Sejarah Singkat Imam Malik
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah,
Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik
mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk
hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan
nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi
pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak
menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari
ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.'
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah
menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai
dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam
Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu
dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah
riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali
saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak
sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang
dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika,
gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh
penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam
Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah
melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik
membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari
ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah.
Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari
tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi
adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu.
Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia
menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam Hanafi
Imam
Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri
Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah
seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang
memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam
Hanafi.
Nasab
dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi
Al-Kufi
Beliau
adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari
keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus
shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu
Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal
dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan
dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi
mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu
Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas
dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus
pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat
kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak
membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau
disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari
hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam
berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada
beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau
sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar
kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin
Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit,
Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula
Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin
Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad
bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau
sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau
pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang
yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka
tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas
saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan
Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada
masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau
didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar
menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut,
maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali),
tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun
orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah
sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya
berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan,
Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali,
Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh
binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual
minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq,
Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin
Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi,
Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin
Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad
bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah,
Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi,
Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian
para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut
ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya
bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak
membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang
tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah
orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa
ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan
berdusta, …”.
2. Abdullah
ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya
melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang
biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”.
Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai
Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah,
saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’
kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal,
dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga
berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling
wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau
juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat,
kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat
maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang
paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi
Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang
berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia
mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih
tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu
Hanifah”.
4. Imam
Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan)
dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail
bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan
wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan
ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari
dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan
perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya
bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami
mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh
banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh
bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih
mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang
jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi
berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang
pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan
bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah
termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa
penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu
Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa
ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada
beliau, diantaranya :
1. Imam
Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi
mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul
Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah
ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian
ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi
masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan
diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan
telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari
hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat
seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan
menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu
Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan
lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak
bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat,
dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi
kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang
samar, dan yang semisalnya …
Dan
dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah
berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan
kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu
Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan
dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa
besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, …
akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak
membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah
tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya;
dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia
belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa
dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau
tidak maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan
tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di
sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang
diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13
dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan
kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang
ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah
meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut
lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa
merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari
para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan )
secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan
riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah
kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya
al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr
berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah
dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah,
maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu
Hanifah dari orang-orang yang adil”
Beberapa
nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau
adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah
dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh
telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang
jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada
sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid
terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara
nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila
telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak
halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak
mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat
lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan
pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa,
kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut
pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf),
janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka
sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku
tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh
Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang
yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka
terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian
dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah
kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk
itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan
kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu
Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata
Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut,
“Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak)
terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya
ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari
seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits
tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya
sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab
lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari
terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin
masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya
secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash
dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para
imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan
tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan
udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa
dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak
membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya
sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya
karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan
mereka terjaga agama ini. …”.
c.
Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits
Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan
beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia
dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6
kloter.
(diambil
dari majalah Fatawa)
Daftar
Pustaka:
1. Tarikhul
Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub
Ilmiyah Beirut
2. Siyarul
A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman
Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul
Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi
terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah
wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul
Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad
Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu
Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif
Riyadh
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam Syafi'i
Nama dan Nasab
Beliau
bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap
adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin
‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay.
Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih
terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak
beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di
jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah
Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘,
kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)-
menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib,
bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan
fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy
dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan
menyatakan masuk Islam.
Para
ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i
berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan
nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah
asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’
saja.
Adapun
ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat
mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang
lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu
Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita
yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang
faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau
dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu
Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang
tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang
berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah
kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah
Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan
sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan
Yaman.
Ibnu
Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan
dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di
wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz
dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di
Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana,
sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu
untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah
melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita,
“Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang
mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut
menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata
kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan
ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya
(mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi
menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah
rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan
tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan
hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh.
Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7
tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik
pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di
Madinah.
Beliau
juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim
bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar
mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah
beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau
mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim
bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman
bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di
Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9
di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah
mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka
berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau
membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu
membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam
Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di
samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya
seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid,
Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah
kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana
beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu
hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di
Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya
menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk
Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi
mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak
mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana
dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani
‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya
itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya
sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam
Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini
ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini
keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan
beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah
yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau
itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai
ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan
dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan,
membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu
dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama
orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah
memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala
mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan
dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan
Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau
meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di
Baghdad.
Di
Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti
dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah
kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan
Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama
Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka
mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba,
ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama
beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai
akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika
kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi
khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat
Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah
lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke
Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di
sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di
sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul
Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi
oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad,
di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi
ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau
menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun
198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di
sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai
oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang
ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu
kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf
ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah
syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama
dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat
padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau
tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau
menolak madzhab mereka.
Dan
begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak
musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan
memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang
masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad
bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke
Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia
menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan
masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah
kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui
akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai
seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu
masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil
dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama
dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan
Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat
yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau
mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat
banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat
perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang
berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya
adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan
belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan
keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang
terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih
tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku
benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan
madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami
sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan
beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam
adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan
digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu
kalam.
