Harga Mahal Negara Islam


Perjuangan dan jasa tak selamanya berbalas budi. Perjuangan umat menuntut syariat, menuai khianat.

Negara Islam Indonesia (NII), dari namanya terbayang sudah apa yang dipikirkan oleh orang-orang di balik gerakan ini. Sebuah negara dengan syariat Islam sebagai landasan hukum, berdaulat dan berusaha mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Diproklamirkan oleh Sekarmadji mardjan Kartosoewirjo, pejuang kemerdekaan melawan penjajahan. 


Titik awal berdirinya NII adalah sebuah cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum Islam yang pada tahun 1945 telah ditelikung oleh kelompok Nasionalis Sekuler. Pada awalnya adalah sebuah perdebatan antara Soekarno dan Kartosoewirjo, dua orang yang pernah berguru pada satu cucuran ilmu, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soekarno pernah nyantri pada tokoh pendiri Sarekat Islam ini, bahkan pernah menjadi anak mantunya. Sedangkan Kartosoewirjo pernah menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto.

Tapi apa boleh buat, iman ternyata tidak dapat diwariskan. Soekarno menolak dasar negara Islam yang setia diusung oleh kartosoewirjo. Sebaliknya, Kartosoewirjo tak pernah surut langkah mengajukan Islam sebagai dasar negara. Maka perseteruan itu berujung pada proklamasi yang dikumandangkan oleh Kartosoewirjo.

Proklamasi NII tersebut dibacakan empat tahun setelah proklamasi Indonesia. Sebuah babak awal dari perlawanan atas pengkhianatan yang bertubi-tubi diterima. Terbukti, NII adalah gerakan “pemberontakan” terlama yang pernah dialami Indonesia.

Gerakan ini tergolong gerakan perlawanan terluas dan paling rapi yang pernah ada di Indonesia. Beberapa tokoh perjuangan yang pernah dikecewakan segera menjadi bahan bakar baru dalam perkembangan NII. Kahar Muzakkar, yang keinginannya membentuk Resimen Hasanuddin ditolak mentah-mentah. Padahal kiprah lasykar yang dipimpinnya tak terukur besarnya untuk perjuangan di Sulawesi Selatan.

Begitu juga dengan Daud Beureueh yang berkali-kali dikecewakan Soekarno. Syariat Islam yang diidam-idamkan dan sejak awal diperjuangkan, dikhianati dengan keji. Bahkan lebih dari itu, Aceh pun dilebur menjadi bagian dari Sumatera Utara. Walhasil, kekecewaan yang tak tertanggung atas pengkhianatan yang terjadi, membuat gubernur pertama Daerah Istimewa Aceh ini menggabungkan diri menegakkan Negara Islam Indonesia di Sumatera. Begitu juga yang terjadi pada Lentan Satu Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan. Kekecewaan yang berulang-ulang telah membuatnya meleburkan diri dalam perjuangan NII.

Kartosoewirjo memimpin NII selama 13 tahun, sejak tahun 1949 sampai 1962. Pada tahun 1955, ia mengangkat Daud Beureueh sebagai Wakil Presiden dan memasukkan beberapa lagi nama pejuang Aceh dalam kabinet yang disusunnya. Di Aceh sendiri Daud Beureueh memimpin selama sembilan tahun. Selama itu berbagai gejolak dialaminya, termasuk bujukan dari bawahannya untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia. Namun Abu Jihad, demikian Daud Beureueh biasa dipanggil, menolak turun gunung untuk berunding. Ia memilih mengakhiri usianya di atas gunung. Di Sulawesi Selatan sendiri, Abdul Kahar Muzakkar memimpin gerakan selama 13 tahun, sebelum akhirnya peluru panas mengantarnya menemui sang khalik.

Sepanjang periode itu, Soekarno menghadapi para pejuang DI, yang notabene adalah teman-temannya seperjuangan dulu dengan kekuatan senjata. Begitu juga dengan pemerintahan Orde Baru, pemberangusan dilakukan tak tanggung-tanggung. Berbagai fitnah bahkan muncul di masa pemerintahan Orde Baru. Beberapa operasi intelijen dirancang dan mengatasnamakan NII.

