana yang dilakukan jama’ah tabligh dan yang lainnya.
Permasalahan ini termasuk hal yang paling berbahaya yang menimpa para da’i dan para pengikutnya. Mereka memandang wala` dan bara` dilakukan terhadap orang lain menurut ukuran dekatnya atau jauhnya mereka dari manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah yang mana dia adalah kelanjutan sejarah syari’at di masa sahabat, tabi’in, dan para salaf ummat ini. Kita yang berada di kerajaan Saudi mengharap agar kita menjadi manusia yang paling dekat kepada manhaj ini khususnya kelanjutan dakwah ishlah yang memperbaharui yang dilaksanakan oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan bantuan Imam yang sholih, Muhammad Su’ud. Marilah kita memegang teguh dasar-dasar dan manhaj dakwah salafiyyah ini hingga kita menjadi sebuah jama’ah saja yang berada di atas manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah. Dan hingga kita tidak memecah-belah menjadi beberapa jalan yang dialiri hawa nafsu yang berakibat kita menjadi orang-orang yang memecah agama mereka dan bergolong-golongan.
Ini adalah kesalahan-kesalahan yang paling tampak dan penting yang saya peringatkan di kesempatan ini.
Dan hendaklah pembaca tahu bahwa saya hanya memperingatkan tentang kesalahan bersifat manhaj yang terjadi di kalangan Jama’ah Tabligh dan yang menyelisihi manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah tanpa membahas kesalahan yang dilakukan individu-individunya. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada yang selamat dari kesalahan manhaj ini dari individu-individu jama’ah ini kecuali sangat sedikit sekali.
Dan ada sebagian orang yang bergabung dengan mereka karena mencintai mereka (sebagai sandaran kaum muslimin, -pent) dan berbaik sangka kepada mereka, dan ketika itu terbukalah tirai yang selama ini menutup mereka hingga jelas kesesatan mereka. Maka hendaklah dia keluar meninggalkan mereka dan berhati-hati terhadap mereka.
Semoga Allah merahmati para salaf ummat ini dari kalangan Ahlus sunnah wal jama’ah yang selalui bersikap terang-terangan terhadap ahli bid’ah dalam menjauhi, memusuhi dan memperingatkan manusia dari kejahatan mereka. Dan membongkar keyakinan-keyakinan busuk ahli bid’ah, akan saya bawakan sebagian nash-nash (keterangan) tentang hal itu.
Membicarakan Kitab
Fadha’il l-A’mal
A. Pendahuluan
Bagi yang mengenal Jamaah Tabligh, kelompok yang ‘berdakwah’
keliling dari masjid ke masjid, besar kemungkinan akan mengetahui Kitab
Fadha`il Al-A’mal, buku wajib yang dipegangi dan dijadikan rujukan kelompok
tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’ mereka ataupun orang-orang
yang ‘berlatih dakwah’ bersamanya, kedudukan kitab itu di sisi mereka setara
dengan Kitab Shahih (Al-Bukhari Muslim).
Membicarakan Fadha`il Al-A’mal, kitab yang ditulis Muhammad
Zakaria Al- Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah
kelompok shufiyyah yang para pengikutnya kini semakin menjamur di berbagai
negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah
Tabligh.
Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena Jamaah
Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan
rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu sehabis shalat fardhu
atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur, tergantung
kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu yang
memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin. Hal ini menunjukkan
demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang
tablighi (pengikut Jamaah Tabligh –red). Sebab, apa yang mereka dengarkan
tentunya akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.
Sehingga kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada umat
tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan As-Sunnah dan memperingatkan
mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam
pembahasannya.
Secara umum, kitab ini banyak memuat hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya, dan banyak
penukilan perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat
menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu billah.
Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri berkata dalam
kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah At-Tabligh (hal. 11-12):
“Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab (Fadha`il Al-A’mal), yang ditulis salah seorang pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa ‘ajam (non Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah. Maka hakekatnya, ini merupakan kitab jahat, sesat, dan fitnah. Kaum tablighiyyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam, sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.” [Al- Qaulul Baligh, hal. 11-12]
B. Al-Kandahlawi dan
Takhrij Haditsnya
Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak
memuat hadits-hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang
sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan,
takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, di mana kitab ini
ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia Selatan, red.),
kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka
pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya boleh dijadikan
sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya sebagai
keyakinan. Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian
pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia,
tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan
simpatisannya membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang
bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh
tentang apa yang kami sebutkan:
1. Disebutkan dalam
kitab Fadha`il Al-A’mal, bab Fadhilah Adz-Dzikr hadits dari ‘Umar bin
Al-Khaththab berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat kepalanya ke
atas langit kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah Muhammad,
ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Siapakah Muhammad (yang
engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah nama-Mu ketika engkau
menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu, dan ternyata di
situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah. Maka akupun
mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung kedudukannya di sisi-Mu
dari orang yang telah engkau jadikan namanya bersama dengan nama-Mu.” Maka
Allah berfirman kepadanya: “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi terakhir
dari keturunanmu, kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan
menciptakanmu.”
Hadits ini diterjemahkan begitu saja tanpa menerjemahkan takhrij
hadits yang disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata setelah itu: “Diriwayatkan
oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu Nu’aim, Al-Baihaqi yang
keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Durr, dan dalam Majma’
Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan
Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)- nya ada yang tidak aku kenal. Aku berkata: Dan
dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang masyhur: “Kalau bukan karena engkau,
aku tidak menciptakan jagad raya ini”, Al-Qari berkata dalam Al-Maudhu’at:
“Hadits ini palsu.”
Cobalah pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakekatnya telah
diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun ucapan
ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini menyangka bahwa hadits
ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian kedudukan hadits ini bisa
dilihat dalam kitab Silsilah Al- Ahadits Adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab
At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya Al-’Allamah
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, di mana beliau menghukumi hadits tersebut
sebagai hadits palsu.
2. Disebutkan pula
dalam kitab tersebut, pada bab yang sama, hadits dari Anas bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq menemui Nabi Shallallahu'alaihi wasallam dalam keadaan bersedih.
Maka Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Mengapa aku
melihatmu bersedih?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi
anak pamanku, si fulan yang telah meninggal dunia.” Maka Rasul bertanya,
“Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?” Ia menjawab, “Telah
kulakukan, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia
menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.” Abu Bakar
bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih hidup mengucapkan
kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.
Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”
Hadits ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan takhrijnya, padahal Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan: “Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri, namun dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya. [Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119, tarjamah Aban bin Jabalah Al- Kufi)]. Demikian yang terdapat dalam Majma’ Az-Zawa`id [Fadhilah Dzikr, hal 504].”
Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab, sehingga tidak pernah dibaca para pembacanya.
3. Disebutkan pula pada
bab yang sama hadits Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan: “Laa ilaaha
illallahu wahdahu laa syarikalah, Ahadus shomad lam yalid walam yuulad walam
yakunlahu kufuwan ahad.” Maka Allah akan menuliskan baginya 2.000.000
kebaikan.”
Hadits ini diterjemahkan pula maknanya tanpa menerjemahkan
komentarnya yang mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani, demikian dalam
At-Targhib dan Majma’ Az- Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama
Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”
Dan hal yang seperti ini sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini.
C. Memuat Hadits Lemah,
Palsu, Bahkan Tidak Ada Asalnya
Di samping poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini
pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada
asalnya dalam kitab- kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah melarang umatnya untuk
meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada beliau tanpa ada
penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut, atau menukilkan pendapat para
ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat)
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)
Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i ketika
beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas Jamaah Tabligh:
“Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan tidak ada
asalnya. Padahal Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: ‘Hindarilah
banyak memberitakan hadits dariku. Maka barangsiapa yang menisbahkan kepadaku,
maka hendaklah mengucap-kan kebenaran atau kejujuran. Barangsiapa mengada-ada
sesuatu atasku yang aku tidak ucapkan, maka hendaklah dia persiapkan tempat
duduknya dalam neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad, dari hadits Abu Qatadah)
[Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 96]
Dan berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa contoh tentang
hal ini:
1. Disebutkan dalam bab
Fadhilah Shalat, hal. 288, hadits yang berbunyi:
“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
Dalam kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian, yang artinya:
“Shalat itu menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu akan mematahkan
punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah. Karena dalam
sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Wahb
Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Dan ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentang
dia: “Lemah sekali.” Dan hadits ini sangat dilemahkan oleh Al-Albani dalam
Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 3560.
2. Disebutkan dalam bab
Fadhilah Adz-Dzikr hal. 432, ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pernah bersabda: “Berpikir sesaat lebih
baik daripada beribadah enam puluh tahun.”
Padahal hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana telah
diterangkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/173. Adapun
riwayat yang shahih, dengan lafadz:
“Berdirinya seseorang di jalan Allah sesaat lebih afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.
3. Demikian pula yang
disebutkan dalam bab Fadhilah Al-Qur`an, hal. 644, bahwa barangsiapa
mengkhatamkan Al-Qur`an di siang hari, maka malaikat akan mendoakannya hingga
malam hari, dan barangsiapa yang menamatkannya di awal malam, maka para
malaikat mendoakan-nya hingga pagi hari.
Padahal hadits inipun lemah, sebagaimana telah diterangkan
Al-’Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 10/4591.
D. Membawa Pemahaman
Kaum Shufi
Kitab ini banyak sekali menukil afkar (pemikiran) kaum Shufiyyah
yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni
kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah, dan semisalnya. Oleh
karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang
tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas
empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah, Sahrawardiyyah, dan
Qadiriyyah. [Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, Hamud
At-Tuwaijiri, hal. 11]
Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa perkataan yang
dinukilkan dari kaum Shufiyyah:
Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal. 316-317, Al-Kandahlawi
berkata: Asy- Syaikh Abdul Wahid rahimahullah, seorang sufi yang masyhur,
mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa,
sehingga beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam itu. Di dalam
mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat cantik
sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis tersebut bertanya
kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia mencintai beliau,
kemudian dibacanya beberapa bait syair. Setelah bangun dari tidurnya, beliau
bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa
selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat ‘Isya.
Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama: Bahwa Allah Subhanahu wata'ala telah melarang kita
untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah, dan memerintahkan kita
untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan kemampuan. Sehingga, agama ini
menghendaki agar seorang muslim mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan
nasyath (giat), sehingga mampu mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan
khusyu’ dan sesempurna mungkin. Dan apabila ia dalam keadaan mengantuk, maka
dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin
Malik, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu'alaihi wasallam memasuki masjid,
ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang, lalu beliau
bertanya, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab, jika ia lesu
(berdiri untuk shalat), diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang
kalian shalat di saat giatnya. Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”
Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits Aisyah Radhiallahu'anha bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
“Jika salah seorang kalian dalam keadaan mengantuk, sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu tanpa sadar ia mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah.
Dan di antara petunjuk Rasulullah dalam melaksanakan shalat malam adalah apa
yang beliau sebutkan dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr
bin Al-’Ash bahwa Rasulullah bersabda:
“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud, beliau tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484 dari Syaikh Waliullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,” Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata: “Saya mendengar bahwa barang siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri. Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf. Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak meragukan kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak, katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya. Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini kecuali Allah. Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”
Cobalah perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam berbagai penyimpangan, di antaranya Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, lalu menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa syariat yaitu Rasulullah. Dan ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka, kecuali yang dikabarkan Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:
“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Dan penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali terdapat
dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria tersebut. Sehingga,
hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan mencari kitab-kitab
yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang untuk mengamalkan
Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, seperti kitab Shahih Al-Bukhari
pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al- Adab, dan yang semisalnya. Demikian pula Shahih
Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan kitab-kitab
sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam An-Nawawi,
Al-Kalim Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah14, dan masih banyak
lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai
penyimpangan.
Wallahu a’lam.
Rusaknya Aqidah Firqoh
Tabligh
“Sebagian mereka berkata
kepada Imam Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan si
fulan begini dan begitu.’ Maka beliau berkata : ‘Kalau Anda diam dan akupun
diam, kapan orang yang tidak tahu akan tahu mana yang benar dan yang salah.’”
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Naqdur Rijal halaman 39)
A. Pendahuluan
Imam An Nawawi menyatakan bahwa ghibah diperbolehkan jika dalam
rangka memperingatkan kaum Muslimin dari suatu kejelekan dan untuk menasehati
mereka. Berapa banyak kitab-kitab para ulama yang membahas kejelekan rawi-rawi
hadits dan kelemahaan mereka, seperti Kitab Adh Dhu’afa karya Imam Bukhari,
Nasa’i, Al Uqaili, dan Ad Daraquthni. Kitab Al Kamil fid Dhu’afa karya Ibnu Abi
Hatim, Kitab Al Mughni fidh Dhu’afa karya Imam Adz Dzahabi dan berbagai kitab
lainnya yang berisi jarh (kritikan) terhadap rawi-rawi hadits. Apakah kita
menuduh para ulama telah melakukan ghibah terhadap individu-individu tertentu
atau kelompok- kelompok tertentu. Na’udzu Billah.