Wafatnya
Karena
kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang
selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga
akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat
Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga
Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi
menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia
berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi
emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun
beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan
jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak
kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut
al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut
al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya
disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara
kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128
masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai
Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm,
bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar
A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj
Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat
al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i,
Cirebon.
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam Hanbali
(Dari kotasantri.com)
"Ia murid paling cendekia yang
pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan
menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena
menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan
kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa."
Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain adalah guru Imam
Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai
dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan
Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'''
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam Hanbali
(Dari muslim.or.id)
Nasab
dan Kelahirannya
Beliau
adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris
bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu
nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika
beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat
tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya
pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah
beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru
berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan
menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian
bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah
seorang panglima.
Masa
Menuntut Ilmu
Imam
Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau
mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad
telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang
berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis
ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli
bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat
berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu
banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian
beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para
perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil
hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam
Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun.
Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits
kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim
bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar
tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada
tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu
ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau
temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama
tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah
ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang
menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain
yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail
bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan
lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik,
tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak
sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan
Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah,
beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya
dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu
Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”
Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi
fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya
(ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu
dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau
menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar
enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama
kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang
an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar
dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun
kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud,
kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah
dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara
‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian
dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam
Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari
akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di
Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya
datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh
saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad
menolaknya.
Suatu
hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu
tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu),
maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku
akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan
agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam
Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak
aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih
bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul
Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad
bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan
keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan
menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah
disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak
pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih
besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya
jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau
berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun
bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang
imam huffazh.
Keteguhan
di Masa Penuh Cobaan
Telah
menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian
dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi
dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari
tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang
berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang
kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai
kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki.
Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka.
Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari
Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa.
Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah
dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di
tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah,
Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok
Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari
Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi
al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya
pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara).
Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian
memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan
Alquran.
Sebenarnya
Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat
tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka
mampu melakukannya.
Untuk memaksa
kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai
mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung
orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri
telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia
telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa
di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan
ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun
bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin
Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke
Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan
sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan
dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun
218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal
al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah
mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan
menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan
menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu. Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk
mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya,
bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki
beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di
kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan
keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan
Wafatnya
Pada
akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam
keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah
kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya,
al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya,
al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya.
dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya.
Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang
Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad
bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau
menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun,
yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah
al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan.
Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke
seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran
dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan
adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan
melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan
namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar
bin Abdul Aziz.
Menjelang
wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya,
orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di
depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di
depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun
241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka
yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada
yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya
menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara
kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah
gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap
agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama
lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada
dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy
berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama
ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
Sumber: Sumber:
Sejarah Singkat Imam Bukhari
Kelahiran dan Masa Kecil Imam
Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya)
lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al
Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari
Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama
Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya,
Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya
masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak
yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau
kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a
untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah,
menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang
termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam
Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam
kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang
tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits
(Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama
di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit
dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun
beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti "al-Mubarak" dan
"al-Waki". Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits
yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi
kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti
kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan
kitab pertamanya "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien"
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau
menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits
yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara
guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali
bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al
Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu
Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab
Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam
Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji
ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100
buah hadits yang sengaja "diputar-balikkan" untuk menguji hafalan
Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali
secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi
kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh
hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan
penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang
sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam
waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli
hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia
misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang
hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali.
Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan
menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang
lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul
"Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di
zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18
tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah
beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau
pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam
Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama".
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain
adalah kitab Al-Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At
Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir,
Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami
As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling
monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih
Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam
Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku
berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk
menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia
menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari
hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
melahirkan kitab Al-Jami' As-Sahih."
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."
Banyak para ahli hadits yang berguru
kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad
Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam
Muslim menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari)
datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama
dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan
kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau
tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam
Bukhari) berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin
Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits
shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai
kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya.
Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz
(Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari
sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari
sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau
mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang
berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang
produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga
ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu
menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil
(ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu,
sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. "Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih", katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan
kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya.
Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan
dengarkan pengajiannya." Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari
orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang
berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : "Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada
tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin
al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang
sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk
dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di
sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid,
Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150
tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota
kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di
kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya
dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan
gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih
dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa
kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang
luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits
shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi
akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033
hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana
dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya
jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada
tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala
kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.
Amiin.
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam Tirmizi
Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat
sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya,
Kitab Al Jami', atau biasa dikenal dengan kitab Jami' Tirmizi, menjadi salah
satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam
Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits
terkenal. Sosok penuh tawadhu' dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam
Tirmizi.
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni', dan lainnya.
Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.
Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami' daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.
Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.
Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :
Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, "Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa 'dua jilid kitab' itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, 'Tidakkah engkau malu kepadaku?' Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. 'Coba bacakan!' perintahnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, 'Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?' Aku menjawab, 'Tidak.' Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, 'Coba ulangi apa yang kubacakan tadi!' Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, 'Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.' "
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami'.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: "Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, "Sebagian ahli ilmu berkata: 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.' Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: 'Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal 'alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan 'Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim' ini adalah 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu'." demikian penjelasan Imam Tirmizi.
Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab Al-Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-'Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama'il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma' wal-Kuna.
Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami' Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadits lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta'lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.'' Juga Hadits, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia." Hadits mengenai hukuman untuk peminum khamar ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma' ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.
Beberapa keistimewaan Kitab Jami' atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta'lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta'lil Hadits tersebut.
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam Al Baihaqi
Imam Al Baihaqi, yang bernama lengkap Imam
Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al
Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di
pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.
Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari", Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.
Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki menyatakan: "Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits."
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya "Thail Tareekh Naisabouri": Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku 'Al Ma'rifa'. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.
Sementara itu, dalam Wafiyatul A'yam, Ibnu Khalkan menulis, "Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara', dan mencontoh para salafus shalih."
Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).
Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.
Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku "As-Sunnan Al Kubra", "Sheub Al Iman", "Tha La'il An Nabuwwa", "Al Asma wa As Sifat", dan "Ma'rifat As Sunnan cal Al Athaar".
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Imam An-Nawawi
Disusun
Oleh:
Ustadz
Anas Burhanuddin, Lc.
Beliau
adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu
Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah
kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah.
Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan.
Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan
hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika
berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa
bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis
karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan
menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan
manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi
semakin besar.
An-Nawawi
tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai
rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah
yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah
Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai
kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam
sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Iapun mengungguli
teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis segala yang berhubungan
dengannya,baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada
kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz
Dzahab 5/355].
Diantara
syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu
Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad
Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar
Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas
Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Pada
tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke
Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq.
Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan
menolak untuk mengambil gaji.
Beliau
digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini
karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan
kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas
orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau
berkata :”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam
An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana,
qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan.
Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah
digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan
bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir
Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus
dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata:
”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan
tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena
berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari
semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama
sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa
tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun
menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Imam
Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar
empat puluh kitab, diantaranya:
1. Dalam
bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim),
At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
2. Dalam
bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
3. Dalam
bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
4. Dalam
bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab
ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang
besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala,
kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara
umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak
terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan
menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak
ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi
pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat
Allah Subhanah. Beliau kadang menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang
memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah
muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab
ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para
ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun
memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak
menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain
seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap
dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap
kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun
yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan
didalamnya.
Komite
Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau
dan menjawab: ”Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa
kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam
Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafarahu-.
Catatan: Lihat
biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 147, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra,
Syadzaratudz Dzahab 5/354
Sumber:
Sumber:
Sejarah Singkat Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Hadits
merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci
Al-Qur'an. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW itulah terkandung jawaban dan
solusi masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan. Berbicara
tentang ilmu hadits, umat Islam tidak akan melupakan jasa Syeikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Al-Albani. Ia
merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam abad ini.
Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu hadits. Ia berjasa memurnikan ajaran Islam dari hadits-hadits lemah dan palsu serta meneliti derajat hadits. Al-Albani mempunyai nama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqadar, ibu kota Albania masa lampau. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya ilmu. Ayah al-Albani bernama Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul).
Ketika Raja Ahmad Zagha naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia sekeluarga bertolak ke Damaskus. Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab. Al-Albani kecil masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Ia terus belajar di sekolah tersebut hingga kelas terakhir dan lulus di tingkat Ibtida'iyah.
Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh. Ia mempelajari Al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, disamping juga mempelajari sebagian fikih madzab Hanafi. Al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya. Pada umur 20 tahun, pemuda Al-Albani mulai mengkonsentrasikan diri pada ilmu hadits. Ketertarikannya itu berawal dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Tulisan-tulisan sang Syeikh, sangat memukau hatinya.
Kegiatan
pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul Al-Mughni 'an Hamli
al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, karya al-Iraqi, berupa
takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin-nya
Al-Ghazali. Awalnya kegiatan Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh
ayahnya. Ia mengomentarinya begini, ''Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan
orang-orang pailit (bangkrut).'' Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta
terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Al-Albani tidak memiliki cukup
uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan
adh-Dhahiriyah di Damaskus. Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa
perpustakaan khusus.
Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya sampai-sampai ia menutup kios reparasi jamnya. Al-Albani lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber.
Syeikh Al-Albani pernah dua kali mendekam dalam penjara. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid'ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.
Pengalaman mengajarnya dilakukan ketika menjadi pengajar di Jami'ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun. Dari tahun 1381-1383 H, ia mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh Al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.
Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395-1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula, Al-Albani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H. Sebelum berpulang, Syeikh Al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku hasil foto kopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya ataupun orang lain) seluruhnya diserahkan kepada pihak Perpustakaan Jami'ah. Ia wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang). Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya yang terkenal antara lain :
1. Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
2. Al-Ajwibah
an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
3. Silisilah
al-Ahadits ash Shahihah
4. Silisilah
al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah
5. At-Tawasul
wa anwa'uhu
6. Ahkam
Al-Jana'iz wabida'uha.
Di
samping itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan terhadap
berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai
masalah yang bermanfaat.
Sumber:
Sumber: