ISTRI-ISTRI RASULULLAH
Khadijah bintu Khuwailid
(Wafat
3 H)
Khadijah
binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda
Rasulullah, “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan
Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya
tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., menjadi wanita pertama yang menjadi
Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal
jihad pcnyebaran agarna Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah
adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari
keluarga terhormat pada lima belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak
pemuda Quraisv yang ingin mempersuntingnya. Sebelum menikah dengan Rasulullah,
Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah
at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan
perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan
Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan
perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku
Quraisy.
Wanita Suci
Sayyidah
Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu
Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ?khlak dan sifat terpujinya. Karena
itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan berupa
penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan
yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi,
Khadijah merasa tidak mungkin jika sernua dilakukan tanpa bantuan orang lain.
Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam berniaga dan bepergian
membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim
panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa
karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan dagangannya. Untuk itu, para
karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan kemampuan intelektual dan
kecemer1angan pikiran yang didukung oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan
bekerja sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang yang dapat diajak
berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadilah menuju kesuksesan yang gemilang.
Pemuda yang Jujur
Khadijah
memiliki seorang pegawai yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah.
Dia dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani
melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring
dan menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan.
Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah
sia-sia.
Pemuda Pemegang Amanah
Kaum
Quraisy tidak mengenal pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain
Muhammad bin Abdullah, yang sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh
Maisarah untuk menyertainya berdagang.
Seperti
biasanya, Maisarah menyertai Muhammad ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah,
karena memang keduanya telah sepakat untuk bekerja sama.
Perniagaan
mereka ketika itu memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah
kembali membawa keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa
keuntungan yang mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh
kejujuran. Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke
Syam dengan Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang
senantiasa mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan
matahari. Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang
mengatakan bahwa Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu
oleh orang Arab sebgaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita
tentang Muhammad itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah
pun telah merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa
menerangi wajah Muhammad. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan
terhadap Muhammad di dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak
pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang-
orang terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang
dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah
terhadap Muhammad semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan
Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah
untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad diminta
menikahi dirinya.
Ketika
itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan
keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin
menikahinya. Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan
salah seorang pamannya, Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru
bin As’ad untuk meminang Khadijah.
Istri Pertama Rasulullah
Allah
menghendaki pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia
Muhammad baru menginjak dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh
tahun. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun
tidak sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah
Subhanahu wa ta’ala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah
adalah istri Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia
rneninggal. Allah menganugerahi Nabi Shallallahu alaihi wassalam. melalui
rahirn Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya
keturunan. Dia telah mernberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasuluflah
Shallallahu alaihi wassalam. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan
kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. mernperoleh per1akuan yang baik serta rumah tangga yang
tenteram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan
pahitnya menjadi anak yatirn piatu dan miskin.
Putra-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
Khadijah
melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah
serta empat orang anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum
dan Fathimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum masa kenabian,
kecuali Abdullah. Karena itulah, Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang
balk) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab
banyak rnenyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak
bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa
pertama Rasulullah rnenikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan
Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah.
Ketika Nabi Shallallahu alaihi wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah
az-Zahra, putri bungsu beliau rnasih kecil.
Selain
mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula,
Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya.
Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad
sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki
sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di
tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat
kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan
Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tet?p
tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama
Rasulullah, schingga dan sinilah kita dapat mengetahuisifat mulia Zaid.
Agar
pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan Zaid bin Haritsah menuju halaman
Ka’bah untuk mengummkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid sebagai anak.
Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa
banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum
pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal
itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini :
” … jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka
(panggillah merela sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu … ” (QS.
At-Taubah : 5)
Pada Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi
wassalam.
Muhammad
bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan
tenterarn di bawah naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menjadi tempat mengadu orang-orang
Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di
antara mereka. Hal itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di
hadapan mereka pada masa prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira,
menghambakan din kepada Allah yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim.
Khadijah
sangat ik.hlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir
selama ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan
minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang
dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika
itu, Nabi Muhammad berusia empat puluh tahun.
Suatu
ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan
Ramadhan–. Beliau sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril
memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya
menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati
dan mendekap beliau ke dadanya, seraya berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!”
Ketika itu Muhammad sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku
tidak dapat membaca.” Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya,
dan berkata, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia mengajari
manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum
mereka ketahui.” Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut. Keringat
deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak
menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang
seperti itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan
ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. “Berilah aku selimut,
Khadijah!” Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya.
Khadijah memberikan ketenteraman kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan
kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau ridak langsung
menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena khawatir
Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka.
Pribadi yang Agung
Setelah
rasa takut beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun
menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita
suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya
hal-hal seperti itu.
Sejak
semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha
Besar untuk seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan
tugas Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan
babak baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan
meyakini ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku
rnengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku.”
Di
sinilah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran
Khadijah. Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum
pernah dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanrnu
Engkau selalu menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang
lain, menolong orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu meringankan derita
dan musibah orang lain.”
Setelah
Rasulullah merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi
anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah.
Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai
Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah
dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat
Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa
sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam
Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya
(Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan menyampaikan apa yang dikatakan
oleh Waraqah.
Awal Masa Jihad di Jalan Allah
Khadijah
meyakini seruan suaminya dan menganut agarna yang dibawanya sebelum diumumkan
kepada rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya
berjihad di jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam
menyebarkan agama Allah.
Beberapa
waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
untuk membawa wahyu kedua dari Allah :
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah,
lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi
(dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir : 1-7)
Ayat
di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada
kalangan kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang
menyatap kan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan
kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib,
anak paman Rasulullah yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali
bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak,
kemudian Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki
Zaid bin Muhammad. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk
Islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash,
az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka
masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan
shalat di pinggiran kota Mekah.
Masa Berdakwah Terang-terangan
Setelah
berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah
untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke
tengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga
tidak dilahirkan.” Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga
orang-orang Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk beribadah
kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain
yang mernenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki,
bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui
ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah
tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan.
Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata
jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang
Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian
dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga
tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada
muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalab tutur kata yang lemah
lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang
yang paling keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza
bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta
istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan
pertunangan dengan kedua putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun
begitu, Allah telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin
Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya
dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia
usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula)
istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut. “ (QS.
Al-Lahab : 1-5)
Khadijah
adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh
keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat
dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh
penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan
dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah, menjadi
benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy,
sebab Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum
Quraisy.
Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin
Setelah
berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum
Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis
deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy
memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya.
Mereka terisolasi di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam
bentuk embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari
lainnya.
Dalam
kondisi seperti itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi
fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan
kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan
ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin
bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain,
sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk
mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi
tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah
bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy
telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum
muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. pun kembali
menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
Wafatnya Khadijah
Beberapa
hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini
bahwa sakit kali mi merupakan akhir dan hidupnva. Dalam keadaan seperti itu,
Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar
menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan
tetapi, Abu Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan
pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu
Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul
Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu,
karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. dan pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku
kehilangan engkau?
Pada
tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita
kelaparan dan kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya
semakin menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. semakin
sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membangun
kehidupan rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam
usia enam puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah
dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sendiri yang mengurus jenazah istrinya,
dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah : “Sebaik-baik
wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah
meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita
lain, Dia adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama
yang mernpercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan
putra-putri Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk
kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar
gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa
lekat dalam hati Rasulullah sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat
yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Zainab binti Khuzaimah
(Wafat
1 H)
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama
lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru
bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama
Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.
Berdasarkan
asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani.
Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang
rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum
memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang
miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa
Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin
Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut
disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi
Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya sebelum
beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan
Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa
Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya,
kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia
utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam
dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa
orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi
Allah.
Keislaman dan Pernikahannya
Zainab
binti Khuzaimah. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari
kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang
baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari
perbuatan jahiliah.
Para
perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia
menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama
Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian
menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh
pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami
keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang
mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat
itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami
pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak
dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke
Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki
Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah
salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin
Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan
orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam
perang tersebut.
Setelah
Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga
Rasulullah menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin
melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi
luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan
kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa
rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin,
termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup
miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama
orangorang miskin.
Meskipun
Nabi. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah,
tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang
oleh Zainab binti Khuzaimah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak
diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga
Nabi., apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah.
menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak
begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia
menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga
Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa
Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain
delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab
meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan
penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga
puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Hidupnya
bersama RasuluLlah, hanya singkat. Antara 4 sampai 8 bulan. Zainab terkenal
dengan julukan Ummul Masaakiin, karena kedermawanannya terhadap kaum miskin.
Zainab meninggal, ketika Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendiri
menshalati jenazahnya. Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. dan semoga
Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
‘Aisyah Binti Abu Bakar
(Wafat
57 H)
Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan
Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam
kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak
menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat
dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang
lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika
wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya
di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi
dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong
sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah
istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah
yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan
membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah
adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim
bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar
ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah.
Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika
terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut
riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain
mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin
Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam,
sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah
menganut Islam.”
Ummu
Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah.
Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri
pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar
menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi
Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat
tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh
orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat
besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi
Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat
disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua
tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu
alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah.
Setelah
itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga
malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada
selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka
tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini benar
dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan
istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri
mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan
yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau
ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang
untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah. Karena cuaca buruk yang
melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami
orang-orang Muhajirin.
Menyaksikan
hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang
mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi.
Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam
timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah
penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca
berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin.
Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah
Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan
izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya
oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan
Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada
istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy
itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah
uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap
istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Aisyah
tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu
banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di
hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh
istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya
Rasulullah kepada Aisyah.”
Di
dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah
di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka
kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain
itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan
itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum
muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah
sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri
Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata :
“Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah pada
hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri Nabi yang
lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah,
demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari
giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh
kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu,
Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada
hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan
keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika
beliau mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau
berbuat hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga
kalinya, beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda,
‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian,
kecuali ketika aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun
perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka
tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah
wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia yang paling
beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu
waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling
engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari
kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di
antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan-
keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu
hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu
ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu
Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan
Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab
menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan
disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah
Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari
ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan
Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk
permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang
menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan
sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia
senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah.
Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk
beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini
Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di
pangkuanku.”
Fitnah Terhadapnya
Aisyah
pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya,
hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya
bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah
mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh
kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani
al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab.
Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali
ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran,
Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan
rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan
kembali.
Ternyata,
kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan
mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang
mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup.
Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya
karena tidak ada seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat
itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di
dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah
tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah
tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di
depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh
Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika
tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan
meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah
keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat,
“Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain
dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga
terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar
pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih
setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika
Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan
bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah
begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan
menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan
penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi
Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau
mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya
Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan
mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah
mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku
hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih
baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah
sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun
wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun
meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun
kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah
telah menyucikanmu dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong
itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur : 11)
Demikianlah
kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan
keagungannya di hati Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada
hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan
Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan.
Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan seperti
Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa sadar aku
pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada
Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab
menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti dengan makanan.“ (HR.
Bukhari)
Aisyah
pernah berkata :
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah,
meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah
meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya
Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu
adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya
merah. Dia telah tua renta ditelan masa.
Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih
baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan
memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman
kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang
lain mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku
ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku
dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR.
Ahmad dan Muslim)
Terdapat
beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik
khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan
kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu
seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu
akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan
iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu
berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau
menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu nafkah selamanya”.
Istrinya
menemui Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu
hampir berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu
kembali. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya.
Aisyah terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat
menyelesaikan masalah tersebut hingga turunlah ayat :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan cara yang
baik….” (al-Baqarah : 229)
Dalam
penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar
syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam
mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain
rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan
Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah
pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan
wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan
tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi
pada wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid
sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di
dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui
Ummul-Mukminin Aisyah. Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat
kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang
tebal.
Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah
memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik
yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang
masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim
mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu
Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan
kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan
masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering
mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian
dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah perkataan
yang diungkapkan oleh Abu Hurairah.
Ketika
itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa
barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia
dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab,
“Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau
meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia
lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak
berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru
untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa
membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah
hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah
adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan
turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini :
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah
pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri,
sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah
pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika
menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana
ungkapannya ini :
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ‘Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang
takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas
adalah para peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri
ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi
takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan,
tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah
dan Tirmidzi).
Aisyah
berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma
tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah
termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi
wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari
para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu
Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu
meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan
menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak
pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits
sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah
karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang
suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa
pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat
pemerintah hingga wafat.
Aisyah
dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan
hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu
Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui
Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih
mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain
Aisyah.”
Suatu
ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang
bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab,
“Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul
sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh
karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid
Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata,
“Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau
adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.”
Aisyah
berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia menjawab,
“Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar.
Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia berkata
lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai
dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu
medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai
Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit,
sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari
merekalah aku belajar.”
Tentang
penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku
belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain
Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar khutbah
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga
saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang
lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh
kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar
:
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas
kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau
berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu
menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan
musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan
menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah
ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu
dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari
Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti :
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan
bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan adalah
perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia mengabdikan putri
kemuliaannya.”
Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya
Bagi
Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan
yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah
ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat :
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab
wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah menyatukan
ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya
tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh
ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa beliau menyukai siwak. Aku
berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’ beliau memberi
isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian beliau
menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau ada
bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya ke
wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian mengalami sekarat
(beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam
tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau
meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh
ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar
berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan
tiga orang yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar
berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.”
Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rasulullah Wafat
Setelah
Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat,
namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir
Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada
Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah
Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu
atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika
istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk
menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru
berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Kami para nabi tidak
meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa
kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan
kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga
karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum
murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu
Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya
agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya,
dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi,
kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu
Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar
senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan-
permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari
Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits
Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi.
Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada
waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu
Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari
ujung kepala sampai ujung kaki.
Dia
memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan
kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’ Begitu juga dengan
Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya sangat
terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa
malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya,
beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah
menanyakan hal itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang
kepadanya malaikat sangat malu.”
Di
dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman
agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna.
Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan
mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar
engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah
engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika
Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas
atas kematiannya.
Berkaitan
dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri
yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan
terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman
Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu
tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi
orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali
dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas
ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah
tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah
menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama
Rasulullah.”
Setelah
Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits
dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang
Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun
Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat,
Mu’awiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya,
“Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam
sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam.
bersabda, ‘Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah,
niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari
keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah
tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”
Wafatnya Aisyah
Dalam
hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun,
bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’.
Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian
sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan
shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada
kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah
berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya
Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas,
beliau melakukannya sambil duduk.”
Aisyah
memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada
Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha,
lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata,
‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa,
sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat
panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui
Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia
bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah
menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah
bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun
sebelumnya.”
Selain
itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan
ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun
hanya dengan sebiji kurma.”
Di
dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa
dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa
pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma
itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern
udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh
anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi
penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada
juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata,
“Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi
Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya.
Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu
dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku
membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Maimunah Binti Harits al-Hilaliyah
(Wafat
50 H)
Maimunah
binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau
dengan tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah
satu-satunya wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirnya kepada kepada
Rasulullah ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliah. Allah telah
menurunkan ayat yang berhubungan dengan dirinya :
“.. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukminin…” (QS. Al-Ahzab:50)
Ayat
di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah
dan Rasul-Nya. Bagaimana rnungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka
rela menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keirnanan
Maimunah. Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya,
Ummul-Fadhal, adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita
yang pertarna kali merneluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya
adalah Zainab binti Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam.), Asma
binti Urnais (istri Ja’far bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri Hamzah
bin Abdul-Muththalib).
Nasab, Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan
Nama
lengkap Mairmnah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin
Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun
binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy.
Dalam
keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu
Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu
Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa
kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia
banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi
kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun
dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak
mendukung.
Tentang
suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan
mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu
Lahab). Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm
bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya
meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.
Kekokohan Iman
Setelah
suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan
kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan
dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu
Hisyam dalam A1-Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri.
Tentang
penyerahan Maimunah kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. ini telah
dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara
perempuannya, Ummul Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika,
kepada kakaknya, Maimunah menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah.
Ummul-Fadhi menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun
mengabarkannya kepada Rasulullah. Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas
untuk meminang Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui
kesediaan Rasulullah menikahi dirinya.
Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Pada
tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum
muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi
perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama riga hari,
namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk
berdiam di sana lebih dari tiga hari.
Kesempatan
itu digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Untuk melangsungkan
pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslimin
meninggalkan Mekah. Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah
dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri.
Maimunah
memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan
tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.
Tentang
Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah
wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.”
Dia dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin
mendekatkan diri kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan
ilmunya yang luas.
Saat Wafatnya
Pada
masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan
perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa
ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan
dengan tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana
wasiat yang dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang
terakhir meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Hafshah Binti Umar
(Wafat
45 H)
Hafshah
binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan
mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang
penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah.
dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah
menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang
berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan
gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan
sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang
menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan
Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau
bersedia menikahi Hafshah.
Jika
kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang
besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali
menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma,
hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama
lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin
Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku
Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin
Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun
yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah.
memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali
setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra,
putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira
oleh beliau.
Beberapa
hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab.
Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah,
sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita
kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak
perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar
tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar
akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu
kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad
bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari
kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy
membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah
Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Urnar bin Khaththab.
Dalarn soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan
ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sarna dengan ayahnya.
Kelebihan lain yang dirniliki Hafshah adalah kepandaiannva dalarn rnernbaca dan
menulis, padahal ketika itu kernampuan tersebut belum lazirn dirniliki oleh
kaurn perempuan.
Memeluk Islam
Hafshah
tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika
awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Urnar bin Khaththab, masih menjadi musuh
utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika
suatu waktu Umar mcngetahui keislarnan saudara perernpuannya, Fathimah dan
suarninya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka.
Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang
mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah
tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening
keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh
ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kernudian diarnbilnyalah Al
Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha,
terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan.
Allah telah mengabulkan doa Nabi. yang mengharapkan agar Allah membuka hati
salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar
adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin
Khaththab.
Setelah
kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan
keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai
menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga
beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin
Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam.
Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah
yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.
Menikah dan Hijrah ke Madinah
Keislaman
Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam
menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini mernotivasi para
muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal rnereka setelah
sekian larna ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang
pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai
Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia
hijrah ke Habasyah untuk rnenyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah,
dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia
meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya.
Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga
mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.
Ketika
Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah. menernukan
sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau
mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka
sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam
hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.
Cobaan dan Ganjaran
Setelah
kaum muslirnin berada di Madinah dan Rasulullah. berhasil menyatukan mereka
dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang
musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah
Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan
pertarna antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam
peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi harnba- hamba-Nya yang
ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang
anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya
dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati
luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid
dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah
menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah
telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.
Umar
sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda,
sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang
muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu
Bakar dan merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar
diam, tidak menjawab sedikit pun.
Kemudian
Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya.
Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya,
Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar.
Menghadapi sikap dua sahabatnya, Uman sangat kecewa, dan dia bertambah sedih
karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud
mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah.
bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada
Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik
daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi
karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan
meminang putrinya.
Umar
merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan
kegernbiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk
mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud
menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah
rnenyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau
kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi
Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya.
Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia
bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus
bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia
dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah. dengan Hafshah
lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena
Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah
as-Sahami.
Berada di Rumah Rasulullah
Di
rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti
Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui
Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap
Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang
terhormat.
Umar
memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun
rnengetahui bahwa orang yang rnenyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan
menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha
terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha
dekat dengan Aisyah dan mcncintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah
rnenjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi
perselisihan. Akan tetapi, mcmang sangat manusiawi jika di antara mereka rnasih
saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang
dada Rasulullab. mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara
istri-istrinya.
Salah
satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang
rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan
Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalarn rumah Hafshah yang ketika itu sedang
pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir karnar tidurnya tertutup, sementara
Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah
meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan
meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah rnengharamkan Mariyah baginya
kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah
rnerahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan
hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah,
karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti
Khadijah r.a.. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah
memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui
oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa
setelah kejadian tersebut, Rasulullah. menceraikan Hafshah, namun beberapa saat
kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat
resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud
menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud
memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia
adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah
sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya
dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah.
Umar
bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah
Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin
Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah. pada tempat terpenting yang harus
dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena
memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan
suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu
yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah
Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah
pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika
Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya
(Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu
(kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara
Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian
(yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain
(kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara
Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan
hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah,
maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan
jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah
adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan
selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan
kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang
lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat,
yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs.
At-Tahrim:1-5)
Cobaan Besar
Hafshah
senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu
menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah. senantiasa
memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau
bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah.
pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah
sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah.
Umar
melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi
perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil
putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat
membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak
harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah
untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka
menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari
kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika
kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku
akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan
jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di
kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik
di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah.
menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut
khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah
kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah. telah
menceraikan istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar
bin Khaththab, sehingga dia segera rnenemui putrinya yang sedang menangis.
Urnar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak
Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu
sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi,
aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan
menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari
Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah
beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar
mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang
ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya
kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang
ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi
penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di
sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri
beliau. Dan memang benar, Rasulullah. tidak akan menceraikan istri-istri beliau
sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum
muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah. tidak
menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut,
dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah
genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka.
Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada
Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau rnengurnumkan
penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri
Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan
sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah
memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut
hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan
Urnar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian
timur maupun barat.