“Ketahuilah, bahwa menyebutkan kejelekan seseorang diharamkan jika tujuannya semata-mata mencela, membongkar aib, dan merendahkan dia. Adapun jika di situ ada maslahat bagi seluruh kaum Muslimin atau khususnya bagi sebagian mereka dan bertujuan mencapai maslahat itu maka tidak diharamkan tetapi mandub (disunnahkan).” Tegas Ibnu Rajab Al Hambali dalam Al Farqu bainan Nashihah wat Ta’yir halaman 25.
Kita tidak akan tinggal diam ketika melihat kemungkaran-kemungkaran atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin. Kita harus memperingatkan kaum Muslimin agar berhati-hati dari orang-orang yang menyimpang atau kelompok-kelompok yang menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih dari generasi shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sebagian mereka berkata
kepada Imam Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan si
fulan begini dan begitu.’ Maka beliau berkata : ‘Kalau Anda diam dan akupun
diam, kapan orang yang tidak tahu akan tahu mana yang benar dan yang salah.’”
(Naqdur Rijal halaman 39)
Baiklah, yang menjadi sorotan kita kali ini adalah penyimpangan aqidah Firqah Tabligh. Sejauh mana kelompok yang bertambah subur dimana-mana ini menyimpang dari aqidah yang benar, aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
B. Pemahaman Syahadat
Menurut Jamaah Tabligh
Dalam menafsirkan makna Laa Ilaaha Illallah terjadi kesalahan
fatal (fatal error) pada mereka. Mereka menafsirkan lafadh itu dengan makna
Rububiyah Allah. Yaitu bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi Rizqi, Pengatur
Semua Urusan dan Yang Menghidupkan serta Yang Mematikan. Memang benar Allah
demikian, tapi apakah makna seperti itu yang diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika mendakwahi kaum musyrikin di jaman beliau.
Tidak! Mengapa. Karena kaum musyrikin yang hidup di masa beliau Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam telah memiliki keyakinan yang demikian.
Allah kisahkan keadaan mereka itu dalam firman-Nya (yang
artinya): Katakanlah : “Siapakah yang memberi rizki kalian dari langit dan bumi
atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah
yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.” Niscaya mereka akan
menjawab : “Allah.” Maka katakanlah : “Mengapa kalian tidak mau bertaqwa
(kepada-Nya).” (QS. Yunus : 31)
Katakanlah : “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada
padanya jika mereka mengetahui.” Mereka akan menjawab : “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah : “Maka mengapa kalian tidak ingat.” Katakanlah : “Siapa yang
mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai ‘Arsy yang besar.” Mereka akan
menjawab : “Milik Allah.” Katakanlah : “Maka apakah kalian tidak bertakwa.”
Katakanlah : “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang
Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya jika
kalian mengetahui.” Mereka akan menjawab : “Kepunyaan Allah.” Katakanlah :
“(Kalau demikian) maka dari jalan mana kalian ditipu.”(QS. Al Mukminun: 84-89)
Nah,.walau demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tetap memerangi mereka. Mengapa. Karena mereka tidak mengakui bahwa Allah saja yang berhak untuk diibadahi. Dan mereka tahu kalau mengucapkan syahadat berati mereka mengkufuri semua sesembahan mereka. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Padahal mereka kaum musyrikin mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi Rizki sendiri saja tanpa sekutu. Dan tidak ada pemberi rizki kecuali Dia. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali Dia. Tidak ada yang mengatur alam kecuali Dia. Semua langit yang tujuh dan para penghuninya, bumi-bumi dan para penghuninya semuanya adalah hamba-hamba- Nya dan dalam kekuasaan-Nya dan kalau Anda menginginkan dalil bahwa mereka yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga meyakini seperti ini, bacalah ayat … .” (Kemudian beliau membawakan ayat-ayat tadi). (Lihat Kasyfusy Syubuhat halaman 9-10, ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)
Pemahaman menyimpang di atas terjadi pula pada Jamaah Tabligh
ini. Mereka menafsirkan kata Illah dalam syahadat dengan Rububiyah. Ini
dinyatakan oleh Syaikh Hammud dan dialaminya sendiri oleh beliau serta
teman-temannya yang lain ketika berdialog dengan salah seorang tokoh mereka
ketika ditanyakan tentang makna Illah dalam syahadat.
Adapun dalam hal tauhid Asma’ was Shifat, di kalangan
orang-orang tabligh ada yang berpemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua
madzhab ini termasuk dalam madzhab yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal
Jamaah. (Al Qaulul Baligh halaman 8 )
C. Pengingkaran Jamaah
Tabligh Terhadap ‘Uluwullah
Dalam kitab Al Qaulul Baligh halaman 42-43 disebutkan kisah
seorang pemimpin Jamaah Tabligh di Saudi Arabia yang beraqidah Maturidiyah dan
mengingkari ‘Uluwullah (sifat ketinggian bagi Allah di atas makhluk-Nya).
Syaikh Hammud At Tuwaijiri mengisahkan bahwa seorang guru di Jama’atul
Islamiyah Madinah mengirim surat kepadanya. Dalam surat itu, guru tadi berkata
: “Suatu kisah pernah saya alami, seseorang datang menemuiku hendak mengingkari
kritikan saya terhadap Jamaah Tabligh. Aku berkata kepadanya : “Sesungguhnya
mereka berpemahaman sufi dan Maturidiyah, mereka enggan mensifati Allah dengan
sifat ‘Uluw.” Dia (seorang tablighi) berkata : “Apa buktinya.” Aku berkata
kepadanya : “Pergilah dan buktikan sendiri!” Maka dia pergi, selang beberapa
hari dia datang kepadaku dan berkata : “Apa yang anda katakan bahwa mereka
tidak mengakui bahwa Allah di atas dan bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy-Nya
adalah benar. Aku bertanya kepadanya : “Bagaimana Anda bisa tahu hal itu.” Dia
berkata : “Aku mendatangi seorang pimpinan Tabligh yang bernama Sa’id Ahmad,
dia sangat percaya kepadaku karena aku termasuk muridnya. Aku berkata kepadanya
: ‘Aku benar-benar tidak meragukan keyakinan kita bahwa Allah ada di setiap
tempat dan Dia tidak berada di atas langit. Akan tetapi dengan apa kita
membantah orang yang mengatakan bahwa Allah di atas langit.’ (Sa’id Ahmad)
berkata : ‘Tinggalkanlah mereka dan tetaplah di atas aqidahmu karena itulah
yang benar!’”
Perhatikanlah pentolan Tabligh ini! Dia dengan tegas mengatakan bahwa Allah berada di mana-mana dan tidak bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Bukankah keyakinan seperti ini menyimpang dari keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya, beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya, berada di atas langit-Nya, di atas makhluk-Nya, terpisah dari mereka, Dia mengetahui amalan-amalan mereka, mendengar ucapan-ucapan mereka, melihat gerak dan diamnya mereka, tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sedikitpun. (Shifatullahi ‘Azza wa Jalla halaman 186)
Betapa banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang
‘Uluwullah, di antaranya Allah berfirman (yang artinya):
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al A’la : 1)
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS.
Al An’am : 18)
“Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang.” (QS. Al Mulk : 16)
“Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang.” (QS. Al Mulk : 16)
“Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy-Nya.” (QS. Thaha : 5)
Juga dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dijelaskan tentang ‘Uluwullah. Di antaranya kisah dialog Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam dengan seorang budak wanita milik Mu’awiyah bin Al Hakam As
Sulami radliyallahu ‘anhu.
Beliau bertanya kepada budak tersebut : “Di manakah Allah.” Dia
menjawab : “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi : “Siapakah aku.” Dia
menjawab : “Engkau adalah Rasulullah.” Maka beliau berkata (kepada Mu’awiyah) :
“Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang perempuan Mukminah.”
(HR. Ahmad dan Muslim)
Bandingkanlah antara budak wanita yang hidup di masa Rasulullah
ini dengan tokoh Tabligh tersebut. Meskipun statusnya sebagai budak tetapi dia
lebih pandai daripada tokoh Tabligh itu. Memang kesesatan itu tidak pandang
bulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki siapa yang Dia kehendaki dan
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki pula. Syaikh Hammud At Tuwaijiri
mengomentari kisah tokoh Tabligh tadi : “Ini adalah penyimpangan terbesar dalam
aqidah orang-orang Tabligh, yaitu mengingkari ‘Uluwullah di atas makhluk-Nya.
Inilah madzhab Jahmiyah (para pengikut Jahm bin Shafwan yang mengingkari sifat
‘Uluwullah, pent.) yang dikafirkan oleh kebanyakan ulama Salaf.
Maka hendaknya orang-orang yang ingin bergabung dengan Jamaah Tabligh mengambil pelajaran dari kisah seorang pimpinan Jamaah mereka itu yang meyakini bahwa Allah berada di setiap tempat dan tidak berada di atas langit! Ini adalah kekufuran yang nyata karena bertentangan dengan dalil-dalil yang banyak dari Al Kitab, As Sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin yang menyatakan bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya dan Allah bersama makhluk dengan ilmu-Nya, pengawasan- Nya, dan peliputan-Nya. Hendaknya seorang Mukmin –yang menasehati dirinya– berhati-hati untuk bergabung dengan orang-orang Tabligh yang mengingkari ketinggian Allah di atas makhluk-Nya dan menyangka bahwa Allah berada di setiap tempat. Maha Tinggi Allah dari apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dhalim.” (Al Qaulul Baligh halaman 43-44)
D. Jamaah Tabligh
Mengagung-agungkan Kuburan
Termasuk kesesatan Tabligh dalam hal aqidah adalah mereka
mendatangi kuburan tokoh-tokoh mereka kemudian berdoa dan menanti ilmu laduni
(kasyaf, ilmu menyingkap rahasia-rahasia tersembunyi), karamah-karamah, dan
ikatan batin dengan orang-orang yang ada di kuburan itu. Bukti atas ucapan ini
adalah sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Aslam dalam kitabnya yang berjudul
Jamaah Tabligh ‘Aqidatuha wa Afkaru Masyayikhiha. Pengarang berkata pada
halaman 3 : “Bahwasanya tokoh utama orang-orang Tabligh, Muhammad Ilyas, duduk
di belakang kuburan Abdul Quddus Al Kankuhi (seorang pemimpin tarikat Sufi
beraliran Jistiyah) pada sebagian besar waktunya. Dan dia juga duduk berkhalwat
(bersendiri) di dekat kuburan Sa’id Al Badayuni dan shalat jamaah di sana.”
(Lihat Al Qaulul Baligh halaman 65)
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan tokoh mereka ini adalah perbuatan syirik bahkan menyerupai perbuatan Yahudi dan Nashara. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda
(yang artinya): “Laknat Allah terhadap Yahudi dan Nashara,
mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” (Aisyah berkata) :
“Beliau memperingatkan apa yang mereka lakukan dan seandainya jika tidak ada
(peringatan itu) niscaya kuburan beliau ditampakkan (ditinggikan) tetapi karena
beliau takut kalau kuburannya dijadikan masjid (maka tidak ditampakkan).” (HR.
Bukhari dan Muslim dari Aisyah radliyallahu‘anha)
Ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah menerangkan keadaan gereja
yang berada di negeri Habasyah (Ethiopia), keduanya menyebutkan keindahannya
dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda,
(yang artinya): “Mereka adalah suatu kaum yang jika ada seorang
yang shalih meninggal di antara mereka, mereka membangun masjid di atas
kuburannya dan mereka membuat gambar-gambar itu (gambar orang shalih tersebut).
Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Dengan sebab inilah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang menjadikan masjid-masjid di atas kuburan karena hal itu yang banyak menjerumuskan kebanyakan umat-umat ke dalam syirik akbar dan yang lebih rendah/hina dari itu. Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia akan berbuat kesyirikan terhadap patung orang-orang shalih dan gambar-gambar yang dianggap sebagai mantera-mantera dan yang semacamnya. Kesyirikan karena adanya kuburan seseorang yang diyakini keshalihannya adalah lebih dekat kepada jiwa-jiwa manusia dibanding kesyirikan karena mengagungkan sebuah pohon atau sebuah batu. Oleh karena itu, Anda akan menjumpai orang-orang yang berbuat syirik, merendahkan diri, khusyu’, hening, dan menunaikan ibadah di kuburan-kuburan tersebut yang tidak mereka lakukan ketika berada di rumah-rumah Allah dan di waktu sahur. Di antara mereka ada yang sujud kepada kuburan itu. Dan kebanyakan mereka mengharapkan barakah shalat dan berdoa di tempa itu apa yang mereka tidak harapkan ketika di masjid-masjid. Karena kerusakan itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan penyebab utamanya. Hingga beliau melarang shalat di kuburan secara mutlak. Walaupun orang yang shalat di situ tidak mengharapkan barakah tempat tersebut sebagaimana ketika shalat di masjid. Sebagaimana beliau melarang shalat ketika matahari terbit dan ketika terbenam.
Karena waktu-waktu itu adalah waktu shalat bagi kaum musyrikin
kepada matahari. Maka beliau melarang umatnya shalat ketika itu meskipun ia
tidak bermaksud sebagaimana tujuan kaum musyrikin, (hal ini dilakukan) dalam
rangka menutup jalan menuju larangan. Adapun jika seseorang shalat di sisi
kuburan dengan tujuan mencari barakah di tempat itu maka ini benar-benar
menentang Allah dan Rasul- Nya, menyelisihi agama Rasul dan melakukan
kebid’ahan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah. Karena kaum
Muslimin telah sepakat –berdasarkan apa yang mereka ketahui dari agama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam– bahwa shalat di sisi kuburan adalah
terlarang dan bahwasanya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat orang
yang menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Karena termasuk kebid’ahan
terbesar dan sebab-sebab perbuatan syirik adalah shalat di sisi kuburan,
menjadikannya sebagai tempat sujud, dan membangun masjid-masjid di atasnya.
Telah mutawatir dalil-dalil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan
larangan dan sikap keras beliau terhadap (orang yang) membangun masjid di atas
kuburan dan sujud di sisinya … .” (Lihat Fathul Majid halaman 275-276)
E. Keterkaitan Jamaah
Tabligh Dengan Jimat-Jimat
Di antara kesyirikan-kesyirikan yang tersebar di kalangan Jamaah
Tabligh adalah menggantungkan jimat-jimat yang berisi mantera-mantera,
nama-nama yang asing, nomor-nomor atau rumus-rumus yang aneh yang tidak
terlepas dari permintaan, pertolongan, dan perlindungan kepada selain Allah.
(Lihat Al Qaulul Baligh halaman 13)
Tidakkah mereka mengetahui bahwa memakai jimat-jimat hukumnya haram dan termasuk syirik asghar. Bahkan bisa menjadi syirik akbar jika seandainya orang yang memakainya bergantung sepenuhnya kepada jimat-jimat tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang
artinya): “Barangsiapa menggantungkan jimat-jimat maka sungguh dia telah
berbuat syirik.” (HR. Ahmad dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam As Shahihah nomor 492)
Dan sungguh keras ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang berbuat syirik. Allah berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan padanya Surga dan tempatnya ialah di neraka, tidaklah ada bagi orang yang dhalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah : 72)
F. Penutup
Dari sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang telah disebutkan di
atas, cukup bagi kita untuk menilai sampai sejauh mana jamaah ini menyeleweng
dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus Sunnah wal Jamaah sangatlah
memperhatikan perbaikan perkara aqidah di tengah umat ini. Bahkan yang pertama
kali mereka (Ahlus Sunnah) dakwahkan adalah bagaimana mengaplikasikan
penghambaan seseorang kepada Allah semata dan menjauhkannya dari segala
kesyirikan dan penghambaan kepada selainAllah.
Adapun Jamaah Tabligh tidak menghiraukan sama sekali perkara
aqidah. Sehingga tak heran kalau mereka tidak memahami makna hakiki dari
kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah. Bahkan mereka (Jamaah Tabligh)
menghalang-halangi orang-orang yang berdakwah kepada tauhid dan menganggap
dakwah tauhid adalah dakwah pemecah-belah umat.
Asas dakwah Jamaah Tabligh dibangun di atas kejahilan dan kebodohan. Mereka menghalang-halangi para pemuda untuk menuntut ilmu agama dan menganggap bahwa ilmu agama itu bisa didapatkan dengan melakukan khuruj fi sabilihim (keluar berdakwah di jalan mereka bukan di jalan Allah) tanpa mendatangi para ulama dan menuntut ilmu dari mereka. Akibatnya, kesyirikan-kesyirikan, khurafat-khurafat, dan kebid’ahan-kebid’ahan tumbuh subur di kalangan mereka. Dan hasil dari dakwah yang berdiri di atas kebodohan adalah kebodohan pula, tidak ada yang lain.
Maka penulis menasehatkan kepada seluruh pembaca agar berhati-hati dari Jamaah Tabligh atau seluruh jamaah-jamaah yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah As Salafiyah Al Firqatun Najiyah Ath Tha’ifah Al Manshurah. Di hadapan kita banyak dai-dai yang mengajak kepada kesesatan sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika menafsirkan ayat : “Dan bahwasanya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al An’am : 153)
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggaris sebuah garis dengan tangannya kemudian berkata : “Inilah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau menggaris sejumlah garis di sebelah kanan dan kiri garis itu kemudian bersabda : “Dan inilah jalan-jalan,tidaklah setiap jalan kecuali terdapat syaitan yang mengajak kepadanya.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi)
Wallahu A’lam Bish Shawab.
Sumber:
assunnah.cjb.net
Judul
Asli: Borok-borok Aqidah Tabligh
Fatwa-Fatwa Terahir Ulama
Ahlus Sunnah
"Tinggallah kalian di
Masjid kalian, itu lebih baik bagi kalian daripada kalian kumpul-kumpul bersama
Jamaah Tabligh". (Nasihat Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi)
1. Fatwa Syaikh Rabi'
bin Hadi Al Madkhali (1)
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurah atas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarganya dan shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya. Amma
Ba’du.
Sungguh telah sampai kepadaku beberapa selebaran yang memuat perkataan dua ulama besar salafy yaitu Syaikh Bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah.
Sungguh telah sampai kepadaku beberapa selebaran yang memuat perkataan dua ulama besar salafy yaitu Syaikh Bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah.
Sebagian pengikut Jama’ah Tabligh berusaha menyebarkannya dan mengedarkannya di kalangan orang-orang bodoh (tidak berilmu) dan orang yang tidak mengerti hakikat manhaj mereka (yakni manhaj Jama’ah Tabligh) yang bathil dan aqidah mereka yang rusak.
Memang di dalam perkataan dua Syaikh tersebut terdapat pernyataan yang memuji Jama’ah Tabligh.
Fatwa Syaikh Bin Baz berdasarkan penuturan seorang Tablighy
(pengikut Jama’ah Tabligh) atau pendukungnya, dia menceritakan kepada Syaikh
Bin Baz berita yang bertentangan dengan keadaan Jama’ah Tabligh yang
sebenarnya. Dia juga memberikan gambaran yang berlawanan dsri kenyataannya.
Yang menguatkan ucapan kami adalah perkataan Syaikh Bin Baz Rahimahullah berikut:
Yang menguatkan ucapan kami adalah perkataan Syaikh Bin Baz Rahimahullah berikut:
“Tidak diragukan lagi bahwa umat manusia sangat membutuhkan
pertemuan- pertemuan yang bagus semacam ini, yaitu perkumpulan dalam rangka
mengingat Allah (dzikrullah), menyeru untuk berpegang teguh dengan islam,
menerapkan ajaran-ajaran- Nya dan membersihkan tauhid dari bid’ah dan khurofat.
(lihat fatwa Beliau, no 1007, tanggal 17/8/1407 H dan yang disebarkan oleh
Jama’ah Tabligh sekarang).
Dari sini teranglah bahwa tablighy di atas menyebutkan dalam selebarannya bahwa Jama’ah Tabligh menyeru untuk berpegang teguh dengan islam dan menerapkan ajaran-ajaran-Nya dengan membersihkan tauhid dari bid’ah dan khurofat. Oleh karena itulah, maka Syaikh Bin Baz memuji mereka.
Seandainya penulis selebaran tersebut mengungkapkan fakta sebenarnya dan menggambarkan hakikat keadaan mereka serta menjelaskan hakikat manhaj mereka yang rusak, niscaya Syaikh Bin Baz As-Salafy Al-Muwahhid pasti mencela mereka dan memperingatkan umat dari bahayanya mereka sebagaimana yang beliau lakukan pada fatwa beliau yang terakhir tentang mereka yang akan dilampirkan di sini pula.
Adapun di dalam perkataan Al-Allamah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga terdapat pernyataan yang menunjukkan bahwa beliau membiarkan ajaran mereka. Perhatikan pernyataan beliau berikut ini:
“Perhatikan” Jika perselisihan terdapat pada masalah aqidah maka
wajib diluruskan. Apabila perkara tersebut menyelisihi madzab salaf, maka wajib
diingkari dan wajib memperingatkan umat dari bahaya orang yang menelusuri jalan
yang menyelisihi madzab salaf dalam bab ini. Lihat fatwa Ibnu ‘Utsaimin
92/936-944) sebagaimana disebutkan dalam selebaran yang diedarkan oleh Jama’ah
Tabligh sekarang.
Tidak diragukan lagi bahwa perselisihan antara salafiyyun Ahlus Sunnah dan Ahlut Tauhid dengan Jama’ah Tabligh adalah suatu perselisihan yang sangat keras dan tajam dalam masalah aqidah dan manhaj.
Jama’ah Tabligh berpahaman Maturidiyah yang meniadakan sifat-sifat Allah. Mereka juga menganut paham Sufiyah dalam ibadah dan suluk (tata pergaulan-pent). Mereka berbai’at diatas empat Thariqat Sufiyah yan tenggelam dalam kesesatan. Thariqat-thariqat tersebut dibangun diatas pemahaman Hulul (Allah menyatu pada diri seseorang- pent), Wihdatul Wujud (semua yang ada adalah jelmaan Allah), Syirik dengan menyembah kubur dan kesesatan yang lainnya.
Pujian Syaikh ‘Utsaimin di atas pasti karena beliau belum mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya. Seandainya beliau mengetahui (niscaya) beliau akan merendahkan dengan kesesatan mereka dan memperingatkan umat dengan peringatan yang paling keras. Dan beliau pasti akan menempuh jalan yang telah ditempuh oleh dua Syaikh beliau, yaitu syaikh Muhammad bin Ibrahim dan Imam Syaikh Bin Baz. Sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Syaikh Abdurrazaq ‘Afify, Syaikh Shaleh Bin Fauzan Al-fauzan, Syaikh Hamud At- Tuwaijiry, Syaikh Taqiyudin Al-Hilaly, Syaikh Sa’d Al-Husain, Syaikh Syaifurrahman dan Syaikh Muhammad Aslam.
Para masyayikh di atas memiliki beberapa karangan yang agung yang menjelaskan tentang kesesatan Jama’ah Tabligh dan bahayanya ajaran mereka baik dari sisi aqidah atau manhaj. Silakan penuntut kebenaran merujuk kepada kitab-kitab tersebut.
Sungguh telah rujuk (kembali kepada kebenaran ) Abdurrahman Al-Mushry dari buku-bukunya yang mengandung pujian atas Jama’ah Tabligh, dan dia mengakui kesalahannya di sisiku.
Adapun Yusuf Al-Mulahy yang telah bergabung beersama Jama’ah Tabligh selama bertahun-tahun lamanya, kemudian menulis buku yang menjelaskan kesesatan dan rusaknya aqidah mereka. Namun sangat disesalkan, dia berbalik dari kebenaran. (Akhirnya) diapun menulis kitab terakhir yang menceritakan tentang kebaikan mereka, sedang bukunya yang pertama dia biarkan saja.
Namun tulisan para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang manhaj Jama’ah Tabligh telah melumatkan kebatilannya. Terlebih lagi sebuah kaidah yang agung mengatakan bahwa,
“Celaan lebih didahulukan dari pujian”
Kaidah ini membatalkan setiap pujian dari siapapun yan memuji Jama’ah Tabligh, seandainya Tablighiyun (pengikut Jama’ah Tabligh) komitmen dalam memegang kaidah-kaidah islamiyah yang benar, (maka mereka) akan menempuh jalannya ahlul ilmi dan jalannya orang-orang yang memberi nasihat kepada Islam dan muslimin.
Ditulis oleh: Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali Pada 29 / Muharam / 1421 H
(Fatwa Syaikh Dr. Rabi Bin Hadi Al Madkhali, Edisi Indonesia Fatwa Ulama Seputar Jama'ah Tabligh, Penerjemah Abu Bakar, Penerbit Al Haura)
2. Fatwa Syaikh Rabi'
bin Hadi Al Madkhali (2)
"Saya tidak pernah khuruj dengan mereka (Firqah tabligh),
tapi saya pergi untuk suatu keperluan, yakni ke Kashmir. Setelah selesai dari
pekerjaan ini aku melewati Delhi. Maka ada yang mengatakan kepadaku: Mari kita
singgah ke suatu tempat untuk dikunjungi, yaitu ke markas Tabligh yaitu di
Nizamuddin. Nizamuddin ini adalah masjid yang dekat dengan markas jama'ah
tabligh. Di dalamnya ada lima kubur yang diberi kubah. Yakni kuburan yang
disembah, bukan menyembah kepada Allah. Ini ibadah yang jelas syirik. Maka kami
melewati 'monumen' ini. Kemudian kami singgah ke markas tabligh. Orang-orang
berselisih apakah di dalamnya ada kuburan atau tidak.
Maku Abdurrab bertanya, ini orang yang saya ceritakan tadi, apakah di dalam masjid Tabligh ini ada kuburan? Yang cerdas di kalangan mereka berkata: Tidak, di sini tidak ada kuburan! Kuburan Ilyas di Mekkah atau di tempat ini atau itu yang jauh. Maka dia terus bertanya hingga ada seseorang yang menunjukkan atau mengabarkan bahwa di sana ada kuburan Ilyas dan di sebelahnya kuburan istrinya.
Maku Abdurrab bertanya, ini orang yang saya ceritakan tadi, apakah di dalam masjid Tabligh ini ada kuburan? Yang cerdas di kalangan mereka berkata: Tidak, di sini tidak ada kuburan! Kuburan Ilyas di Mekkah atau di tempat ini atau itu yang jauh. Maka dia terus bertanya hingga ada seseorang yang menunjukkan atau mengabarkan bahwa di sana ada kuburan Ilyas dan di sebelahnya kuburan istrinya.
Kemudian al Akh Abdurrab pergi ke kedua kuburan itu dan mencari-carinya setelah ketemu, dia datang kepada kami sambil berkata: Mari, saya tunjukkan kepada kalian dua kuburannya. Maka kami melihat, ini kuburan Ilyas dan ini kuburan istrinya yang keduanya ada di dalam masjid.
Kemudian setelah itu kami pastikan bahwa di dalamnya ada empat kuburan, bukan dua kuburan saja. Kami memastikannya melalui orang-orang yang dipercaya yang telah berjalan bersama Tabligh bertahun-tahun.
Tidak akan berkumpul masjid dan kuburan (di satu tempat) dalam agama Islam. Akan tetapi, mereka ini karena kesufiannya, kebodohannya terhadap manhaj dakwah para nabi, jauh darinya dan meremehkannya, mereka menguburkan para gurunya di masjid, padahal para ulama telah mengatakan: bahwa shalat di dalam masjid yang ada kuburan atau beberapa kuburan, shalatnya tidak sah. Saya bertanya tentang hal ini kepada Syaikh Bin Bazz. Sebenarnya saya tahu tentang ini dan juga para Thalabul Ilmi bahwa shalat di dalam masjid yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, shalatnya tidak sah. Maka saya tanyakan kepada Syaikh Bin Bazz, agar hadirin mendengar jawabannya. Saya katakan: Apa pendapat anda, syaikh, tentang masjid yang ada kuburan di dalamnya, apakah sah shalat di dalamnya? Beliau menjawab: Tidak! Saya katakan: Di dalamnya ada banyak kuburan? Beliau mengatakan: Terlebih lagi demikian! Saya katakan: Kuburannya bukan di kiblat masjid, tapi di sebelah kiri dan kanannya? Beliau menjawab: Demikian juga, tetap tidak sah. Saya katakan kepada beliau bahwa masjid induk atau markas induk tabligh di dalamnya ada beberapa kuburan? Maka beliau menjawab: Tetap shalatnya tidak sah!
Sangat disayangkan sekali, kelompok ini bergerak di dunia, tetapi beginilah keadaannya; tidak mengajak kepada tauhid, tidak membasmi syirik dan tidak membasmi jalan-jalan menuju kesyirikan. Mereka terus berjalan dengan melewati beberapa kurun dan generasi tetap dengan dakwah seperti ini. Tidak mau berbicara tentang tauhid, memerangi kesyirikan dan tidak membolehkan bagi para pengikutnya untuk melaksanakan kewajiban ini. Ini adalah suatu hal yang telah diketahui di kalangan mereka.
Maka kita meminta kepada mereka agar kembali kepada Allah dan mempelajari manhaj dakwah para nabi, mereka juga jama'ah yang lainnya.
Mengapa demikian wahai saudara-saudara? Karena kalau ada yang berdakwah mengajak kepada shalat, orang akan berkata: Silahkan! Tidak ada yang melarang, mereka tidak akan khawatir. Akan tetapi coba kalau mengatakan: Berdo'a kepada selain Allah adalah perbuatan syirik! Membangun kuburan haram hukumnya! Menyembelih untuk selain Allah adalah syirik! Maka mereka akan marah.
Ada seorang pemuda yang berkhuthbah di suatu masjid tentang persatuan, akhlak, perekonomian, dekadensi moral, dan yang lainnya. Orang-orang semuanya, masya Allah, berkumpul dan mendengarkannya. Kita katakan kepadanya: Ya akhi... jazakallahu khairan, khuthbah anda sangat baik, tetapi orang-orang yang ada di hadapanmu ini tidak mengenal tentang tauhid, mereka terjatuh dalam kesyirikan dan bid'ah, maka terangkan kepada mereka tentang manhaj dakwah para Nabi 'alaihimush shalatu was salam! Maka ketika dia mulai berbicara, merekapun mulai bersungguh-sungguh. Ketika dia terus berbicara, merekapun semakin jengkel. Maka ketika yang ketiga kalinya ada sekelompok orang yang ada di masjid bangkit dan memukulinya! Maka dia datang kepadaku sambil menangis. Dia berkata: Aku habis bertengkar dengan mereka, mereka memukuliku! Maka aku katakan kepadanya: Sekarang engkau telah berjalan di atas manhaj dakwah para Nabi. Kalau engkau tetapi seperti dulu bertahun-tahun, engkau tidak akan berselisih dengan seorangpun. Dari sinilah kelompok yang ada ini bergerak, mereka memerangi bagian ini. Nabi bersabda:
"Seberat-berat manusia diberi cobaan adalah para Nabi, kemudian yang selanjutnya dan kemudian yang selanjutnya."
Karena mereka menghadapi berbagai gangguan yang hanya Allah yang
tahu tentang kerasnya gangguan itu ketika mereka berdakwah kepada tauhid dan
membasmi kesyirikan. Dari sinilah para da'i yang mengajak kepada tauhid dan
membasmi syirik malah disakiti. Kalau dakwah Ikhwan dan Tabligh disenangi
manusia karena meremehkan sisi ini. Tapi kalau aku berkhuthbah di masjid
seperti ini, sedikit sekali yang mau mendengarku dan menerima dakwahku, kecuali
orang- orang yang dikehendaki Allah. Kalau aku berdakwah mengajak shalat,
mereka akan berkata: silahkan. Tapi kalau aku berdakwah untuk bertauhid dan
memerangi kesyirikan, semuanya akan lari dan merasa asing. Inilah dakwah para
Nabi.
Inilah dasarnya mengapa mereka menjadi manusia yang paling banyak ganngguannya. Sekarang para salafiyyun, para da'i kepada tauhid keadaan mereka dikaburkan oleh manusia. Karena banyaknya fitnah, kebohongan-kebohongan dan tuduhan dusta yang ditujukan kepada mereka. Mengapa? Karena mereka mengajak untuk mentauhidkan Allah!
Kelompok ini tidak bisa masuk ke dalam lapangan ini, karena mereka takut kepada sisi ini. Tetapi mereka akan ditanya di hadapan Allah. Demi Allah, telah datang kepada kami seseorang atau segolongan Tabligh di Benares, di sebuah rumah yang saya tempati dengan syaikh Shalih Al Iraqi. Mereka berkata: Kami dengar kalian datang, kami sangat senang, maka kami datang mengunjungi kalian agar kalian ikut bersama kami berdakwah kepada Allah. Dan tempat kami adalah masjid ini. Maka kami juga gembira dan mendatangi masjid itu, ternyata masjid itu tempat tarikat Berelwian. Mereka adalah para penyembah berhala dan sangat keterlaluan dalam penyembahan itu.
Mereka meyakini bahwa para wali bisa mengetahui perkara yang ghaib dan mengatur alam. Mereka membolehkan untuk bernadzar, menyembelih, sujud dan ruku' kepada kuburan. Singkat kata: mereka adalah golongan penyembah berhala. Maka Syaikh Shalih pergi dan bersama kami ada seorang penerjemah, namanya Abdul Alim, sekarang dia ada di Rabithah Al Alam Islami. Kami bawa orang ini untuk menerjemahkan ucapan syaikh. Maka syaikhpun berbicara. Setiap selesai berbicara beliau melihat kepada penerjemah agar diterjemahkan. Maka penerjemahpun akan bergerak, maka ternyata pemimpin tabligh melihat dan berkata: Tungguh, saya yang akan menerjemahkan. Maka syaikh terus berbicara, tapi tidak ada seorangpun yang menerjemahkan. Hingga ceramahnya selesai. Ketika selesai acara itu dia mengucap salam dan malah pergi. Maka kami tetapi di situ menunggu terjemah. Dia berkata: Saya ada keperluan, biar orang ini yang menerjemahkan. Maka kami shalat Isya' sambil menunggu terjemahan ceramah itu, tapi tidak kunjung diterjemahkan. Maka saya temui lagi orang itu dan mengatakan: Ya akhi, kami datang ke tempat kalian ini bukan untuk main-main. Tapi kalian tadi meminta kepada kami untuk ikut serta bersama kalian berdakwah, maka kamipun datang menyambut ajakan kalian. Dan syaikh tadi telah berbicara. Ketika penerjemah akan menerjemah engkau malah melarangnya. Dan engkau menjanjikan akan menerjemahkannya, tapi engkau tidak lakukan sedikitpun. Maka dia berkata: Ya akhi, engkau tahu?! Masjid ini milik Khurafiyyin!! Kalau kita berbicara tentang tauhid, mereka akan mengusir kita dari masjid. Maka saya katakan: Ya akhi, apakah seperti ini dakwah para Nabi? Ya akhi, dakwah kalian sekarang menyebar di penjuru dunia. Kalian pergi ke Amerika, Iran dan Asia, kalian tidak dapati sedikitpun perlawanan selama-lamanya. Apakah seperti ini dakwah para Nabi? Semua manusia menerimanya dan menghormatinya? Dakwah para Nabi padanya ada pertempuran, darah, kesusahan-kesusahan dan lain-lain. Kalau engkau diusir dari suatu masjid, berdakwahlah di masjid lain atau di jalan- jalan atau di hotel-hotel. Katakan kalimat yang haq dan tinggalkan. Rasul saja diusir dari Mekkah karena sebab dakwah ini. Kemudian saya tanya sudah berapa lama dakwah ini berjalan? Dia berkata: Belum tiga puluh tahun. Saya katakan: Kalian telah menyebar di India, utara dan selatan. Dan engkau melihat fenomena kesyirikan di hadapanmu dan telah mati berjuta-juta orang. Sudah berapa juta orang yang mati selama itu dalam keadaan berada di atas kesesatan, kesyirikan dan bid'ah yang kalian sebarkan ini?! Dan engkau belum menerangkan hal itu kepada mereka! Apakah engkau tidak merasa kalau engkau akan ditanya di hadapan Allah karena engkau menyembunyikan kebenaran ini dan tidak menyampaikannya kepada para hamba Allah?! Diapun diam. Maka aku permisi dan keluar.
Mereka menyembunyikan kebenaran yang dinyatakan Al Qur`an. Dan mereka tidak menegakkan panji-panji tauhid dan tidak mau menyatakan peperangan kepada kesyirikan dan bid'ah. Mereka ini terkena ayat Allah:
"Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati." (Al Baqarah: 159).
Apa yang mereka dapati kalau mereka telah menyembunyikan kebenaran yang paling nyata?! Dan hal yang paling besar yang bukti-bukti itu berdiri di atasnya?! Bukti-bukti yang paling besar adalah ayat-ayat tauhid. Dakwah yang paling besar yang dilakukan para nabi dan Al Qur`an adalah tauhid. Dan yang paling jelek dan bahaya adalah syirik dan bid'ah. Al Qur`an dan Sunnah telah memeranginya. Kemudian mereka malah setuju dan bersama kesyirikan, bid'ah, dan para pendukungnya sampai mati. Berapa banyak orang yang mati di bawah panji ini dalam keadaan tidak tahu kebenaran tauhid selama itu?! Dan dalam keadaan tidak bisa membedakan antara tauhid dengan syirik?!
Kalau mereka tidak dihisab karena menyembunyikan ayat tauhid, maka siapa lagi yang dihisab?
Kita berharap kepada Allah agar menjadi orang yang menolong agama ini dan menasehati kaum muslimin. Dan agar Allah menjauhkan kita dari sifat menipu dalam agama, karena membiarkan bid'ah dan syirik adalah penipuan yang paling besar. Tidak ada penipuan yang bisa menyaingi penipuan ini. Kalau menipu manusia dalam perdagangan saja Rasulullah berlepas tangan, maka bagaimana lagi kalau menipu dalam agama? Bagaimana engkau bisa diam terhadap kesyirikan dan bid'ah?! Engkau merusak aqidah kaum muslimin dan masyarakat mereka. Kemudian engkau mengatakan: Kita semua kaum muslimin, bersaudara dan engkau tidak menerangkan mana yang haq dan mana yang batil?! Kita memohon kepada Allah agar Dia menjaga kita dari penyakit ini."
(Dari kaset Al Qaulul Baligh)
3. Fatwa Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz (1)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya tentang
Jamaah Tabligh, si penanya berkata : "Wahai samahatu Syaikh, kami
mendengar tentang Jamaah Tabligh dan dakwah yang mereka lakukan. Apakah Syaikh
menasihatiku untuk bergabung dengan jamaah ini? Saya mohon diberi bimbingan dan
nasihat, semoga Allah melipatgandakan pahala syaikh".
Maka Syaikh menjawab dengan mengatakan : Setiap orang yang berdakwah kepada Allah maka ia adalah mubaligh, (balighu 'anni walau ayah) artiya "sampaikanlah dariku walau satu ayat". Akan tetapi Jamaah Tabligh yang terkenal, yang berasal dari india ini, mereka memiliki khurafat-khurafat, mereka memiliki sebagian bid'ah- bid'ah dan perbuatan syirik, maka tidak boleh keluar (berpergian) bersama mereka, kecuali seorang yang memiliki ilmu, ia keluar untuk mengingkari perbuatan mereka, dan mengajar mereka. Adapun jikalau ia keluar untuk mengikuti mereka, maka jangan (jangan keluar bersama mereka-pent). Karena mereka memiliki khurafat- khurafat, mereka memiliki kesalahan dan kekurangan dalam ilmu, akan tetapi jika ada jamaah dakwah selain mereka dari kalangan ahli ilmu dan ahli pemahaman, maka (tidak mengapa-pent) ia keluar bersama mereka untuk berdakwah kepada Allah. Atau seseorang yang memiliki ilmu, dan pemahaman, maka ia keluar bersama mereka untuk memahamkan mereka, mengingkari (kesalahan) mereka, dan membimbing mereka kepada jalan yang baik, serta mengajar mereka, sehingga mereka meninggalkan mazhab (ajaran) yang batil, dan memegang mazhab ahli sunnah wal jamaah."
Maka hendaklah jamaah tabligh dan siapa yang simpati kepada mereka mengambil faidah dari fatwa ini yang menjelaskan kondisi mereka sebenarnya, akidah mereka, manhaj mereka dan karangan-karangan pemimpin mereka yang mereka ikuti.
(Fatwa samahatus Syaikh Abdul Aziz Bin Baz ala Jamaatu Tabligh,
fatwa ini dikeluarkan di Taif kira-kira dua tahun sebelum beliau wafat, dan di
dalamnya terdapat bantahan terhadap kekeliruan Jamaah Tabligh terhadap
perkataan yang lama yang bersumber dari Syaikh, sebelum jelas baginya akan
hakikat kondisi dan manhaj mereka).
4. Fatwa Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz (2)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya :
"Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, hadits Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam, tentang berpecahnya umat- umat (yakni) sabda beliau : "Umatku
akan terpecah menjadi 73 golongan kecuali satu". Apakah Jamaah Tabligh
dengan kondisi mereka yang memiliki beberapa kesyirikan dan bid'ah, dan Jamaah
Ikhwan Muslimin dengan kondisi mereka yang memiliki sifat hizbiyah
(berkelompok), dan menentang penguasa, serta tidak mau tanduk dan patuh, apakah
dua golongan ini masuk ? (ke dalam hadits tadi,red).
Maka Syaikh menjawab : "Dia masuk dalam 72 dolongan ini (golongan sesat, red), barangsiapa yang menyelisihi akidah ahli sunnah maka ia telah masuk kepada 72 golongan. Maksud dari sabda beliau (umatku) adalah umat ijabah artinya mereka yang menerima dan menampakkan keikutan mereka kepada beliau, tujuh puluh tiga golongan, yang lolos dan selamat adalah yang mengikuti beliau dan konsekwan dalam agamanya. Dan tujuh puluh dua golongan, di antara mereka ada bermacam- macam, ada yang kafir, ada yang bermaksiat dan ada yang berbuat bid'ah."
Lalu si penanya berkata : "Maksudnya kedua golongan ini (Jamaah Tabligh dan Ikhwan) termasuk dari tujuh puluh dua ? Syaikh menjawab : "Ya. Termasuk dari tujuh puluh dua, begitu juga Murjiah dan lainnya, Murjiah dan Khawarij. Oleh sebagain ahli ilmu memandang Khawarij tergolong dari orang kafir yang keluar dari Islam, akan tetapi ia termasuk dari keumuman tujuhpuluh dua itu.
(Direkam dalam pelajaran syaikh Bin Baz, Syarh al Muntaqa di
kota Thaif, sebelum beliau wafat kira-kira dua tahun atau kurang).
5. Fatwa Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz (3)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya :
"Saya telah keluar bersama Jamaah Tabligh ke India dan Pakistan, kami
berkumpul dan shalat di mesjid-mesjid yang di dalamnya terdapat kuburan, dan
saya mendengar bahwa shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, maka
shalatnya batal (tidak sah), apakah pendapat Syaikh tentang shalat saya, apakah
saya mengulanginya, dan apa hukum khuruj (keluar) bersama mereka kepada
tempat-tempat seperti ini?
Jawab :
"Bismillah walhamdulillah, amma ba'du : Sesungguhnya Jamaah Tabligh, mereka tidak mempunyai ilmu dan pemahaman dalam masalah-masalah akidah, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka, kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pemahaman tentang akidah yang benar yang dipegang teguh oleh ahli sunnah wal jamaah, sehingga ia membimbing, dan menasihati mereka, serta bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan, karena mereka gesit dalam beramal, akan tetapi mereka butuh pemahaman ilmu dan butuh kepada orang yang akan memahamkan mereka dari kalangan ulama-ulama tauhid dan sunnah. Semoga Allah menganugerahkan kepada semua akan pemahaman dalam agama dan konsekwen di atasnya. Adapun shalat di dalam masjid-masjid yang di dalamnya ada kuburan, maka shalatnya tidak sah, dan kamu wajib mengulangi shalat yang kamu kerjakan di masjid-masjid itu, karena Nabi bersabda :
"Allah telah melaknat Yahudi dan Narani yang mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid". (Muttafaqun 'alaihi).
Dan sabda Beliau Shalallahu 'alaihi wassalam :
"Ingatlah sesungguhnya orang sebelum kalian, mereka
menjadikan kuburan nabi- nabi dan orang-orang shaleh mereka sebagai mesjid,
ingatlah, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai mesjid,
sesungguhnya saya melarang kalian akan itu". (H.R. Muslim).
Dan hadits-hadits pada hal ini sangatlah banyak, wa billahi
taufiq, semoga Allah menanugerakan salawat dan salam atas nabi kita Muhammad
dan atas keluarganya serta sahabatnya.
(Fatwa dikeluarkan tanggal 2/11/1414 H)
--------------------------------------------------------
Perkataan Syaikh Abdul Aziz Bin Baz : "Maka tidak boleh
khuruj (keluar) bersama mereka, kecuali orang yang mempunyai ilmu dan pemahaman
tentang akidah yang shahih yang dipegang teguh oleh Ahli Sunnah wal Jamaah,
sehingga ia bisa membimbing dan menasehati mereka serta bekerja sama dengan
mereka untuk melakukan kebajikan."
Penyusun mengatakan : "Semoga Allah merahmati Syaikh, kalaulah mereka itu mau menerima nasehat, dan bimbingan dari ahli ilmu, tentulah tidak ada halangan untuk keluar (khuruj) bersama mereka, akan tetapi realita yang membuktikan bahwasanya mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau meninggalkan kebatilan mereka. Disebabkan ta'asub (fanatik) dan sikap menuruti hawan nafsu mereka yang bersangatan. Kalaulah mereka menerima nasehat-nasehat para ulama, niscaya mereka telah meninggalkan manhaj mereka yang batil dan pastilah mereka telah menempuh jalan ahli tauhid dan sunnah. Jika seandainya permasalahannya seperti itu, maka tidaklah boleh khuruj (keluar) bersama mereka, sebagaimana sikap itu merupakan sikap manhaj salafusholeh yang berpengang kepada kitab dan sunnah dalam mentahdzir (memperingatkan) dari ahli bid'ah dan dari bergaul serta bermajlis dengan mereka, karena hal itu adalah menambah banyaknya keanggotaan mereka, dan membantu dan memperkuat bersebarnya kesesatan mereka, dan hal itu adalah pengkhianatan terhadap agama Islam dan kaum muslimin, terpedaya oleh mereka dan kerja sama dalam melakukan dosa dan melampaui batas. Apalagi mereka itu melakukan bai'at berdasarkan atas 4 macam tarikat (ajaran) sufi yang di dalamnya terdapat keyakinan hululiyah (Allah menepati makhluk) dan wahdatul wujud (Allah dan makhluk satu) serta syirik dan bid'ah."
Fatwa Lajnah Daimah (Lembaga Tetap) tentang Jamaah Tabligh. No fatwa : 17776, tertanggal : 18/3/1416 H.
6. Fatwa Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz (4)
Syaikh ditanya : "Saya pernah membaca beberapa fatwa Syaikh
(Ibnu Baz). Dan Syaikh mendorong / mengajak pelajar (penuntut ilmu) untuk keluar
(khuruj) bersama Jamaah Tabligh, dan alhamdulillah kami telah khuruj bersama
mereka, dan kami memetik faidah yang banyak, akan tetapi, wahai Syaikh yang
mulia, saya melihat sebagian amalan (yang dikerjakan-pent) tidak ada tercantum
di dalam Kitabullah dan sunnah rasul-Nya seperti : 1. Membuat lingkaran di
dalam mesjid pada setiap dua orang atau lebih, lalu mereka saling mengingat
sepuluh surat terakhir dari Al Quran, dan konsisten dalam menjalankan amalan
ini dengan cara seperti ini pada setiap kali kami khuruj (keluar). 2.
Ber'itikaf pada setiap hari Kamis dalam bentuk terus menerus. 3. Membatasi hari
untuk khuruj, yaitu tiga hari dalam satu bulan, empat puluh hari setiap tahun
dan empat bulan seumur hidup. 4. Selalu doa berjamaah setiap setelah bayan (pelajaran).
Bagaimanakah wahai syaikh yang mulia, jika seandainya saya keluar bersama
jamaah ini, dan saya melakukan amalan-amalan dan perbuatan ini yang tidak
pernah terdapat di dalam kitabullah dan sunnah rasul, ketahuilah wahai syaikh
yang mulia, sesungguhnya merupakan hal yang sangat sukar sekali untuk merobah
metode (manhaj) ini. Beginilah cara dan metode mereka seperti yang diterangkan
di atas.
Jawab :
"Apa yang telah anda sebutkan dari perbuatan jamaah ini (Jamaah Tabligh) seluruhnya adalah bid'ah, maka tidak boleh ikut serta sama mereka, sampai mereka berpegang teguh dengan manhaj kitab dan sunnah serta meninggalkan bid'ah- bid'ah."
Tertanda : Ketua Lajnah : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Anggota : Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syaikh.
Anggota : Sholeh bin Fauzan Al Fauzan.
Anggota : Bakr bin Abdullah Abu Zaid.
7. Fatwa Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh
"Dari Muhammad bin Ibrahim ke hadapan pangeran Khalid bin
Su'ud, pimpinan kantor kerajaan yang terhormat, Assalamu'alaikum warahmatullah
wabarakatuh dan selanjutnya : Sungguh saya telah menerima surat Pangeran (No
36/4/5-d, tertanggal 21/1/1382 H) beserta lampirannya, hal itu adalah harapan
yang diangkat kepada hadapan dipertuan agung Raja yang terhormat, dari Muhammad
Abdul Majid Al Qadiri, Syah Ahmad Nurani, Abdus Salam Al Qadiri dan Su'ud Ahmad
Ad Dahlawi, sekitar permohonan mereka minta bantuan untuk proyek organisasi
mereka yang mereka namakan (Kuliah Da'wah Tabligh Al Islamiyah) dan begitu juga
buku-buku kecil yang dilampirkan bersama surat mereka. Saya mengemukakan kepada
hadapan Pangeran, bahwasanya organisasi ini tidak ada kebaikan di dalamnya,
karena sesungguhnya ia adalah organisasi bid'ah dan sesat. Dan dengan membaca
buku-buku kecil yang dilampirkan dengan surat mereka, maka kami telah menemukan
buku-buku itu mengandung kesesatan, bid'ah dan dakwah (ajakan) kepada
mengibadati kubur dan syirik. Hal itu adalah perkara yang tidak mungkin
didiamkan. Oleh karena itu kami insya Allah akan membalas surat mereka dengan
apa yang mungkin menyingkap kesesatan mereka dan membantah kebatilan mereka.
Dan kita mohon kepada Allah semoga Dia menolong agama-Nya, dan mengangkat
kalimat-Nya, wassalamu'alikum warahmatullah". [S-M-405 pada tanggal
29/1/1382H].
(Rujukan kitab Al Qaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaatit
Tabligh, oleh syaikh Hamud At Tuwaijiri halaman : 289).
8. Fatwa Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani (1)
Beliau pernah ditanya :
"Apakah pendapat Syaikh tentang Jamaah Tabligh, apakah boleh bagi pelajar (penuntut ilmu) atau lainnya untuk khuruj (keluar) bersama mereka dengan dalih berdakwah kepada Allah ?
Maka beliau menjawab :
Jamaah Tabligh tidak berdiri (berdasarkan) atas manhaj kitabullah dan sunnah rasul- Nya 'alaihi salawat wa salam, dan apa yang dipegang oleh salafus shalih. Kalau seandainya perkaranya seperti itu, maka tidaklah boleh khuruj bersama mereka, karena hal itu bertentangan dengan manhaj kita dalam menyampaikan manhaj salafus shalih. Maka dalam medan dakwah kepada Allah, yang keluar itu adalah orang yang berilmu, adapun orang-orang yang keluar bersama mereka, yang wajib mereka lakukan adalah untuk tetap tinggal di negeri mereka dan memperlajari ilmu di masjid-masjid mereka, sampai-sampai masjid-masjid itu mengeluarkan ulama yang melaksanakan tugas dalam dakwah kepada Allah. Dan selama kenyataanya masih seperti itu, maka wajiblah atas penuntut ilmu (pelajar) untuk mendakwahi mereka-mereka itu (Jamaah Tabligh-pent) di dalam rumah mereka sendiri, agar mempelajari kitab dan sunnah dan mengajak manusia kepadanya. Sedang mereka - yakni Jamaah Tabligh- tidak menjadikan dakwah kepada kitab dan sunnah sebagai dasar umum, akan tetapi mereka mengatagorikan dakwah ini sebagai pemecah. Oleh karena itu, maka mereka itu lebih cocok seperti Jamaah Ikhwan Muslimin.
Mereka mengatakan bahwa dakwah kami berdiri atas kitab dan sunnah, akan tetapi ini hanya semata-mata ucapan, sedangkan mereka tidak ada akidah yang menyatukan mereka, yang ini Maturidi dan yang itu Asy'ari, yang ini sufi dan yang itu tidak punya mazhab. Itu, karena dakwah mereka berdiri atas dasar: bersatu, berkumpul, kemudian pengetahuan. Pada hakikatnya mereka tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, sungguh telah berjalan bersama mereka waktu lebih dari setengah abad, tidak pernah seorang alim pun yang lahir di tengah-tengah mereka. Adapun kita, maka kita mengatakan : Berpengetahuan (dulu), kemudian berkumpul, sehingga perkumpulan itu berada di atas pondasi yang tidak ada perbedaan di dalamnya. Dakwah Jamaah Tabligh adalah sufi moderen, yang mengajak kepada akhlak. Adapun memperbaiki akidah masyarakat, maka mereka itu tidak bergeming, karena dakwah ini (memperbaiki akidah) -sesuai dengan prasangka mereka- memecah belah.
Dan sungguh telah terjadi koresponden antara akh Sa'ad Al Hushain dan pemimpin Jamaah Tabligh di India atau Pakistan, maka jelaslah darinya bahwa sesungguhnya mereka itu menyetujui tawasul, dan istighatsah dan banyak hal-hal lain yang sejenis ini. Dan mereka meminta kepada anggota mereka untuk membai'at di atas empat macam tarikat (ajaran), diantaranya adalah : An Naqsyabandiyah, maka setiap orang tabligh seyogyanya untuk membai'at di atas dasar ini.
Dan mungkin seorang akan bertanya : Sesungguhnya Jamaah ini, disebabkan usaha anggota-anggotnya telah kembali (insaf dan sadar) kebanyakan manusia kepada Allah, bahkan mungkin melalui tangan-tangan mereka kebanyakan orang non muslim telah masuk Islam. Apakah ini sudah cukup sebagai dalih bolehnya untuk keluar dan bergabung bersama mereka pada apa yang mereka dakwahkan? Maka kita katakan : "Sesungguhnya ucapan-ucapan ini sering kami ketahui dan kami dengar dan kami dengar (juga) dari orang-orang sufi!!. Ini bagaikan : Ada seorang syaikh akidahnya rusak, dan tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang sunnah, bahkan ia memakan harta orang dengan cara batil (tidak sah).... Disamping itu banyak orang yang fasik (yang berdosa) bertaubat lewat tangannya....! Maka setiap jamaah yang mengajak kepada kebajikan pasti mempunyai pengikut, akan tetapi kita harus melihat kepada intisari permasalahan, kepada apakah yang mereka mengajak / berdakwah? Apakah kepada mengikuti kitabullah dan hadits Rasul, kepada akidah salafus shalih, tidak ta'ashub (fanatik) mazhab, dan mengikuti sunnah, dimanapun dan sama siapapun? Maka Jamaah Tabligh, mereka tidak memiliki manhaj ilmu, akan tetapi manhaj mereka sesuai dengan tempat dimana mereka berada, mereka berubah warna dengan setiap warna.
(Rujuklah Fatwa Imaratiyah, karangan Al Albani soal no : 73 hal
: 38). Tulisan kelima dari lima tulisan (tulisan terakhir).
9. Fatwa Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani (2)
Di sini ada pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang Jama'ah
(firqah) Tabligh dan apakah ukuran khuruj ada terdapat dalam sunnah?
Jawab:
Pertanyaan ini adalah pertanyaan penting. Dan aku memiliki jawaban yang ringkas, serta kalimat yang benar wajib untuk dikatakan. Yang saya yakini bahwa da'wah tabligh adalah: sufi gaya baru. Da'wah ini tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Khuruj yang mereka lakukan dan yang mereka batasi dengan tiga hari dan empat puluh hari, serta mereka berusaha menguatkannya dengan berbagai nash, sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan nash secara mutlak. Sebenarnya cukup bagi kita untuk bersandar kepada salafus shalih. Penyandaran ini adalah penyandaran yang benar. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak bersandar kepadanya. Bersandar kepada para salafus sholih, -wajib diketahui hakikat ini,- bukanlah seperti bersandar kepada seseorang yang dikatakan pemilik mazhab ini atau kepada seorang syaikh yang dikatakan bahwa dia pemilik tarikat ini atau kepada seseorang yang dikatakan bahwa dia pemilik jama'ah tertentu. Berintima' (bergabung) kepada salaf adalah berintima' kepada sesuatu yang 'ishmah (terpelihara dari dosa). Dan berintima' kepada selain mereka adalah berintima' kepada yang tidak 'ishmah. Firqah mereka itu –cukup bagi kita dengan berintima' kepada salaf- bahwa mereka datang membawa sebuah tata tertib khuruj untuk tabligh (menyampaikan agama), menurut mereka. Itu tidak termasuk perbuatan salaf, bahkan bukan termasuk perbuatan khalaf, karena ini baru datang di masa kita dan tidak diketahui di masa yang panjang tadi. (Sejak zaman para salaf hingga para khalaf).
Kemudian yang mengherankan, mereka mengatakan bahwa mereka
khuruj (keluar) untuk bertabligh, padahal mereka mengakui sendiri bahwa mereka
bukan orang yang pantas untuk memikul tugas tabligh (penyampaian agama) itu.
Yang melakukan tabligh (penyampaian agama) adalah para ulama, sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah dengan mengutus utusan dari kalangan para sahabatnya yang
terbaik yang tergolong ulama mereka dan fuqaha` mereka untuk mengajarkan Islam
kepada manusia. Beliau mengirim Ali sendirian, Abu Musa sendirian, dan Mu'adz
sendirian. Tidak pernah beliau mengirim para sahabatnya dalam jumlah yang
besar, padahal mereka sahabat. Karena mereka tidak memiliki ilmu seperti
beberapa sahabat tadi. Maka apa yang kita katakan terhadap orang yang ilmunya
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sahabat yang tidak dikirim Nabi,
apa lagi dibanding dengan para sahabat yang alim seperti yang kita katakan
tadi?! Sedangkan mereka (Firqah Tabligh) keluar berdakwah dengan jumlah
puluhan, kadang-kadang ratusan. Dan ada di antara mereka yang tidak berilmu,
bahkan bukan penuntut ilmu. Mereka hanya memiliki beberapa ilmu yang dicomot
dari sana sini. Adapun yang lainnya, hanya orang awam saja.
Di antara hikmah orang dulu ada yang berbunyi: Sesuatu yang
kosong tidak akan bisa memberi. Apa yang mereka sampaikan kepada manusia,
padahal mereka mengaku (jama'ah) Tabligh?
Kita menasehati mereka di Suriah dan Amman agar duduk dan tinggal di negeri mereka dan duduk mempelajari agama, khususnya mempelajari aqidah tauhid, - yang iman seorang mukmin tidak sah walau bagaimanapun shalihnya dia, banyak shalat dan puasanya-, kecuali setelah memperbaiki aqidahnya.
Kita menasehati mereka agar tinggal di negeri mereka dan membuat
halaqah ilmu di sana serta mempelajari ilmu yang bermanfaat dari para ulama
sebagai ganti khurujnya mereka ke sana kemari, yang kadang-kadang mereka pergi
ke negeri kufur dan sesat yang di sana banyak keharaman, yang tidak samar bagi
kita semua yang itu akan memberi bekas kepada orang yang berkunjung ke sana,
khususnya bagi orang yang baru sekali berangkat ke sana. Di sana mereka melihat
banyak fitnah, sedangkan mereka tidak memiliki senjata untuk melidungi diri
dalam bentuk ilmu untuk menegakkan hujjah kepada orang, mereka akan menghadapi,
khususnya penduduk negeri itu yang mereka ahli menggunakan bahasanya, sedangkan
mereka (para tabligh) tidak mengerti tentang bahasa mereka.
Dan termasuk syarat tabligh adalah hendaknya si penyampai agama mengetahui bahasa kaum itu, sebagaimana diisyaratkan oleh Rabb kita 'Azza wa Jalla dalam Al Qur`an:
"Tidaklah kami mengutus seorang rasul kecuali dengan lisan kaumnya agar dia menerangkan kepada mereka." (Ibrahim: 4)
Maka bagaimana mereka bisa menyampaikan ilmu, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki ilmu?! Dan bagaimana mereka akan menyampaikan ilmu, sedangkan mereka tidak mengerti bahasa kaum itu?! Ini sebagai jawaban untuk pertanyaan ini.
(Dari kaset Al Qaulul Baligh fir Radd 'ala Firqatit Tabligh)
10. Fatwa Syaikh Abdur
Razzaq 'Afifi
Syaikh ditanya tentang khuruj Jamaah Tabligh dalam rangka
mengingatkan manusia kepada keagungan Allah. Maka Syaikh berkata : "Pada
kenyataannya, sesungguhnya mereka adalah mubtadi' (orang yang membuat bid'ah)
yang mutar balikkan serta pelaku terikat (ajaran) Qadariyah dan lainnya. Khuruj
mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Ilyas (Muhammad Ilyas,
pendiri Jamaah Tabligh-pent), mereka tidak mengajak kepada kitab dan sunnah,
akan tetapi mengajak kepada Ilyas Syaikh mereka di Bangladesh. Adapun khuruj
dengan tujuan dakwah kepada Allah, itulah khuruj di jalan Allah, dan ini bukan
khurujnya Jamaah Tabligh. Saya mengetahui Jamaah Tabligh sejak zaman dahulu,
mereka itu adalah pembuat bid'ah di manapun mereka berada, di Mesir, di Israil,
di Amerika, di Saudi, semua mereka selalu terikat dengan syaikh mereka yaitu
Ilyas".
(Fatawa dan Rasail oleh samahatu syaikh Abdur Razzaq 'Afifi juz
1/174).
11. Fatwa Syaikh Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan
Syaikh telah ditanya :
"Apakah pendapat syaikh tentang orang yang keluar (khuruj) ke luar Kerajaan Saudi untuk berdakwah, sedangkan mereka belum pernah menuntut ilmu sama sekali, dan mereka memberikan motivasi untuk itu, dan mereka elu-elukan syi'ar yang aneh, dan mendakwakan sesungguhnya siapa yang keluar di jalan Allah untuk berdakwah, maka Allah akan memberinya ilham. Mendakwakan sesungguhnya ilmu itu bukanlah syarat yang penting. Tentu Syaikh mengetahui bahwa di luar kerajaan Saudi ini akan ditemukan aliran-aliran dan agama-agama serta pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan kepada si dai. Tidakkah Anda melihat wahai Syaikh yang mulia, sesungguhnya orang yang keluar di jalan Allah itu harus mempunyai senjata agar bisa menghadapi masyarakat, terkhusus di timur Asia, dimana mereka memerangi / membenci pembaharu dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab? Saya mohon jawaban atas pertanyaan saya ini agar manfaatnya menyebar."
Jawab :
Khuruj (keluar) di jalan Allah, bukanlah khuruj yang mereka
maksudkan sekarang. Khuruj (keluar) di jalan Allah adalah keluar untuk
berperang. Adapun apa yang mereka namakan dengan khuruj itu, sesungguhnya ini
adalah bid'ah yang tidak pernah datang dari salaf. Seorang keluar untuk
berdakwah kepada Allah, tidaklah dibatasi pada hari-hari tertentu, akan tetapi
berdakwah kepada Allah sesuai dengan kesempatan dan kemampuannya, tanpa harus
terikat dengan jamaah atau terikat dengan empat puluh hari atau kurang atau
lebih. Dan begitu juga, di antara yang wajib atas seorang dai, ia haruslah
mempunyai ilmu, seseorang tidak boleh berdakwah kepada Allah sedangkan ia bodoh
(tidak berilmu), Allah berfirman : Artinya : "Inilah jalanku, yang aku
mengajak kepada Allah di atas pengetahuan" Yaitu atas ilmu, karena seorang
dai mesti mengetahui apa yang akan didakwahinya, berupa hukum-hukum yang wajib,
yang sunat, yang haram dan yang makruh. Dia harus mengetahui apa itu syirik,
maksiat, kekufuran, kefasikan, kemaksiatan. Dan harus mengetahui
tingkat-tingkat pengingkaran, dan bagaimana cara mengingkari.
Khuruj yang menyebabkan disibukan dari menuntut ilmu adalah perkara yang batil (salah), karena menuntut ilmu itu adalah fardu (kewajiban), dan ilmu itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan cara belajar, tidak akan didapatkan dengan cara ilham, ini merupakan khurafat sufi yang sesat, karena amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Dan tentu meraih ilmu tanpa belajar adalah angan-angan yang salah.
(Dari kitab Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad Da'wah)
12. Fatwa Syaikh Hummud
At Tuwaijiri
"Adapun ucapan penanya: Apakah aku menasehatinya untuk ikut
khuruj dengan orang-orang tabligh di dalam negeri ini (Saudi) atau di luar?
Maka saya jawab: Saya menasehati penanya dan yang lainnya yang ingin agamanya selamat dari noda-noda kesyirikan, ghuluw, bid'ah dan khurafat agar jangan bergabung dengan orang-orang Tabligh dan ikut khuruj bersama mereka. Apakah itu di Saudi atau di luar Saudi. Karena hukum yang paling ringan terhadap orang tabligh adalah: Mereka ahlul bid'ah, sesat dan bodoh dalam agama mereka serta pengamalannya. Maka orang-orang yang seperti ini keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa menjauhi mereka adalah sikap yang selamat.
Sungguh sangat indah apa yang dikatakan seorang penyair:
Janganlah engkau berteman dengan teman yang bodoh.
Hati-hatilah engkau darinya.
Betapa banyak orang bodoh yang merusak seorang yang baik ketika
berteman dengannya."
(Al Qaulul Baligh, syaikh Hummud At Tuwaijiri hal. 30)
13. Fatwa Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Al Ghudayyan
Pertanyaan:
Kami berada di suatu kampung dan berdatangan kepada kami apa yang dinamakan dengan (firqah) Tabligh, apakah kami boleh ikut berjalan bersama mereka? Kami mohon penjelasannya.
Jawab:
Jangan kalian ikut berjalan bersama mereka!! Tapi berjalanlah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!!
(Dari kaset Al Qaulul Baligh)
14. Fatwa Syaikh Abdul
Muhsin Al Abbad
Syaikh, di sana ada kelompok-kelompok bid'ah, seperti Ikhwan dan
Tabligh serta yang lainnya. Apakah kelompok ini termasuk Ahlus Sunnah? Dan apa
nasehat anda tentang masalah ini?
Jawab:
"Kelompok-kelompok ini... Telah diketahui bahwa yang selamat adalah yang seperti yang telah saya terangkan tadi, yaitu kalau sesuai dengan Rasulullah dan para sahabatnya, yang mana beliau berkata ketika ditanya tentang Al Firqatun Najiyah: Yang aku dan para sahabatku ada di atasnya. Firqah-firqah baru dan beraneka ragam ini, pertama kali: bid'ah. Karena lahirnya di abad 14. Sebelum abad 14 itu mereka tidak ada, masih di alam kematian. Dan dilahirkan di abad 14. Adapun manhaj yang lurus dan sirathal mustaqim, lahirnya atau asalnya adalah sejak diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka siapa yang mengikuti ini dialah yang selamat dan berhasil. Adapun yang meninggalkan berarti dia menyimpang. Firqah-firqah itu telah diketahui bahwa padanya ada kebenaran dan ada kesalahan, akan tetapi kesalahan-kesalahannya besar sekali, maka sangat dikhawatirkan.
Hendaknya mereka diberi semangat untuk mengikuti jama'ah yakni Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan yang berada di atas jalan salaf ummat ini serta yang menta'wil menurut apa yang datang dari Rasulullah bukan dengan yang datang dari si fulan dan fulan, menurut tarikat-tarikat yang ada di abad 14 H. Maka kedua kelompok yang tadi disinggung adanya hanya di abad 14 H. Mereka berpegang dan berjalan di atas jalan-jalan dan manhaj-manhaj itu. Mereka tidak berpegang dengan dalil-dalil dari Al Kitab dan Sunnah, tapi dengan pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan manhaj-manhaj yang baru dan bid'ah yang mereka membangun jalan dan manhaj mereka di atasnya.
Dan yang paling jelas di kalangan mereka adalah: Wala` dan Bara`. Al Wala` wal Bara` di kalangan mereka adalah bagi yang masuk ke dalam kelompok mereka, misalnya Ikhwanul Muslimin, siapa yang masuk ke dalam kelompok mereka, maka dia menjadi teman mereka dan akan mereka cintai walaupun dia dari rafidlah, dan akhirnya dia menjadi saudara dan teman mereka.
Oleh karena ini mereka mengumpulkan siapa saja, termasuk orang rafidlah yang membenci sahabat dan tidak mengambil kebenaran dari sahabat. Kalau dia masuk ke dalam kelompok mereka, jadilah dia sebagai teman dan anggota mereka. Mereka membela apa yang dia bela dan membenci apa yang dia benci.
Adapun Tabligh, pada mereka terdapat perkara-perkara mungkar. Pertama: dia adalah manhaj yang bid'ah dan berasal dari Delhi (India –red) bukan dari Mekkah atau Madinah. Tapi dari Delhi di India. Yakni seperti telah diketahui bahwa di sana penuh dengan khurafat, bid'ah dan syirik walau di sana juga banyak Ahlus Sunnah wal Jama'ah, seperti jama'ah ahlul hadits, yang mereka adalah sebaik-baik manusia di sana. Tetapi Tabligh ini keluar dari sana melalui buatan para pemimpin mereka yang ahli bid'ah dan tarekat sufi yang menyimpang dalam aqidah. Maka kelompok ini adalah kelompok bid'ah dan muhdats. Di antara mereka ada Sufi dan Asy'ari yang jelas-jelas bukan berada di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dalam aqidah dan manhaj. Dan yang selamat adalah orang yang mengikuti manhaj salaf dan yang berjalan di atas jalan mereka."
(Dari kaset Al Qaulul Baligh)
15. Fatwa Syaikh Shalih
bin Abdullah Al Abud
Adapun tabligh... ketika Khilafah Utsmaniyyah runtuh bangkitlah
firqah ini dengan pemikiran jama'ah ini, firqah tabligh. Dan mereka membuat
dasar-dasar untuk para pengikutnya dengan nama "Ushulus Sittah" yang
mereka dakwahkan manusia kepadanya. Dan di akhirnya mereka membai'at menurut
empat macam tarekat sufi; Jistiyyah, Syahrawardiyyah, Naqsyabandiyah dan Matur...
saya lupa yang keempat, yang jelas empat tarekat. Mereka dalam bidang aqidah
adalah Maturidiyah atau Asy'ariyyah. Dan dalam pemahaman syahadat mereka, yaitu
syahadat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad Rasulullah. Mereka tidak memahami
maknanya kecuali bahwa: Tidak ada yang Kuasa untuk Mencipta dan Mengadakan
serta Membuat kecuali Allah. Dan dalam memahami makna Muhammad Rasulullah,
(mereka tidak memahaminya seperti yang kita fahami, yaitu membenarkan apa yang
beliau sampaikan, mentaati apa yang beliau perintahkan, menjauhi apa yang
beliau larang dan peringatkan dan Allah tidak diibadahi kecuali dengan apa yang
beliau syariatkan). Pemahaman ini tidak ada di kalangan jama'ah tabligh, bahkan
kadang- kadang mereka mengkultuskan individu-individu tertentu dan menyatakan
mereka memiliki 'Ishmah (tidak akan salah). Dan sampai-sampai bila para
syaikhnya mati, mereka bangun di atas kuburannya bangunan-bangunan dalam
masjid.
Tabligh adalah firqah, tanpa perlu diragukan lagi. Karena
menyelisihi firqatun Najiyah. Mereka memiliki manhaj khusus. Yang tidak ikut ke
dalamnya tidak dianggap sebagai orang yang mendapat hidayah. Tabligh membagi
manusia menjadi: Muhtadi (orang yang mendapat hidayah) dan manusia yang masih
diharapkan mendapat hidayah (tim penggembira saja –pent). Golongan Muhtadi
adalah yang telah masuk keseluruhan dalam tandhim (keorganisasian) dan firqah
mereka. Dan yang non Muhtadi, tidak termasuk golongan mereka walaupun dia imam
kaum muslimin. Ini dalam pemahaman mereka.
Ikhwanul Muslimin juga demikian, yang termasuk tandhim mereka adalah Ikhwanul Muslimin dan yang tidak masuk, maka bukan Ikhwanul Muslimin walaupun orang itu adalah alim dalam Islam. Cukup sikap ta'ashshub ini menjadi dalil bahwa mereka telah mengeluarkan diri-diri mereka sendiri dari jama'ah kaum muslimin. Karena jama'ah kaum muslimin tidak menganggap bahwa hidayah hanya sampai kepada mereka saja. Dan manhaj mereka adalah manhaj yang paling luas, karena mereka tidak mencap setiap orang yang tidak sefaham dengan mereka sebagai orang kafir. Tapi mereka masih mengakui bahwa mereka adalah kaum muslimin dan mengharapkan agar dia mendapat hidayah. Meskipun orang itu mengkafirkan mereka, mereka tetap tidak membalasnya dengan mengkafirkannya pula. Maka manhaj Firqatun Najiyah adalah manhaj yang paling luas dalam hal ini. Wallahu A'lam.
(Semua fatwa ini diambil dari kaset Al Qaulul Baligh 'ala Dzammi Jama'atit Tabligh)
16. Fatwa Syaikh Muqbil
bin Hadi Al Wadi'i
Setelah membawakan pendirian beliau terhadap Ikhwanul Muslimin
beliau berkata: "Adapun Jama'ah tabligh, silakan engkau membaca apa yang
dituturkan syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al Washshabi, ia berkata:
1. Mereka mengamalkan
hadits-hadits dla'if (lemah) bahkan maudlu' (palsu) serta Laa Ashla Lahu (tidak
ada asalnya).
2. Tauhid mereka penuh
dengan bid'ah, bahkan dakwah mereka berdasarkan bid'ah. Karena dakwah mereka
berdasarkan Al Faqra (kefakiran) yaitu khuruj (keluar). Dan ini diharuskan di
setiap bulan 3 hari, setiap tahun 40 hari dan seumur hidup 4 bulan, dan setiap
pekan 2 jaulah... jaulah pertama di Masjid yang didirikan shalat padanya dan
yang kedua berpindah-pindah. Di setiap hari ada 2 halaqah, halaqah pertama di
masjid yang didirikan shalat padanya, yang kedua di rumah. Mereka tidak senang
kepada seseorang kecuali bila dia mengikuti mereka. Tidak diragukan lagi bahwa
ini adalah bid'ah dalam agama yang tidak diperbolehkan Allah Ta'ala.
3. Mereka berpendapat
bahwa dakwah kepada tauhid akan memecah belah ummat saja.
4. Mereka berpendapat
bahwa dakwah kepada sunnah juga memecah belah ummat.
5. Pemimpin mereka
berkata dengan tegas bahwa: Bid'ah yang bisa mengumpulkan manusia lebih baik
daripada sunnah yang memecah belah manusia.
6. Mereka menyuruh manusia
untuk tidak menuntut ilmu yang bermanfaat secara isyarat atau terang-terangan.
7. Mereka berpendapat
bahwa manusia tidak bisa selamat kecuali dengan cara mereka. Dan mereka membuat
permisalan dengan perahu Nabi Nuh 'alaihis salam, siapa yang naik akan selamat
dan siapa yang enggan akan hancur. Mereka berkata: "Sesungguhnya dakwah
kita seperti perahu Nabi Nuh." Ini saya dengar dengan telinga saya sendiri
di Urdun (Yordania –ed) dan Yaman.
8. Mereka tidak menaruh
perhatian terhadap tauhid Uluhiyyah dan Asma` was Sifat.
9. Mereka tidak mau
menuntut ilmu dan berpendapat bahwa waktu yang digunakan untuk itu hanya
sia-sia belaka." (Dinukil dari kutaib Hadzihi Da'watuna wa 'Aqidatuna,
Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i hafidhahullah hal. 15-17)
17. Fatwa Syaikh Ahmad
bin Yahya An-Najmi
Syaikh ditanya : Dulu, sebelum kenal faham salaf, kita juga anti
kepada bid’ah yang ada. Karena itu kami juga memisahkan diri dari keumuman
masyarakat dengan membangun sebuah masjid kecil diatas sebuah tanah yang
diwakafkan seorang ikhwan.
Maka kami mendirikan sholat lima waktu dan jum at menurut sunnah
yang kami ketahui. Kini banyak ikhwan2 yang pindah dari tempat kami ketempat
lain yang jauh. Ada karena pekerjaan, futur dan termakan fitnah sururi. Hingga
yang sholat lima waktu dan jum’at hanya sekitar lima orang dewasa dan beberapa
anak-anak.
Ada seorang da’i menyuruh kami untuk meninggalkan mesjid itu dan
bergabung dengan masjid awam terdekat sekitar 300 meter dari mesjid kami.
dengan alasan agar mereka mengenal dakwah kami. Dan selama ini mereka memang
tidak suka kepada kami. dan masjid orang awam itu kadang menjadi markas tabligh
ketika khuruj.
Di negeri kami biasa terjadi masjid berdekatan. Kami masih
berharap akan lahirnya generasi salafiy untuk menghidupkan kembali masjid ini.
yang mewakafkan masjid bersedia membeli kembali tanah yang dia wakafkan jika
memang boleh dan masjid harus diruntuhkan.Yang ingin kami tanyakan:
· Bagaimana
nasehat sang da’i ini?
· Apakah
kami tetap mendirikan sholat lima waktu dan jum’at di masjid kami
· atau
hanya sholat lima waktu di masjid kami dan jum’at dengan masyarakat umum?
4. bolehkan yang mewakafkan membeli lagi tanah itu?
4. bolehkan yang mewakafkan membeli lagi tanah itu?
· berikan
kami nasehat dan bimbingan dalam masalah ini.
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi -Semoga Allah Senantiasa
Menjaganya- menjawab :
Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabatnya.
1- Pertama-tama: Menurut
pandanganku tinggallah kalian di Masjid kalian, itu lebih baik bagi kalian
daripada kalian kumpul-kumpul bersama Jamaah Tabligh. Kedua: Saya beritahu
kalian bahwa Jamaah Tabligh adalah khurafiyyun (penganut khurafat), mereka
memiliki keyakinan-keyakinan kepada oran-orang mati dari pengikut tarikat-
tarikat sufiyah Diubandiyah. Mereka berjalan di atas empat macam tarikat
sufiyah: Jusytiyah, Sahrawardiyah, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Dan mereka
memotong dzikir Laa Ilaahi Illallaah, menjadi: Laa Ilaaha, dan
mengulang-ulangnya 200 atau 300 kali kemudian mereka membaca Illallaah 200 atau
300 kali.
Dan para ulama Ahlussunnah mengatakan: barangsiapa yang memisah
kalimat nafi (penafian: yaitu Laa Ilaaha) dari kalimat Itsbat (Penetapan: yaitu
Illallaah), dia telah kafir.
Dan mereka memiliki khurafat-khurafat dan bid’ah-bid’ah yang
banyak sekali. Wajib bagi kalian untuk tidak bergaul dengan mereka. Dan apabila
kalian sanggup untuk menasihati mereka, nasihatilah mereka. Apabila mereka
menerima nasihat kalian (itu yang diharapkan –penerj) dan saya kira mereka
tidak akan menerimanya, dan apabila mereka tidak menerima nasihat kalian maka
tinggalkanlah mereka dan menjauhlah dari mereka. Dan Allah Ta’aala berfirman,
“Berilah peringatan, sesungguhnya kamu (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam)
adalah pembawa peringatan, dan kamu tidak berkuasa atas mereka”.
Hanya saja wajib bagi kalian memperingatkan kaum muslimin dari
mereka dan membenci mereka di dalam hati-hati kalian. Hanya kepada Allah kita
memohon taufiq.
2- Jawaban saya: Iya.
Tetaplah kalian di sana, selamatnya akidah kalian lebih baik daripada kalian
berkumpul-kumpul dengan kaum musyrikin.
3- Apabila sang imam
bersih dari akidah-akidah ini maka tidak mengapa. Adapun kalau akidahnya tidak
bersih darinya, maka yang utama tetaplah kalian seperti sekarang ini.
4- Tidak boleh bagi sang
wakif (pemberi wakaf) untuk membeli wakafnya kembali. Karena wakaf apabila
ucapan seseorang jelas bahwa itu adalah wakaf, maka barang itu tetap sebagai
wakaf sepanjang masih ada langit dan bumi, sebagaimana datang keterangan akan
yan demikian ini pada hadits yang shahih. Hanya kepada Allah kami mengharapkan
taufiq.
—————————
Ditanyakan dan ditranskrip oleh Al Ustadz Muhammad Cahyo kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi –Semoga Allah senantiasa menjaganya-.
—————————
Ditanyakan dan ditranskrip oleh Al Ustadz Muhammad Cahyo kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi –Semoga Allah senantiasa menjaganya-.
Nasihat Salaful Ummah
Sebagian Riwayat Tentang
Peringatan Para Salaf Agar Jangan Duduk Dan Bergaul Dengan Ahli Bid’ah
Sebelum saya membawakan
sebagian riwayat dari para salaf tentang larangan duduk dan bergaul dengan ahli
bid’ah akan saya bawakan riwayat dari ibu kita Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat: “Dia yang menurunkan
kepadamu al kitab. Di antaranya ada ayat- ayat yang muhkamat (jelas) dan itu
adalah induk kitab dan yang lainnya adalah mutasyabihat (samar)” hingga ayat:
“Dan tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (Ali
Imran: 7). Maka beliau bersabda: Bila kalian melihat orang-orang yang
mencari-cari ayat-ayat yang mutasyabihat, maka merekalah yang disebutkan Allah
dalam ayat ini dan berhati-hatilah terhadap mereka. (HR. Bukhari dan yang
lainnya).
Adapun dari atsar adalah ucapan Al Hasan dan Ibnu Sirin, keduanya berkata: “Janganlah kalian duduk bersama para pengikut hawa nafsu, mendebat mereka dan jangan mendengar ucapan mereka.” (Riwayat Ad Darimi dalam sunannya 1/110 dan Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus sunnah wal jama’ah 1/133).
Abu Qilabah berkata: “Jangan kalian duduk dan bergaul dengan ahlul bid’ah, karena aku merasa tidak aman kalau mereka akan membenamkan kalian dalam kesesatan dan mengaburkan kepada kalian banyak hal yang telah kalian ketahui.” (Riwayat Ad Darimi 1/108 dan Al Lalika’i 1/134).
Yahya bin Abi Katsir berkata: “Kalau engkau berpapasan dengan Ahli bid’ah di satu jalan, maka carilah jalan lain.” (Riwayat Al Lalika’i 1/1137).
Abdullah bin Al Mubarak berkata: “Hendaklah majlismu bersama orang-orang miskin dan janganlah engkau bermajlis dengan Ahlul bid’ah.” (Al Lalika’i 1/137).
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Siapa yang didatangi oleh seseorang dan meminta pendapatnya tapi dia malah menyuruh orang yang datang itu untuk mendatangi Ahli bid’ah, berarti dia telah menipu Islam. Hati-hati, jangan mendatangi Ahli bid’ah, karena mereka menghalangi kalian dari kebenaran.” (Al Lalika’i 1/137).
Beliau berkata juga: “Jangan engkau duduk bersama Ahlul bid’ah, karena aku takut laknat Allah turun kepadamu.” (Al Lalika`i 1/137).
Beliau berkata lagi: “Aku menemui manusia yang baik-baik, mereka semua adalah Ahlus sunnah dan mereka melarang bergaul dengan ahlul bid’ah.” (Al Lalika`i 1/138).
Ibrahim bin Maisarah berkata: “Siapa yang menghormati Ahli bid’ah, berarti dia telah membantu untuk menghancurkan Islam.” (Al Lalika’i 1/139).
Al Hasan Al Bashri berkata: “Melaknat Ahlul bid’ah dan orang fasiq karena kefasikannya bukan termasuk ghibah.” (Al Lalika’i 1/140).
Ada seseorang bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang sesuatu tapi dia tidak menjawabnya. Ada yang menanyakan tentang sikapnya itu kepadanya, maka dia mengatakan: “Dia (si penanya) adalah Azayisyan (dalam bahasa Persia yang berarti dari mereka, yaitu dari ahlul bid’ah).” (Ad Darimi 1/109).
Mujaddid abad 20, syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam risalahnya kepada penduduk Qashim yang berisi tentang aqidahnya: “Dan saya berpendapat bahwa ahlul bid’ah harus diisolir dan dijauhi hingga mereka bertaubat.” (Rasa’ilusy Syakhshiyyah hal. 11 yang berisi kumpulan karangan-karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikumpulkan oleh Universitas Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyyah).
Dan riwayat-riwayat tentang hal itu banyak sekali, maka dimana kedudukan orang- orang yang menyuruh para pemuda muslim dan orang awam yang mereka tidak memiliki ilmu untuk bergaul dengan jama’ah Tabligh dan mengambil ilmu dari mereka (padahal kelompok ini adalah ahlul bid’ah, -pent). Di mana kedudukan mereka di hadapan nash-nash (keteranga-keterangan) ini.
Hendaklah mereka takut kepada Allah karena para pemuda ini agamanya akan menjadi kabur dan hendaklah takut kepada ayat Allah yang berbunyi (yang artinya):“Hendaklah mereka memikul dosa-dosa mereka secara sempurna dan dosa- dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak tahu sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruk sekali apa yang mereka pikul itu.” (An Nahl: 25). (Waqafat hal. 17-41 dengan beberapa ringkasan)
Sumber:
Buletin Islamy Al Manhaj edisi VI/1419 H/1998 M
Judul
asli “Firqah Tabligh Dihujat