Tapi sungguh, gerakan memperjuangkan hakikat kebenaran memang tak pernah sepi dari aral. Tapi juga tak pernah sepi dari para pejuang yang mengharap ridha Allah. Kartosoewirjo dan Ibnu Hajar memang telah dijatuhi hukuman mati. Kahar Muzakkar pun telah pula diekskusi dan Daud Beureueh telah lama tutup mata. Namun perjuangan menegakkan syariat dan meretas jalan menuju kebaikan, selalu menawarkan undangan dan peminat tak pernah sepi untuk datang. Tidak selalu dalam bentuk yang sama. Tapi selalu punya tujuan yang satu. Menuju ridha-Nya.   
  
SM. Kartosoewirjo : Perlawanan dari Malangbong   

Sejarah yang dicipta oleh Orde Lama dan Orde Baru telah ber-hasil menciptakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebagai pemberontak di negeri ini. Sejarah yang ditulis bisa dibilang cukup sukses membangun karakter Kartosoewirjo sebagai duri dalam daging pada tubuh Indonesia.

Siapa Kartosoewirjo sebenarnya? Jauh sebelum ia ditahbis kan sebagai seorang pemberontak, Kar-tosoewirjo adalah tokoh yang mau tidak mau harus kita sebut sebagai the founding father negara Indonesia. Herbert Marcuse, menyebut Kartosoewirjo sebagai seorang manusia yang tidak satu dimensi (one dimensional man). Kehidupan dan perjuangannya penuh perjalanan misterius, bahkan lebih misterius dibanding Tan Malaka.

Kartosoewirjo tidak seperti sosok Soekarno atau Hatta, yang lebih banyak bergelut dengan masalah-masalah teori dan pemikiran. Ia adalah seorang konseptor, tapi juga seorang praktisi. Dia tak hanya menggali pemikiran, tapi juga mengangkat senjata pergi berperang. Satu paduan yang jarang ditemui dalam diri pejuang kemerdekaan. Kartosoewirjo adalah sosok dengan kompleksitas yang tinggi.
Ia bergerilya berbelas tahun melawan penjajah Belanda, Jepang, bahkan pemerintahan Orde Lama. Berpindah dari satu hutan ke hutan lain, sambil terus menyiapkan konstruksi sebuah negara.

Lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907. Dalam tubuhnya memang mengalir darah perlawanan yang tak gampang dipadamkan. Silsilahnya, konon Kartosoewirjo adalah keturunan kesekian dari Aryo Jipang, cucu Raden Patah, sang penakluk Majapahit. Pamannya, Marko Kartodikromo tercatat sebagai seorang tokoh komunis yang dibuang Belanda ke Boven Digul karena perlawanannya.

Dari silsilah itu ia mewarisi jiwa revolusioner yang tak pernah kekurangan bahan bakar. Menginjak dewasa, ia belajar dan menggali Islam dari tokoh-tokoh pergerakan seperti Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Ajengan Ardiwisastra, seorang ulama yang tinggal di Malangbong, Garut. Namun sejak kecil ia telah mengaji pada seorang ulama di tempatnya tinggal. Namun bisa disimpulkan, Kartosoewirjo mengalami pematangan dalam pemikirannya ketika ia bersentuhan dengan gagasan Jamaluddin al-Afghani yang membawa bendera Pan Islamisme.

Memasuki usianya yang ke-20, ia telah menjadi seorang jurnalis di surat kabar Fadjar Asia. Pada periode ini pula ia bersentuhan dengan Soekarno yang sama-sama nyantri pada Tjokroaminoto. Dalam buah pikiran yang ia tulis untuk Fadjar Asia telah tergambar sikap radikal Kartosoewirjo yang menentang priyayi dan melawan Belanda.

Pada masa penjajahan, khususnya ketika Jepang berkuasa, ia lebih memilih perang bergerilya ketimbang mengambil jalan kooperasi. Dikumpulkannya para pemuda dalam sebuah gerakan yang bernama Lembaga Ahli Suffah. Dilatihnya para pemuda itu dengan keterampilan militer di hutan Malangbong, Garut. Kartosoewirjo adalah seorang yang tak pernah setengah-setengah dalam perjuangannya.

Ihwal perlawanan frontalnya melawan pemerintahan Soekarno, sungguh bukan masalah interes pribadi atau keinginan berkuasa. Tapi bermula dari pengkhianatan-pengkhianatan yang bertubi-tubi ia terima. Pengkhianatan paling besar yang ia rasakan adalah penelikungan yang menghasilkan dicoretnya tujuh kata di Piagam Jakarta dihapuskan. Dalam sidang yang berlangsung alot yang ia ikuti pada bulan Juni 1945, Kartosoewirjo dan beberapa tokoh lain mengawal terus gagasan menjadikan negara ini berlandaskan hukum Islam. Namun hanya sehari piagam yang menyatakan dan menjamin pemberlakuan syariat Islam itu berjalan. Sehari kemudian ia harus menerima kenyataan pahit, sebuah pengkhianatan atas perjuangan.

Kekecewaan kedua yang ia alami adalah instruksi Soekarno sebagai panglima tertinggi pada tahun 1948, yang memerintahkan memindahkan ibukota perjuangan dari Jakarta ke Jogjakarta sebagai hasil Perjanjian Renville. Salah satu konsekuensi dari instruksi ini adalah memindahkan pula semua kekuatan TNI, termasuk Divisi Siliwangi ke Jogjakarta. Sikap ini menurut Kartosoewirjo adalah bentuk rasa takluk pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis lagi, penarikan seluruh kekuatan TNI berarti membiarkan daerah lain, termasuk Jawa Barat, menjadi daerah tanpa perlindugan dari negara.

Setelah perjuangan dan pengorbanan para pejuang, keputusan Soekarno ini sungguh lebih terasa sebagai pengkhianatan daripada penyelamatan. Kartosoewirjo dengan lasykar DI/TII tampil ke muka mengamankan dan menjaga Jawa Barat. Dari sinilah lahir sebuah hubungan erat antara rakyat Jawa Barat dan para pejuang DI.

Di saat Jawa Barat seolah diserahkan mentah-mentah pada penjajah atas Perjanjian Renville, Kartosoewirjo, sekali lagi tampil untuk melakukan perlawanan. Karenanya, sangat bisa dipahami jika Kartosoewirjo dalam satu kesempatan mengatakan, “Mulai sekarang, tidak ada lagi hubungan dengan RI.”

Tokoh pejuang ini mengakhiri hidupnya di depan algojo regu tembak yang dikirim oleh negara. Eksekusi itu sekali lagi membuktikan, bahwa perjuangan selalu tak pernah mudah.   
  
Daud Beureueh : Membangun Negara di Atas Gunung
  
“Wallah, billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?” 

Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh.

Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Tapi ternyata janji tinggal janji, penerapan syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. 

Siapakah Daud Beureueh? Ia adalah cikal bakal semua gerakan kemederkaan Aceh. Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernama Beureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Tengku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang. 

Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di bumi Serambi Makkah.

Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.

Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Kutaraja. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”

Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo. 

Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo.

Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya?   
  
Abdul Kahar Muzakar : Hamba Tuhan yang Jantan  
  
Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya. “Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada bukunya lain yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya. Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”

Kira-kira begitulah watak dan kepribadian Abdul Kahar Muzakkar. Sebuah pemahaman sekaligus penyerahan diri pada nilai-nilai Islam yang ditunjukkan oleh seorang pejuang.
Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Ponrang, Sulawesi Selatan. Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan. Dan Jawa menjadi tujuannya. Di perguruan Muhammadiyah Solo, ia memintal ilmu agama. Di sini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon.

Kisah perjuangannya dimulai sejak Jepang memasuki Sulawesi. Tak seperti banyak pemuda, yang menganggap Jepang pembebas dari Timur, Kahar Muzakkar yang menolak menjadi Pak Turut tak mudah percaya. Pembelotan pertama yang ia jalani adalah menentang sikap Kerajaan Luwu yang kooperatif dengan penjajah Jepang. Hukuman pun dijatuhkan, Kahar Muzakkar dituduh menghina kerajaan dan diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang memaksa ia pergi dari tanah kelahiran.

Pada periode inilah ia terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah toko bernama Toko Luwu yang ia jadikan sebagai markas gerakannya. Kiprah ini pula yang mengantar beberapa muda menemui Kahar Muzakkar suatu malam dan meminta ia membantu pembebasan pemuda-pemuda berjumlah 800 di Nusakambangan. Pembebasan itu terjadi pada Desember 1945, dan 800 orang yang dibebaskan menjadi cikal bakal lasykar yang dibentuknya. Lasykar yang diberinama Komandan Groep Seberang ini pula yang menjadi motor perlawanan secara militer di Sulawesi Selatan.

Tapi, dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan. 

Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia. Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.

Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno masih terus dilakukan, dan tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran. 

Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut. “Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an....”

Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya. Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri. (Sabili/Oleh Herry Nurdi)  

Sumber :
www.pakdenono.com