Hafshah
merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia
hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar
antar muslirnin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa
pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada
pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah
sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan
orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena
saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak
keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang
wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada
tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik Mushaf yang Pertama
Karya
besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya A1-Qur’an di tangannya setelah
mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istrii Nabi. yang pandai
membaca dan menulis. Pada masa Rasul, A1-Qur’an terjaga di dalam dada dan
dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau
lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada
masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam
peperangan Riddah (peperangan rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu
mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan
Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada
zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu
bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus
menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah
hingga dia meninggal.
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat
yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar
(Wafat
56 H)
Telah
kita ketahui bahwa setiap istri Nabi. itu memiliki suatu kelebihan. Demikian
juga halnya dengan Juwairiyah yang telah membawa berkah besar bagi kaumnya,
Banil-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah dia memeluk Islam, Banil-Musthaliq
mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah, “Aku
tidak mengetahui jika ada seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap
kaumnya daripada Juwairiyah.”
Juwairiyah
adalah putri seorang pemimpin Banil-Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi
Dhiraar yang sangat memusuhi Islam. Rasulullah memerangi mereka sehingga banyak
kalangan mereka yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di
antara tawanan tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan
keislamannya itu merupakan awal kebaikan bagi kaumnya.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Juwairiyah
dilahirkan empat belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Semula namanya
adalah Burrah, yang kemudian diganti menjadi Juwairiyah. Nama lengkapnya adalah
Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin
Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin
kaumnya yang masih musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan
dalam kondisi keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan
sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas
ilrnunya dan paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia
menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.
Berada dalam Tawanan Rasulullah
Di
bawah komando al-Harits bin Abi Dhiraar, orang-orang munaflk berniat
menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan orang-orang
Quraisy yang berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits beranggapan, jika
pasukannya berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat menjadi penguasa
suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut
pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, kabar
tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah, sehingga
beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang mereka. Dalam penyerangan
tersebut, Aisyah r.a. turut bersama Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan
pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan. Perang
antara pasukan kaum muslimin dengan Banil-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya
dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin. mereka, al-Harist, melarikan diri,
dan putriinya, Juwainiyah, tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari.
Juwairiyah mendatangi Rasulullah dan mengadukan kehinaan dan kemalangan yang
menimpanya, terutama tentang suaminya yang terbunuh dalam peperangan.
Tentang
Juwairiyah, Aisyah mengemukan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Saad
dalarn Thabaqatnya, “Rasulullah menawan wanita-wanita Bani Musthaliq, kemudian
beliau menyisihkan seperlima dari antara mereka dan membagikannya kepada kaum
muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain
mendapat satu bagian. Juwainiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas
al-Anshari. Sebelumnya, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi
bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum
muslimin.
Ketika
Rasulullah tengah berkumpul denganku, Juwainiyah datang menanyakan tentang
penjanjian pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia menemui beliau.
Kemudian dia benkata, ‘Ya Rasulullah, aku Juwainiyah binti al-Harits, pemimpin
kaumnya. Sekarang ini aku tengah berada dalam kekuasaan Tsabit bin Qais. Dia
membebaniku dengan sembilan keping emas, padahal aku sangat menginginkan
kebebasanku.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau menginginkan sesuatu yang lebih
dari itu?’ Dia balik bertanya, ‘Apakah gerangan itu?’ Beliau menjawab, ‘Aku
penuhi permintaanmu dalam membayar sembilan keping emas dan aku akan
menikahimu.’ Dia menjawab, ‘Baiklah, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, ‘Aku akan
melaksanakannya.’ Lalu tersebarlah kabar itu, dan para sahabat Rasulullah.
berkata, ‘Ipar-ipar Rasulullah tidak layak menjadi budak-budak.’ Mereka
membebaskan tawanan Banil-Musthaliq yang jumlahnya hingga seratus keluarga
karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah. Aku tidak pernah menemukan
seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah daripada Juwairiyah.”
Selain
itu, Aisyah sangat memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya
yang menyebabkan Rasulullah menawarkan untuk menikahinya. Aisyah sangat cemburu
dengan keadaan seperti itu. Padahal Rasulullah. berbuat baik kepada Juwairiyah
bukan semata karena wajahnya yang cantik, melainkan karena rasa belas kasih
beliau kepadanya.
Juwairiyah
adalah wanita yang ditinggal mati suaminya dan saat itu dia telah menjadi
tawanan rampasan perang kaum muslimin.
Mendengar
putrinya berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abi Dhiraar
mengumpulkan puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya.
Sebelum sampai di Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya,
namun dia hanya membawa dua ekor unta yang terbaik, yang kemudian dibawa ke
al-Haqiq di bawah pengawasan para pengawalnya. Lalu dia pergi ke Madinah dan
menemui Rasulullah di masjid. Terdapat dua riwayat yang menerangkan pertemuan
al-Harits dengan Rasulullah. Dalam riwayat pertama, seperti yang diungkapkan
Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya, dikatakan bahwa Rasulullah menyerahkan keputusan
kepada Juwairiyah.
Juwairiyah
berkata, “Aku telah memilih Rasulullah..” Ayahnya berkata, “Demi
Allah, kau telah menghinakan kami.” Dalam riwayat kedua seperti yang
disebutkan Ibnu Hisyam bahwa al-Harits menemui Rasulullah dan berkata, “Ya
Muhammad, engkau telah menawan putriku. Ini adalah tebusan untuk kebebasannya.”
Rasulullah menjawab, “Di manakah kedua unta yang engkau sembunyikan di
al-Haqiq? Di tempat anu dan anu?” Al-Harits menjawab, “Aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusanNya. Tiada yang mengetahui
hal itu selain Allah.” Al-Harits memeluk Islam dan diikuti sebagian
kaumnya. Rasulullah meminang Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham.
Berada di Rumah Rasulullah
Ketika
Juwairiyah menikah dengan Rasulullah, beliau mengubah namanya, yang asalnya
Burrah menjadi Juwairiyah, sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat-nya Ibnu Saad,
“Nama Juwainiyah binti al-Harits merupakan perubahan dan Burrah. Rasulullah.
menggantinya menjadi Juwairiyah, karena khawatir disebut bahwa beliau keluar
dan rumah burrah.”
Juwairiyah
telah memeluk Islam dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia
mengikhlaskan diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan
shalat dan ibadahnya, di antaranya, “Ketika itu Rasulullah hendak melakukan
shalat fajar dan keluar dan tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga
matahani meninggi, beliau pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya.
Juwairiah berkata, ‘Aku tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah.’ Nabi
bersabda, ‘Aku akan mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kenjakan,
niscaya akan lebih berat dalarn timbangan, ‘Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia
ciptakan. Maha Suci Allah Penghias Arasy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh
kalimat-Nya.”
Setelah
Rasulullah. meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta memperbanyak
ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya dari
Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak
berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun.
Saat Wafatnya
Juwairiyah
wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pada usianya yang keenam
puluh. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri
Rasulullah yang lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri
Rasulullah.
Semoga
Allah memberikan kemuliaan kepadanya di akhirat dan ditempatkan bersama
hamba-hamba yang saleh. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Mariyah al-Qibtiyah
(Wafat
16 H)
Seorang
wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada
Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan
mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai
oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti
halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak
Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah
memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang
lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang
Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan
seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.
Dari Mesir ke Yastrib
Tentang
nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya
adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang
dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah
penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya,
Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah
mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar
memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia
menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak
bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk
Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena
harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan
menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam.
Mereka pun menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah
tel?h menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya
Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah
untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.
Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang
cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin
Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
Ibrahim bin Muhammad
Allah
menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah
Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah,
terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal
dunia.
Mariyah
mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri
Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung
dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan
sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah
melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi
mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau
memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra
Rasulullah dengan gembira.
Akan
tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu
perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin
tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah.
dengan
Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini
menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan
Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat
firman-Nya :
“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang
Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)
Aisyah
mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada
wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat
tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di
rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan
tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh
karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap
mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam
riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara
kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa
orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak
hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan
kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran
untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus.
Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada
usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan
kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu
malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi.
bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam
keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari
kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa
beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia,
beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya mi bukan penintah yang
haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita,
niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua
merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami
tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah
keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam
kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi
contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar.
Rasulullah.
mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat Wafatnya
Setelah
Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk
beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu
pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian
dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan
penuh berkah. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Saudah binti Zam`ah
(Wafat
54 H)
Walaupun
Saudah binti Zum’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah
lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan
kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di
jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan
hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita
sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. menikahinya bukan
semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong
wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullab adalah semangat jihadnya di
jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik,
keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dia adalah Seorang Janda
Telah
kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu
Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. tengah mengalami
rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk
rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan
dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.
Ketika
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke Tsaqif
atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk
masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak
mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka
melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah.
Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar
memperoleh hidayah.
Dalam
keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj.
Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq,
kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda
kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan
orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan
itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan
mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau
hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zum’ah yang ikut
berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri
Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat
beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah.
Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita yang pertama
masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai
wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai
tersendiri bagi Rasulullah.
Melalui
kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi
Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan
mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab
dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan
pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah,
namun dia tetap pada pendiriannya.
Kemudian
Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan
rnengurus rumah tangga beliau.
Dengan
saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama
kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi
beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah.
Beliau
melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga
beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika
engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika
yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zum’ah.”
Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah, yang sejak keislamannya begitu
banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau
jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. memilih janda yang
namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak
didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena
Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah
tangga beliau setelah Khadijah wafat.
Jika
kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang
berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan
tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan
gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati
suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang
kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung
kesulitan hidup.
Nasab dan Keislamannya
Saudah
binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin bin
Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah.
Nasabnya
ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia
dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah
dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus.
Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran,
termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam
bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin.
Setelah
berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan
memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya. Kecemerlangan
pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk
selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.
Hijrah ke Habbasyah
Keislaman
Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat
cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena
itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk
Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil
bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah
menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar
mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih
dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad.
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang
hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya
meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk
demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di
Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun
keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu
raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah
Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke
Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah
dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin
Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab
adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk
kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan
gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin
Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak
kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan
menuju Mekah.
Betapa
sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia.
Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya
perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy,
sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan
orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.
Rahmat Allah
Saudah
binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta
menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya.
Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan
kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan
memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap
merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain
kembali ke rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek
moyang.
Akan
tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya. Tidak sedikit
pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut
kepercayaan nenek moyang.
Ketika
Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut
nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi
lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang
hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang
masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya
sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan
menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi
istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba
pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan
yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg
sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh,
hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan
sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian
suaminya.
Rasulullah
yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan
terharu dia menyetujui permintaan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya.
Setelah Zum’ah bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan
Saudah pun sudah setuju, lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta
Rasulullah Muhammad datang ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut
bersama Khaulah, dan perkawinan itu terlaksana dengan baik.
Berada di Rumah Rasulullah
Saudah
mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan
kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan
Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun
menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.
Saudah
memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah,
sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar
dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai
istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya
dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan
umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk
menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan
hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa
bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan
keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah
melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada
dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia
telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian
turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar
yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna
wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya
menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah
melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas,
sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut Dia rela
dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada
di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar
Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya,
sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
Hijrahnya ke Madinah
Pertama
kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa keluarga.
Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya,
termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju
Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya,
sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at
setia kepada Rasulullah.
Setelah
masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di
samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal,
hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung
sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah
selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi
putrinya, “Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?”
Ketika
itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah,
sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar
mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian
beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
Sikap Hidupnya
Sejarah
banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya
senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu
menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah.
Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati.
Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui
pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya,
kenikmatan yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan
tertawa. Aisyah berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk
berkumpul bersamanya selain Sàudah binti Zum’ah, karena dia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah,
wanita yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama
Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan
malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan
Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah
ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku
ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku
untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan
kaum wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. pun mengurungkan niatnya.
Sebenarnya
Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah tidak bermasalah
dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan
Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul
dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap
mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.
Saudah
mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat
berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam
Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai
pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami
Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan
kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak
rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah
pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah
menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap
rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan
cemburu.
Saudah
menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan
ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah
haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. sakit keras. Beliau meminta
persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika
Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu
Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal
sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan
keridhaan-Nya.
Dia
tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada
saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa
Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada
masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah
hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada
tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia
meninggal pada tahun ke-54 hijrah. Yang lebih mendekari kebenaran adalah
pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
Sifat dan Keutamaannya
Hal
istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam
menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman
lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri.
Hal
seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus ditempuhnya
itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus meninggalkan keluarga
dan kampung halaman.
Sifat
mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima
takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang
masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di
tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun
bertambah rajin beribadah.
Jelasnya,
kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya tidak
pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya.
Saudah
pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat
dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika
Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan
yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter
seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zum’ah dan
semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Tambahan kisah lainnya
Dia
adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi
wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum
menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah
dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian
berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika
Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan
meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan
menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan
Ramadhan.
Saudah
adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya,
sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah
berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi
malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungmu
dengan keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka
tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika
Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat hendak
mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih
menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan
menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari
giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari
seorang istrinya sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal.
Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang
wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi
8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah
berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum
berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika berjalan,
sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang
yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).
Aisyah
berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin
sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia berikan
gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. (Shahih
Muslim 2/1085).
Di
antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada
Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian
setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya
dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).
Aisyah
berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam
untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar
sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu
umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa
mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali
dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu
Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah
Saudah seraya berkata kepadanya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar
untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan
itu, maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi
kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan
Muslim).
Saudah
terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah
berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah
kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah
7/721).
Saudah
termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti
Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah
meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum
dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya
dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Sofiah binti Huyai bin Akhtab
(Wafat
50 H)
Nama dan Nasabnya
Nama
lengkapnya adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin
Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn dari
keturunan Harun bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani
Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun
setelah masa kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Ayahnya adalah
seorang pemimpin Bani Nadhir.
Sejak
kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan
kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang
seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya
tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di
Mekah Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut,
padahal sudah jelas tertulis di dalarn kitab mereka. Demikian juga ayahnya,
Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat
dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam
banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay
terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji
untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan
perjanjian tidak rnengkhianati kaurn muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan
tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan
tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya
terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk rnenghasut kaum
Quraisy agar memerangi kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa
agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka
lebih baik daripada tuhan Muhammad.
Masa Pernikahannya
Sayyidah
Shauiyyah bin Huyay r.a. telah dua kali menikah sebelurn dengan Rasulullah.
Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani
Quraizhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya
bernama Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani
Quraizhah yang diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
Penaklukan Khaibar dan Penawanannya
Perang
Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang
telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam. segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan
berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat
untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Setelah
perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh
tahun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. merencanakan penyerangan
terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam. memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar,
benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga
beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam.
Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta
rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara
tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal
mati suaminya.
Bilal
membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam.. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara
kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi
jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian
beliau bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu,
wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati
mayat-mayat suami mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. rnemilih
Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam kepadanya dan
kemudian diterirnanya.
Seperti
telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassalam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau.
Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Anas r a. berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi
Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui
tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah
rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah
mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah merneluk Islam.” Ungkapan
Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Rasulullah dan rindunya
terhadap Islam.
Bukti-bukti
yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan
sesuatu dalarn tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya.
Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah
sehingga berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan
bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat
bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi
itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut
raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar
perkawinan dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa
landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika
beliau memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau
tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih
untuk tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi
yang sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena
kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam. menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya
beliau terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau
menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang
Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka,
Rasulullah pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang
dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba
unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada
Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu
dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan
Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan
Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab
berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah
mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika
itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan
mcngungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu
kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah
menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik
dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits
riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata,
‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya dan
berkata, ‘Mengapa cngkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar
mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada
di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah
engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah
satu bukti cinta Hafshah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul
menjelang beliau wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin
apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah
memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!”
Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari
isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah
Rasulullah wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin
karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap
komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsrnan bin Affan, dia
berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam
menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat
yang lapang dan mulia di sisiNya. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Ummu Habibah binti Abu Sufyan
(Wafat
44 H)
Dalam
perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang
berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana,
ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya
kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian
hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia
tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga
suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup
di negeri asing sampai wafat?
Allah
tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar
penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau
rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada
orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang
beriman.
Keistimewaan
Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai
putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap
dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu
Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi
Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi
Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah
binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat
Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal
memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan
sangat cantik.
Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika
usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya,
dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang
teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan
judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya
telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti
kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit
keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.
Sementara
itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru,
yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya.
Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya
memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam
bersamanya.
Mendengar
misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang
terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk
berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah
bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa
penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak
agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah
mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang
kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah
berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama
mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat
dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal
mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di
Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke
Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang
musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa
tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan
cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum
habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum
muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit
demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu
Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah
menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah,
keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu
Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani,
dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama
Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu
baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat,
namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman
keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah,
Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke
Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri
dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk
keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam
Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa
terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya.
Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya,
Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan
seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara
keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung
dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita
yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang
berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau
Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan
Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk
dan berniat menikahinya.
Ummu
Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam
tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan
Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan
menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis.
Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia
adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi
harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu,
‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku
menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata
lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku
menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah
dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di
jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah
kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa
hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita
pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu
Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di
antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
Hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassalam
Rasululullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan
membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri
mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang
Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka
mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar.
Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah
kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka
cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke
dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar
yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya.
Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat
dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan
hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan
konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada
riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa
cemburu.
Posisi yang Sulit
Telah
kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara
istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika
Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika
harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang
Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah
bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah
terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal
itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan
dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum
muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani
Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum
muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal
dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan
Rasulullah.
Sesampainya
di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih
dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk
kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada
di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah.
Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu
Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak
berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat
itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu
Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata,
“Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau
rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk
Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka
engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan
pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk
menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah
menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim
menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat
hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
Allah
mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan
tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan
ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas
sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat
kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan
menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah,
meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas
kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang
sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan
Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan,
dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan
selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.”
Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi
jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan
keislaman ayahnya.
Akhir sebuah Perjalanan
Setelah
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di
rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak
berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki
posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat
sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak
meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat.
Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah
bersabda,
“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat
sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu
Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar
dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu
Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya
dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah
memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh
berkah. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Ummu Salamah
(Wafat
59 H)
Ummu
Salamah adalah seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan
menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan,
lebih-lebih setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan
berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendaparkan kedudukan
mulia di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.. Di dalam sirah Ummahatul
Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya
yang dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu
menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.
Nama
sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan narna Ummu
Salamah. Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy.
Ayahnya
bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzurn. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal
sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir)
karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia
adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah
bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah
al-Kananiyah yang berasal dari Bani Faras.
Demikianlah,
Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani.
Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya
telah tertanam sejak kecil.
Pernikahan dan Perjuangannya
Banyak
pemuda Mekah yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya
adalah Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum,
seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang
gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari
Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka
diliputi kerukunan dan kesejahteraan.
Tidak
lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk
Islam dan menjadi orang-oramg pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan
Hindun, dia tergolong orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama
suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka.
Orang-orang
Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan
agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti
itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengizinkan mereka untuk hijrah ke
Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka
menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab,
Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah
beberapa lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar
keislaman dua tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin
Abdul-Muththalib. Akan tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung,
bahkan bertambah dahsyat. Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu
Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya,
yaitu Bani Makhzum, dan Abu Thalib menyatakan perlindungannya.
Cobaan Datang
Karena
orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka
hati penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan
kaum muslimin untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perseorangan.
Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan
mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian
merampas serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut
campur tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas
dan dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan
dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan
karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan
demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus
menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang
laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul
suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah,
kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat
keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di
Madinah.
Pesan Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam
membela Islam, peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam
berperang. Rasulullah menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil
Rasulullah di Madinah ketika beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil
Asyirah pada tahun kedua hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud.
Ketika
dalam perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris
meninggal, namun beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah
Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mencrima berita bahwa Bani
Asad hendak menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam
misi ini, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah
seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqash, Abu
Ubaidah bin Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke
Bukit Quthn, tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan
Abu Salamah, dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan
perang. Di Madinah, luka-luka Abu Salamah karnbuh sehingga dia harus beristirahat
beberapa waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan mendoakannya.
Ummu
Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga
dia merawat dan menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah
menghebat, kemudian Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku mendapat
benita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya
masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak
menikah lagi, dan Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga.
Demikian pula jika si istri yang meninggal, dan
suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji bahwa
engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji untukmu untuk
tidak menikah lagi sepeninggalmu.”
Abu Salamah berkata, “Maukah engkau menaati perintahku?” Dia menjawab, “Adapun
saya bermusyawarah hanya untuk taat.” Abu Salamah berkata, “Seandainya
aku mati, maka menikahlah.” Lalu dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah,
kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku seseorang yang lebih baik dariku,
yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.”
Pada
detik-detik akhir hidupnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. selalu
berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada
Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang
menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang
mulia dan bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya
Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku
sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali,
dia berhak atas takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah
dan bersabda, “Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah
sebagaimana yang telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah,
dan kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam
musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya
untuknya.”
Setelah
itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berdo’a: “Ya Allah, berilah
ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan
berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”
Abu
Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh
kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salarnah
diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah
wafatnya Abu Salarnah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang
Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat
suaminya dan untuk. melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq
dan Umar bin al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada
saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum
mendapatkan orang yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang
dialaminya. Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia
memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih
baik.” Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dan Abu Salamah, wahai
Rasulullah?”
Di Rumah Rasulullah
Rasulullah
mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki
kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar
dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang
untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam
keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu
Salarnah dengan maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah
diterimanya pinangan tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima
pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan
semua orang di dunia.
Dengan
perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin,
dan oleh Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang
digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah
meninggal dunia.
Hal
itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting
oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., lalu aku dipindahkan dan
ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin).”
Beberapa
keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan
berpikir, dan keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki
kedudukan yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., seperti
interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang
diliputi rasa kasih sayang dan kelemahlembutan.
Kedudukannya yang Agung
Di
antara perkara yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair “Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh
di Mekah pada hari penyembelihan (qurban) — padahal saat itu merupakan hari
(giliran)nya. Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas kesetujuannya.”
Begitu
juga hadits Ummi Kulsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam
(kitab) Thabaqat-nya. Ummi Kultsum berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. menikahi Ummu Salamah, belau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku
menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan
selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal
dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena
dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikkü.”
Sebagaimana
yang dikatakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., Raja Najasyi meninggal dunia,
dan hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada
setiap istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi
(sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah
Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. memasukkannya
dalam kalangan ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah
bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan
anak perempuan Ummu Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak
perempuannya, Fathimah azZahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain r.a.,
lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya
tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia.”
Lalu
menangislah Ummu Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
menanyakan tentang penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah,
engkau mengistimewakan mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau
tinggalkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu
termasuk keluargaku.”
Anak
perempuan Ummu Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada
masanya.
Sebelum
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mempersunting Ummu Salamah, wahyu
pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah
membanggakannya pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah
menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu
Salamah.
Beberapa Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu
Salamah
Di
antara sikap agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu
ia menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dalam perjalanannya menuju
Mekah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah
mereka untuk memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua
belah pihak.
Akan
tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa
orang-orang musyrik menyianyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara
mayonitas yang menaruh dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata
kepada Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita
serahkan nyawa di dalam agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam. menjawab, “Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan
menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyianyiakanku.”
Akan
tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban
kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau
mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan.
Beliau
menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum
muslimin. Ummu Salamah berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan
perintah Allah ini dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian
janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau
menyembelih qurbanmu serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan
sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat
Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan
menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain
tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang
mendahului mereka.
Ummu
Salamah telah menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. di banyak
peperangan, yaitu peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if,
peperangan Hawazin, Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita
tidak melupakan sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Urnar datang
kepadanya dan mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta kekasaran mereka terhadap
Rasulullah. Maka ia berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab.
Engkau
telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. beserta istri-istrinya?”
Setelah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. meninggal dunia ia senantiasa mengenang
beliau dan sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak
melakukan puasa dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits
yang berasal dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Telah
diriwayatkannya sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan
suaminya, Abu Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang
meriwayatkan darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan
para pemuka dan sahabat serta ahli hadits.
Di
antara beberapa sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah.
Waktu itu Nabi keluar dari Madinah bersarna bala tentaranya dengan kehebatan
dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang
musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan rnaksud
menemui Rasulullah untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk
dari mereka, Abu Sufyan bin al-Harts bin Abdul-Muththalib (anak paman
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin
al-Mughirah (anak bibi [dari ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak).
Ketika mereka berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam., beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan
mereka yang keras terhadap kaurn muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka
berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap
keluarganya sendiri dan juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka berdua
adalah anak parnanmu dan anak bibirnu (dan ayah) serta iparmu.” Rasulullah
menjawab, “Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua. Adapun anak
parnanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku
(dari ayah) serta iparku telah berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan.”
Pernyataan
itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata,
“Demi Allah, ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua
tanganku -pada saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian karni harus
berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu
Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya
hati beliau menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah
keduanya dan menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.
Sikapnya terhadap Fitnah
Ummu
Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah)
Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab..
Pada
masa khilafah Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan
kaum muslimin di seputar khalifah. Bahaya fitnah sernakin memuncak di langit
kaum muslirnin. Maka ia pergi menernui Utsman dan menasihatinya supaya tetap
berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta
petunjuk Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk
tersebut selama-lamanya.
Apa
yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya
Utsman yang saat itu tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup
kencang terhadap kaurn muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad
untuk keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
al-’Awwam dengan tujuan mernobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib.
Maka Ummu Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
“Dari
Ummu Salamah, Istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu’
minin.
Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah
(Tuhan) melainkan Dia.
Amma ba’du.
Engkau sungguh telah merobek pembatas antara
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dan umatnya yang merupakan hijab yang
telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka
jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau
niengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban
jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu
melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh
dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa
diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada
segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya.”
Ummu
Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan
kaum muslimin atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu
Salamah mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalan barisan Ali.
Saat Wafatnya
Pada
tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan
pikun merambah di pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci
naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan
aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah r.a.
dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah. dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Zainab binti Jahsy
(Wafat
59 H)
Pernikahan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan
pada perintah Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti
Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab
adalah anak perempuan dan bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib.
Beliau sangat mencintai Zainab.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama
lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin
Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah
dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah
menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah
binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di
Mekah dua puluh tahun sebelurn kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia
tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang
cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika
orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab
termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati
ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama
keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah
Terdapat
beberapa ayat A1-Qur’an yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan
pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah
adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin
menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga
Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah
dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin
Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Ayah
Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa
Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara
tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku
tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang
engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.”
Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai
anak. Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam
dari kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia
rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah
bersabda tentang Zaid,
“Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah
dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah
telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah
memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah,
beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak
peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk
untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah
tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai
komandan pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya
sebagai pengganti beliau.”
Masih
banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam.. Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid
bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya,
begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin
seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah
menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau,
sehingga turunlah ayat kepada mereka :
“Dan
tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Akhirnya
Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun
sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam. ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia
kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik.
Pernikahan
itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan
diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan
tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid,
Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid
menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid
pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan
menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar
itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada
Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan
perintah Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus
istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan din dan
bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya
terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah.
Prinsip
dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy
adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman
jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama
dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat
Al-Qur’an telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman,
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab : 5)
Karena
itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan
orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab
setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak
Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian
dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah
tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan
peringatan sekali lagi dalam ayat :
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang
yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi
nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, ‘sedang
kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut
kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah
ketetapan Allah itu pasti terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat
di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan
anak angkat.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang
perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita
tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga
Madinah.
Zainab
mulai memasuki rurnah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah
satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak
perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri
lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan
kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang
munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah
bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah
ayat yang berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab
berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku
utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di
antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril
yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki
hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat
mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia
sangat pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah
tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas
perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita
Yahudiyah itu.
Zainab
bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan
sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah.
Wafatnya
Zainab
binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau,
yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab,
dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat
dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain
kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah
dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku,
kerjakanlah dari sisi yang lain.” Sernasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan
sedekah di jalan Allah.
Tentang
Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak
menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat
wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada
Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi,
paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat
bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang
memiliki tabiat yang keras.”
Semoga
Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat
dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
Sumber :
Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
PUTRA-PUTRI RASULULLAH
Al-Qosim bin Muhammad
Ia
merupakan putra pertama Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم dan beliau dijuluki dengan Abul
Qosim, ia hidup hingga mampu berjalan kemudian meninggal dunia dalam
usia 2 tahun.
Tidak
boleh orang berkunyah ‘Abul Qosim’ berdasarkan Hadits Rasulullah shollahu’alaihiwasallam,
“Hendaklah kalian bernama dengan nama-namaku tetapi jangan berkunyah dengan
kunyahku (Abul Qosim).” (HR. Bukhori no. 3537 dll).
Ibnul
Qoyyim mengatakan, “Pendapat yang benar bernama dengan nama Nabi itu
diperbolehkan. Sedangkan berkunyah dengan kunyah Nabi itu terlarang. Berkunyah
dengan kunyah Nabi saat beliau masih hidup itu terlarang lagi. Terkumpulnya
nama dan kunyah Nabi pada diri seseorang juga terlarang.” (Zaadul Ma’ad,
2/317, Muassasah Ar-Risalah).
Beliau
juga mengatakan, “Kunyah adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap orang
yang diberi kunyah… diantara petunjuk Nabi adalah memberi kepada orang yang
sudah punya ataupun yang tidak punya anak. Tidak terdapat Hadits yang melarang
berkunyah dengan nama tertentu, kecuali berkunyah dengan nama Abul Qasim.” (Zaadul
Maad, 2/314).
Imam
Ibnu Muflih berkata, “Diperbolehkan berkunyah meskipun belum memiliki anak.” (Al-Adab
Asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 3/152, Muassasah Ar-Risalah).
Zainab binti Muhammad
(Wafat
8 H)
Zainab
adalah putri tertua Rasulullah.. Rasulullah. telah menikahkannya dengan sepupu
beliau, yaitu Abul ‘Ash bin Rabi’ sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, atau
ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka. lbu Abul ‘Ash adalah Halah
binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya dengan Abul
‘Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali dan Umamah. Ali meninggal ketika
masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin
Abi Thalib. setelah wafatnya Fatimah.
Setelah
berumah tangga, Zainab tinggal bersama Abul ‘Ash bin Rabi’ suaminya. Hingga
pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab mengunjungi ibunya.
Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya,
ayahnya, Muhammad. menjadi Nabi akhir jaman. Zainab mendengarkan keterangan
tentang Islam dari ibunya, Khadijah.. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan
menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun
ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul ‘Ash.
Sedangkan
Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala.
Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai peniaga. Ia sering meninggalkan Zainab
untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad
sebagai Nabi.. Namun, ia tidak mengetahui bahwa istrinya, Zainab sudah memeluk
Islam. Pada tahun ke-6 setelah hijrah Nabi. ke Madinah.
Abul
‘Ash bin Rabi’ pergi ke Syria beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang.
Ketika Rasulullah. mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali dari
Syria, beliau mengirim Zaid bin Haritsah ra. bersama 313 pasukan muslimin untuk
menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka menghadang kafilah ini di dekat Al-is di
Badar pada bulan jumadil Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan barang-barang
yang dibawanya serta menahan beberapa orang dari kafilah itu, termasuk Abul
‘Ash bin Rabi’. Ketika penduduk Mekkah datang unluk menebus para tawanan, maka
saudara laki-laki Abul ‘Ash, yaitu Amar bin Rabi’, telah datang untuk menebus
dirinya. Ketika itu, Zainab istri Abul ‘Ash masih tinggal di Mekkah. la pun
telah mendengar berita serangan kaum muslimin atas kafilah-kafilah Quraisy
termasuk berita tertawannya Abul ‘Ash.
Berita
ini sangat meiiyedihkannya. Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari
batu onyx Zafar hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwaylid ra.. Zafar adalah
sebuah gunung di Yaman. Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan kalung itu
kepada Zainab ketika ia akan menikah dengan Abul ‘Ash bin Rabi’. Dan kali ini,
Zainab mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul ‘Ash. Kalung
itu sampai di tangan Rasulullah. Ketika beliau. melihat kalung itu, beliau
segera mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau kepada istrinya yang
sangat ia sayangi, Khadijah. Beliau berkata, ‘Seorang Mukmin adatah penolong
bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita
lindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. jika kalian bisa mencari jalan
untuk niembebaskan Abul ‘Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu
kepadanya, maka lakukaniah.’ Mereka menjawab, ‘Baik, ya Rasulullah ‘ Maka
mereka segera membebaskan Abul ‘Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab.
Kemudian
Rasulullah. menyuruh Abul ‘Ash agar berjanji untuk membiarkan Zainab bergabung
bersama Rasulullah. Dia pun berjanji dan memenuhi janjinya itu. Ketika
Rasulullah. pulang ke rumahnya, Zainab datang menemuinya dan meminta untuk
mengembalikan kepada Abul ‘Ash apa yang pernah diambil darinya. Beliau
mengabulkannya. Pada kesempatan itu, Beliau pun telah melarang Zainab agar
tidak mendatangi Abul ‘Ash, karena dia tidak halal bagi Zainab selama dia masih
kafir.
Llalu
Abul ‘Ash kembali ke Mekkah dan menyelesaikan semua kewajibannya. Kemudian dia
masuk Islam dan kembali kepada Rasulutiah sebagai seorang Muslim. Dia berhijrah
pada bulan Muharram, 7 Hijriyah. Maka Rasulullah. pun mengembalikan Zainab
kepadanya, berdasarkan pernikahannya yang pertama
Zainab
wafat pada tahun 8 Hijriyah. Orang-orang yang memandikan jenazahnya ketika itu,
antara lain ialah; Ummu Aiman, Saudah binti Zam’ah, Ummu Athiyah dan Ummu
Salamah.. Rasulullah. berpesan kepada mereka yang akan memandikan jenazahnya
ketika itu, ‘Basuhiah dia dalarn jumlah yang ganjil, 3 atau 5 kali atau iebih
jika kalian merasa lebih baik begitu. Mulailah dari sisi kanan dan
anggota-anggota wudhu. Mandikan dia dengan air dan bunga. Bubuhi sedikit kapur
barus pada air siraman yang terakhir. Jika kalian sudah selesai beritahukaniah
kepadaku.’ Ketika itu, rambut jenazah dikepang meniadi tiga kepangan, di samping
dan di depan lalu dikebelakangkan. Setelah selesai dari memandikan jenazah,
Ummu Athiyah memberitahukan kepada Nabi. Lalu Nabi memberikan selimutnya dan
berkata, ‘Kafanilah dia dengan kain ini.’
Cerita cinta
Cinta
tak cukup untuk menyatukan dua manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan
mungkin mereka saling bersama. Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali
yang telah terpisahkan sekian lama.
Tersebutlah
kisah tentang putri pemimpin para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang
wanita bangan Quraisy, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin
Qushay Al-Qurasyiyyah radhiallahu ‘anhu, saat ayahnya memasuki usia tiga puluh
tahun. Dia bernama Zainab radhiallahu ‘anha bintu Muhammad bin ‘Abdillah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semasa
hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda, Abul
‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay
Al-Qurasyi namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan
Khadijah. Ketika itu, Khadijah radhiallahu ‘anha menghadiahkan seuntai kalung
untuk pengantin putrinya. Dari pernikahan itu, lahir Umamah dan ‘Ali, dua
putra-putri Abul ‘Ash.
Tatkala
cahaya Islam merebak, Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka hati Zainab radhiallahu
‘anha untuk menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ masih berada di atas
agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda…
Orang-orang
musyrik pun mendesak Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan
tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainab radhiallahu
‘anha masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah.
Ramadhan
tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badr. Dalam pertempuran itu,
terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang
dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’.
Penduduk
Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara
harta tebusan itu seuntai kalung milik Zainab radhiallahu ‘anha untuk kebebasan
suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkenang pada Khadijah radhiallahu ‘anha yang telah tiada. Betapa terharu hati
beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para
shahabat, “Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab
dan mengembalikan harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para
shahabat pun menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah!”
Kemudian
mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab
yang dijadikan harta tebusan itu.
Ketika
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Abul ‘Ash untuk berjanji
agar membiarkan Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah
radhiallahu ‘anhu bersama salah seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah
kalian ke perkampungan Ya’juj sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia
kemari.”
Berpisahlah
Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan Islam,
meninggalkan suaminya yang masih berkubang dalam kesyirikan.
Menjelang
peristiwa Fathu Makkah, Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan
dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam
perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang pasukan
Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan
mereka dan mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul
‘Ash berhasil meloloskan diri.
Ketika
gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan.
Subuh
tiba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri
menunaikan Shalat Shubuh. Saat itu, Zainab radhiallahu ‘anha berseru dengan
suara lantang, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan
perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”
Usai
shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap pada para shahabat
sembari bertanya, “Kalian mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, wahai
Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Sesungguhnya
aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian
dengar.”
Kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui putrinya dan berpesan, “Wahai
putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena
dirimu tidak halal baginya.” Zainab radhiallahu ‘anha menjawab, “Sesungguhnya
dia datang semata untuk mencari hartanya.”
Setelah
itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pasukan Zaid bin
Haritsah radhiallahu ‘anhu dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash
termasuk keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil
hartanya sebagai fai’ yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin
kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi
kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak atas harta itu.” Para
shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu
padanya.”
Seluruh
harta yang dibawa Abul ‘Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit
pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap
harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya. Lalu dia bertanya, “Apakah masih
ada di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?” Mereka menjawab,
“Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang
yang mulia dan memenuhi janji.” Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan,
“Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi
Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku
khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah
Allah Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku
masuk Islam.” Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam.
Enam
tahun bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama
pun menjelang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putri
tercintanya, Zainab radhiallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Ar- Rabi’
radhiallahu ‘anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali
maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka.
Namun,
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan taqdir-Nya. Tak lama setelah
pertemuan itu, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke
hadapan Rabb-nya, pada tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya
untuk selamanya.
Di
antara para shahabiyyah yang memandikan jenazahnya, ada Ummu ‘Athiyyah
Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah
Zainab radhiallahu ‘anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dengan guyuran air bercampur daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab
radhiallahu ‘anha dijalin menjadi tiga jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan
kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putri pemimpin para nabi itu
telah pergi…
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr
(4/1701-1704,1853-1854)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu
Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim
Al-‘Ali (hal. 192)
- Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi
(2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran,
dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah.
Ruqayyah Binti Rasulullah
(Wafat
2 H)
Ruqayyah
telah menikah dengan Utbah bin Abu lahab sebelum masa kenabian. Sebenarnya hat
itu sangat tidak disukai oleh Khadijah.. Karena ia telah mengenal perilaku ibu
Utbah, yaitu Umrnu jamil binti Harb, yang terkenal berperangai buruk dan jahat.
ta khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya
tersebut. Dan ketika Rasulullah. telah diangkat menjadi Nabi, maka Abu
Lahablah, orang yang paling memusuhi Rasulullah. dan Islam. Abu Lahab telah
banyak menghasut orang-orang Mekkah agar memusuhi Nabi. dan para sahabat.
Begitu pufa istrinya, Ummu Jamil yang senantiasa berusaha mencelakakan
Rasulullah. dan memfitnahnya. Atas perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang
keras terhadap Rasulullah., maka Allah telah menurunkan wahyu-Nya, ‘Maka
celakalah kedua tangan Abu lahab, (Al lahab: 1)
Setelah
ayat ini turun, maka Abu lahab berkata kepada kedua orang putranya, Utbah dan
Utaibah, ‘Kepalaku tidak haial bagi kepalamu selama kamu tidak menceraikan
Putri Muhammad.’ Atas perintah bapaknya itu, maka Utbah mericeraikan istrinya
tanpa alasan. Setelah bercerai dengan Utbah, kemudian Ruqayyah dinikahkan oleh
Rasulullah. dengan Utsman bin Affan.
Hati
Ruqayyah pun berseri-seri dengan pernikahannya ini. Karena Utsman adalah
seorang Muslim yang beriman teguh, berbudi luhur, tampan, kaya raya, dan dari
golongan bangan Quraisy. Setelah pernikahan itu, penderitaan kaum muslimin
bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan dari kafirin Quraisy. Ketika
semakin hari penderitaan kaum muslimin, termasuk keluarga Rasulutlah. bertambah
berat, maka dengan berat hati Nabi. mengijinkan Utsman beserta keluarganya dan
beberapa muslim lainnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Ketika itu
Rasulullah. bersabda, ‘Pergilah ke negeri Habasyah, karena di sana ada seorang
raja yang terkenal baik budinya, tidak suka menganiaya siapapun, Di sana adalah
bumi yang melindungi kebenaran. Pergilah kalian ke sana. Sehingga Allah akan
membebaskan kalian dari penderitaan ini.’
Maka
berangkatlah satu kafilah untuk berhijrah dengan diketuai oleh Utsman bin
Affan. Rasulullah. bersabda tentang mereka, Mereka adalah orang yang pertama
kali hijrah karena Allah setelah Nabi Luth as.’ Setibanya di Habasyah mereka
memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Mereka hidup tenang
dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum muslimin di Mekkah
telah aman. Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung
halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah muslimin yang dipimpimnya itu
akan kembali lagi ke kampung halamannya di Mekkah. Mereka pun kembali. Namun
apa yang dijumpai adalah berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di
Habasyah. Pada masa itu, mereka mendapati keadaan kaum muslimin yang
mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas kaum
muslimin semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Mekkah
pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Mekkah, barulah mereka
mengunjungi rumah masingmasing yang dirasa aman. Ruqayyah pun masuk ke
rumahnya, melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya.
Namun
ketika matanya beredar ke sekeliling rumah, ia tidak menjumpai satu sosok
manusia yang sangat ia rindukan. la bertanya, ‘Mana ibu?….. mana ibu?….’
Saudara-saudaranya terdiam tidak menjawab. Maka Ruqayyah pun sadar, orang yang
sangat berarti dalam hidupnya itu telah tiada. Ruqayyah menangis. Hatinya
sangat bergetar, bumi pun rasanya berputar atas kepergiannya. Penderitaan
hatinya, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Tidak lama berselang, anak
lelaki satu-satunya, yaitu Abdullah yang lahir ketika hijrah pertama, telah
meninggal dunia pula. Padahal nama Abdullah adalah kunyah bagi Utsman ra.,
yaitu Abu Abdullah.
Abdullah
masih berusia dua tahun, ketika seekor ayam jantan mematuk mukanya sehingga
mukanya bengkak, maka Allah mencabut nyawanya. Ruqayyah tidak mempunyai anak
lagi setelah itu.
Dia
hijrah ke Madinah setelah Rasulullah j. hijrah. Ketika Rasulullah. bersiap-siap
untuk perang Badar, Ruqayyah jatuh sakit, sehingga Rasulullah. menyuruh Utsman
bin Affan agar tetap tinggal di Madinah untuk merawatnya. Namun maut telah
menjemput Ruqayyah ketika Rasulullah. masih berada di medan Badar pada bulan
Ramadhan. Kemudian berita wafatnya ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah ke
Badar. Dan kemenangan kaum muslimin yang dibawa oleh Rasulullah. beserta
pasukannya dari Badar, ketika masuk ke kota Madinah, telah disambut dengan
berita penguburan Ruqayyah. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah. berkata,
Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un.’
Para
wanita menangisi kepergian Ruqayyah. Sehingga Umar bin Khattab. datang kepada
para wanita itu dan memukuli mereka dengan cambuknya agar mereka tidak
keterlaluan dalam menangisi jenazah Ruqayyah. Akan tetapi Rasulullah. menahan
tangan Umar. dan berkata, ‘Biarkaniah mereka menangis, ya Umar. Tetapi
hati-hatilah dengan bisikan syaitan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari
Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari
syaitan.’
Ruqoyyah dan Ummu Kultsum
Lahir
dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil
‘Uzza radhiallahu ‘anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu
‘anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin
‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum
datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh
seorang pemuda bernama ‘Utbah, putra Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, sementara
Ummu Kultsum menikah dengan saudara ‘Utbah, ‘Utaibah bin Abi Lahab. Namun,
pernikahan itu tak berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat
Al-Lahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya,
Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, ‘Utbah dan
‘Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!”
Kembalilah
dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat
dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari
musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan
saudari-saudarinya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu
Rasulullah radhiallahu ‘anha disunting oleh seorang sahabat mulia, ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Sebagaimana
kaum muslimin yang lain, mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang
sedemikian dahsyat melalui tangan kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam
keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu
wa Ta’ala bukakan jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan
seorang raja yang tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. ‘Utsman
bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu membawa istrinya di atas keledai, meninggalkan
Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya, berjalan kaki menuju
pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu seharga setengah dinar.
Di
bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu ‘anha melahirkan seorang putra yang bernama
‘Abdullah. Akan tetapi, putra ‘Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika,
ada seekor ayam jantan yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan
sebab musibah ini, ‘Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.
Perjalanan
mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk
hijrah ke Madinah, mereka berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun
Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selang
berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat
bersiap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu,
Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha diserang sakit. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu
‘anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya.
Ternyata
itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr,
Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya karena
sakit yang dideritanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu sendiri yang turun
untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya.
Saat
diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu ‘anha, terdengar kabar gembira
kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid
bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya
kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha pergi untuk
selama-lamanya pada tahun kedua setelah hijrah.
Sepeninggal
Ruqayyah radhiallahu ‘anha, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan
kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk menikah dengan putrinya,
Hafshah bintu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr.
Namun saat itu ‘Utsman dengan halus menolak. Datanglah ‘Umar bin Al-Khaththab
radhiallahu ‘anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengadukan kekecewaannya.
Ternyata
Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu ‘anha untuk dirinya,
dan menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan putrinya, Ummu
Kultsum radhiallahu ‘anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal
tahun ketiga setelah hijrah.
Enam
tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu
‘anha kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa
meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma’
bintu ‘Umais dan Shafiyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhuma.
Tampak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah
itu, beliau duduk di sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang
air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya
semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”
Jasad
Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali
bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah
Al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya…. Wallahu ta’ala
a’lamu bish-shawab.
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr
(4/1701-1704,1853-1854)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu
Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim
Al-‘Ali (hal. 192)
- Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam
Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu
‘Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah
Ummu Kultsum Binti Muhammad
(Wafat
9 H)
Ummu
Kultsum adalah adik Ruqayyah , putri Rasulullah. Ia telah menikah dengan
Utaibah bin Abu Lahab, saudara Utbah yang telah menikahi Ruqayyah, sebelurn
mereka mengenal Islam. Lalu ketika Rasulullah. telah diangkat menjadi Nabi, ia
dan saudara-saudaranya memeluk Islam dengan lapang dada. Dan dakwah Nabi.
Yang
selalu ditentang oleh Abu lahab beserta keluarganya ini, menyebabkan Allah
telah mewahyukan kepada Nabi. firman-Nya yang berbunyi, Maka celakalah kedua
tangan Abu lahab’(Al-lahab: 1) ‘ Setelah tutun ayat ini, Abu lahab berkata
kepads Utaibah anaknya, “Kepalaku tidak halal bagi kepalamu selama kamu tidak
menceraikan putri Nabi. Maka dia pun menceraikan istrinya, Ummu Kultsum begitu
saja. Utaibah mendatangi Nabi. dan mengatakan kata-kata yang menyakitkan hati
Rasulullah. Atas periakuan itu, maka Rasulullah. telah berdoa kepada Allah,
agar mengirimkan anjing-anjing-Nya untuk membinasakan Utaibah. Dan apa yang
telah didoakan oleh Nabi. terhadap Utaibah itu benar-benar teriadi.
Dalam
suatu perjalanan, seekor singa yang ganas teiah memilih Utaibah di antara
teman-temannya untuk diterkam kepalanya. Utaibah mati dalam keadaan yang sangat
mengerikan. Setelah bercerai, maka Ummu Kultsum kembali tinggal bersama
Rasulullah. di Mekkah. Dia ikut hijrah ke Madinah ketika Rasulullah. berhijrah,
kemudian tinggal di sana bersama keluarga Rasulullah. Ruqayyah dan Ummu Kultsum
adalah dua orang saudara yang perjalanan hidup mereka hampir sama.
Mereka
berdua teriahir dari bapak yang sama, ibu yang sama, suami mereka pun kakak
beradik yang namanya mempunyai arti yang sama; Utbah dan Utaibah, mempunyai
mertua yang sama, masuk Islam pada hari yang sama, bercerai pada hari yang
sama, dan setelah perceraian itu, mereka mempunyai suami yang sama pula.
Ketika
Ruqayyah meninggal dunia, maka Utsman bin Affan. menikahi Ummu Kultsum yang
masih perawan yang belum terjamah oleb Utaibah. Pada waktu itu adalah bulan
Rabi’ul-Awwal, tahun ke-3 Hijriyah. Dan keduanya baru berkumpul pada bulan
Jumadits-Tsani. Mereka hidup bersama sampai Ummu Kultsum meninggal dunia tanpa
mendapatkan seorang anak pun. Ummu Kultsum meninggal dunia pada bulan Sya’ban
tahun ke-9 Hijriyah. Rasulullah. berkata, ‘Seandainya aku mempunyai sepuluh
orang putri, maka aku akan tetap menikahkan mereka dengan Utsman.’ Ummu Kultsum
adaiah seorang wanita yang cantik. la senang memakai jubah sutra yang bergaris.
Pada hari wafatnya, jenazahnya telah dimandikan oleh Asma’ binti Umais dan
Shafiah binti Abdul Muthalib. jenazahnya ditempatkan di atas sebuah keranda
yang terbuat dari batang polgon palem yang baru dipotong. Dan pada saat
penguburannya, Rasulullah. duduk di dekat kuburan Ummu Kultsum dengan
berlinangan air mata. Beliau berkata, siapa di antara kalian yang tidak
bercampur dengan istrinya tadi malam?’ Abu Thalhah ra. berkata, ‘Aku, ya
Rasulullah ‘ lalu Beliau menyuruhnya, “Turunlah kamu.” Maka Abu Thalhah turun
dan menguburkan Ummu Kultsum.
Ruqoyyah dan Ummu Kultsum
Lahir
dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil
‘Uzza radhiallahu ‘anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu
‘anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin ‘Abdillah
bin ‘Abdil Muththalib Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum
datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi Allah, Ruqayyah disunting oleh
seorang pemuda bernama ‘Utbah, putra Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, sementara
Ummu Kultsum menikah dengan saudara ‘Utbah, ‘Utaibah bin Abi Lahab. Namun,
pernikahan itu tak berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat
Al-Lahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya,
Ummu Jamil, menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, ‘Utbah dan
‘Utaibah yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!”
Kembalilah
dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat
dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah selamatkan mereka berdua dari
musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan
saudari-saudarinya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu
Rasulullah radhiallahu ‘anha disunting oleh seorang sahabat mulia, ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Sebagaimana
kaum muslimin yang lain, mereka berdua menghadapi gelombang ujian yang sedemikian
dahsyat melalui tangan kaum musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga
akhirnya, pada tahun kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan
jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja yang
tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. ‘Utsman bin ‘Affan
radhiallahu ‘anhu membawa istrinya di atas keledai, meninggalkan Mekkah,
bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya, berjalan kaki menuju pantai. Di
sana mereka menyewa sebuah perahu seharga setengah dinar.
Di
bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu ‘anha melahirkan seorang putra yang bernama
‘Abdullah. Akan tetapi, putra ‘Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika,
ada seekor ayam jantan yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan
sebab musibah ini, ‘Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.
Perjalanan
mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin meninggalkan negeri Makkah untuk
hijrah ke Madinah, mereka berdua pun turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun
Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selang
berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema seruan perang Badr. Para sahabat
bersiap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu,
Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha diserang sakit. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu
‘anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya.
Ternyata
itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr,
Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya karena
sakit yang dideritanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu sendiri yang turun
untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya.
Saat
diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu ‘anha, terdengar kabar gembira
kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid
bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya
kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha pergi untuk selama-lamanya
pada tahun kedua setelah hijrah.
Sepeninggal
Ruqayyah radhiallahu ‘anha, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan
kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk menikah dengan putrinya,
Hafshah bintu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr.
Namun saat itu ‘Utsman dengan halus menolak. Datanglah ‘Umar bin Al-Khaththab
radhiallahu ‘anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengadukan kekecewaannya.
Ternyata
Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu ‘anha untuk dirinya,
dan menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan putrinya, Ummu
Kultsum radhiallahu ‘anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal
tahun ketiga setelah hijrah.
Enam
tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu
‘anha kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa
meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh Asma’
bintu ‘Umais dan Shafiyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhuma.
Tampak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati jenazah putrinya. Setelah
itu, beliau duduk di sisi kubur putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang
air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya
semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”
Jasad
Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa turun dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali
bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah
Al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya…. Wallahu ta’ala a’lamu
bish-shawab.
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr
(4/1701-1704,1853-1854)
- Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu
Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim
Al-‘Ali (hal. 192)
- Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam
Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu
‘Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah.
Fatimah Az Zahra Binti Rasulullah
(Wafat
11 H)
Pemimpin
wanita pada masanya ini adalah pui ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid.
Sesungguhnya allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fathimah yang
mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan
peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi
perselisiha antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali
Hajar Aswad setelah Ka’abah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau
mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara
kabilah-kabilah yang ada di Makkah.
Kelahiran
Fahimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan
nama Fathimah dan julakannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha
(Ibu dari bapaknya).
Ia
putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5
tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas
berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan
gangguan kepada ayahnya.sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya
Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.
Pada
saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fathima dan kakanya Ummu Kulsum tetap
tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya.Setelah
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar,
para sahabat berusaha meminag Fathimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu
untuk meminang tapi nabi menolak dengan lemah lembut.Lalau Ali bin Abi Thalib
dating kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika nabi bertanya, “Apakah
engkau mempunyai sesuatu ?”, Tidak ada ya Rasulullah,” jawabku. “ Dimana
pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” Tanya beliau. “ Masih
ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku. “Berikan itu kepadanya (Fatihmah)
sebagai mahar,”.kata beliau.
Lalu
ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan
baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affat seharga 470 dirham, kemudian
diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli
perlengkapan pengantin.
Kaum
muslim merasa gembira atas perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah
setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al- Hasan dan saat Hasan genap
berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. pada tahun
kelima H ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir benama
Ummu Kultsum.
Rasullah
sangat menyayangi Fathimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui
Fathimah sebelum menemui istri istrinya. Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat
seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah
selain Fathimah, jika ia dating mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu
menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat
Fathimah bila Rasulullah dating mengunjunginya.”.
Rasulullah
mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala diatas mimbar:” Sungguh
Fathima bagian dariku , Siapa yang membuatnya marah bearti membuat aku marah”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan,” Fathimah bagian dariku, aku merasa
terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”.
Setelah
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia
melihat Fathima, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata,” Selamat dating
wahai putriku”. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikan
sesuatu, sehingga Fathimah menangis dengan tangisan yang keras, tak kala
Fathimah sedih lalu Beliau membisikan sesuatu kepadanya yang menyebabkan
Fathimah tersenyum.
Takala
Aisyah bertanya tentang apa yang dibisiknnya lalu Fathimah menjawab,” Saya
tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi
kepada Fathimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga
membuat Fathimah menangis dan tersenyum. Lalu Fathimah menjawab,” Adapun
yang Beliau kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa
sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qura’an dengan hapalan kepada beliau
setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau
berkata “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan
bersabarlah, sebaik baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah Aku.”. Maka akupun
menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang
kedua kali, Beliau berkata,” Wahai Fathimah apakah engkau tidak suka menjadi
penghulu wanita wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari
keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.
Takala
6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fathimah jatuh
sakit, namaun ia merasa gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya.
Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam selasa tanggal 13
Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.
Sumber :
Sirah
Shahabiyah karya Mahmud mahdi al Istambuli & Musthafa Abu an Nashr asy
Syalabi, Penerbit Maktabah Salafy Press, Tahum 2006.
'Abdullah
Ada
yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan pada masa keislaman. Namun ada pula yang
menyebutkan bahwa itu sebelum masa keislaman, lalu ia meninggal dunia dalam
usia yang masih kecil. Ia merupakan putra terakhir Nabi dari Khadijah.
Sumber :
Kitab
Raudhah Al Anwar fi Sirah An Nabiy Al Mukhtar karya Syaikh Shafiyur Rahman Al
Mubarakfury.
Ibrahim
Ia
dilahirkan di Madinah dari budak perempuan milik Nabi yakni Mariyah Al
Qibthiyyah pada bulan Jumadil Ula atau pada bulan Jumadil Akhir tahun ke 9
Hijriyyah. Dan ia meninggal dunia pada tanggal 29 Syawal di tahun ke 10
Hijriyyah, yakni pada hari terjadinya gerhana matahari di Madinah dalam usia
menyusui, yakni dalam umur 16 atau 18 bulan. Lalu dikebumikan di Baqi'. Nabi
pernah berkata, "Sungguh akan ada yang menyusuinya di surga untuk
menyempurnakan masa susuannya."
Sumber :
Kitab
Raudhah Al Anwar fi Sirah An Nabiy Al Mukhtar karya Syaikh Shafiyur Rahman Al
Mubarakfury.
CUCU RASULULLAH
Hasan bin Ali bin Abu Talib
(3-50
H)
Dia
adalah putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah Postur dan paras mukanya
mirip dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya. Dia
lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari pertumpahan darah sesama
muslim, untuk itu dia menyerahkan kursi ke khalifahan kepada Muawiah sampai dia
meninggal dunia di Madinah.
Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Oleh: Ustadz Muhammad Umar Sewed
Beliau
dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para
ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz
VII, hal. 464)
Setelah
ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagian
kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali.
Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnyajuz
ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka
berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab:
“Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau
(Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim
Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan
menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di
kalangan kaum muslimin. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab
As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan
bin Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda
ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpendapat bahwa
pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh
pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi
Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika mereka saling
membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga
wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka?” Maka ia
mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi
Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata:
“Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya
serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatanginya,
berbicara dengannya dan memohon padanya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan
bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau
sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata :
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah
akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum
muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul
Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan
atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau menerimanya. Dan kebenaran ada pada
Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang….” (lihat AlBidayah wan
Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang
sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu
‘anhu.
Itulah
keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut
terkenal dengan tahun jama’ah. Yang mengherankan justru kaum Syi’ah
Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai
‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya
fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata
Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut:
“Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan
yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan
sembilan keturunannya adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka,
bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang bersumber dari
mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber
dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah
pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun
masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah
amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim
minal Qawashim hal. 197-198).
Tetapi
kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan
menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengkafirkannya. Sehingga terdapat dua
kemungkinan :
Pertama, mereka
berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah
agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka
meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang
menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran.
Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun
Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu
‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira
dengannya kemudian menganggap AlHasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah
khilafah Mu’awiyah berlangsung dengan persatuan kaum muslimin karena Allah Subhanahu
wa Ta ‘ala dengan sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu
yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar
Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah
Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun.
Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49
tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter,
maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal karena
racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang
membunuhnya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai
pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
‘Arabi dengan ucapannya:
“Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin
karena dua hal:
Pertama,
bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari
Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah. Yang
kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah seorang
makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat mudah
percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’
ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya
dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari
seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim
minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian
pula dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah
tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula
ada persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas
tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga
Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala
amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.
Husain bin Ali bin Abu Talib
(4-61
H)
Putra
kedua dari perkawinan Ali bin Abu Talib dengan Fatimah. Dia tidak mau membaiat
Yazid, sehingga dia terbunuh dalam perang Karbala tanggal 10 Muharam 61 H/680
M.
Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya
Oleh: Ustadz Muhammad Umar Sewed
Beliau
dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-tahnik (yakni
mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan ke
langit-langitnya -pent.), mendoakan dan menamakannya Al-Husein. Demikianlah
dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, juz VIII, hal.
152.
Berkata
Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim minal Qawashim: “Disebutkan oleh
ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli kufah kepada Al-Husein
(setelah meninggalnya Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu). Kemudian Al-Husein
mengirim Muslim Ibnu Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk membai’at mereka
dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa mereka dahulu pernah
mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu Zubair mengisyaratkan
kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah Al-Husein. Sebelum sampai
beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil telah terbunuh dan diserahkan
kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. “Cukup bagimu ini sebagai
peringatan bagi yang mau mengambil peringatan” (kelihatannya yang dimaksud
adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Al-Husein -pent.).
Tetapi
beliau radhiyallahu ‘anhu tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah
karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak
mendengarkan nasehat orang yang paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu dan menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau
mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam
kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan. Tidak ada
yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-pembela yang
memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya.
Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan
darah Al-Husein, maka datang kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan
jaman. (lihat Al-Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi
dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib, hal. 229-232)
Yang
dimaksud oleh beliau dengan ucapannya ‘Kita ingin mensucikan bumi dari khamr
Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein‘adalah bahwa niat Al-Husein
dengan sebagian kaum muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal
ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru
kita menodai bumi dengan darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Muhibbudin Al-Khatib dalam ta’liq-nya terhadap buku Al-Awashim
Minal Qawashim.
Ketika
Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan mendorong Abdullah bin
Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan Al-Husein meminta untuk dihadapkan kepada
Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau
kembali ke Mekah. Namun mereka tetap membunuh Al-Husein dengan dhalim sehingga
beliau meninggal dengan syahid radhiyallahu ‘anhu. Inna Lillahi wa Inna
Ilaihi Raji’un.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Al-Husein terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan
jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan
Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam
Shahihnya dan dari para imam yang lain.
Adapun
tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa
jalan yang munqathi’ (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya.
Bahkan
dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan
pengada-adaan riwayat tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi
taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti
Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah
pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin
Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka
menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad. Adapun ‘Ubaidillah, tidak
diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husein) dan
memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu
Ziyad pun dibunuh karena itu.
Dan
lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan
Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu.
Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti
apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal.
507-508)
Adapun
yang dirajihkanoleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin Ali radhiyallahu
‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az-Zubair bin Bukar dalam
kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling ‘alim dan
paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia
menyebutkan bahwa kepala Al-Husein dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan
dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan
saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti
mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV, hal. 509)
Demikianlah
Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada hari Jum’at, pada
hari ‘Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61 H dalam usia 54 tahun 6 bulan.
Semoga Allah merahmati Al-Husein dan mengampuni seluruh dosadosanya serta
menerimanya sebagai syahid. Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan
mengadzab mereka dengan adzab yang pedih. Amin.
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Mu’awiyyah
Untuk
membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nyasebagai berikut :
Belum
terjadi sebelumnya manusia membicarakan masalah Yazid bin Muawiyyah dan tidak
pula membicarakannya termasuk masalah Dien. Hingga terjadilah setelah itu
beberapa perkara, sehingga manusia melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah,
bahkan bisa jadi mereka menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya.
Sedangkan kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka melaknat orang tertentu. Kemudian
suatu kaum dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini bahwa Yazid
termasuk orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam yang mendapat petunjuk.
Maka
golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi yang berlawanan :
Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan
bahwasanya dia telah membunuh salah seorang anak perempuan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, membunuh shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak
mereka pada kejadian Al-Hurrah (pembebasan Madinah) untuk menebus dendam
keluarganya yang dibunuh dalam keadaan kafir seperti kakek ibunya ‘Utbah bin
Rab’iah, pamannya Al-Walid dan selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula
bahwa dia terkenal dengan peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.
Pada
sisi lain, ada yang meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang adil,
mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat atau
pembesar shahabat serta salah seorang dari wali-wali Allah. Bahkan sebagian
dari mereka meyakini bahwa dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan
bahwa barangsiapa tidak berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan
dia dalam neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin ‘Adi bahwa
dia adalah wali yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang berhenti
(tidak mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam neraka karena ucapan
mereka yang demikian terhadap Yazid. Setelah zaman Syaikh Hasan bertambahlah
perkara-perkara batil dalam bentuk syair atau prosa. Mereka ghuluw
kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan perkara-perkara yang menyelisihi apa yang
ada di atasnya Syaikh ‘Adi yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena
jalan beliau sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid’ah-bid’ah yang seperti
itu, kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi
mereka dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin ‘Adi sehingga terjadilah fitnah
yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.
Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi
apa yang disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid bin
Muawiyyah dilahirkan pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu dan
tidak pernah bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak pula
termasuk shahabat dengan kesepakatan para ulama. Dia tidak pula terkenal dalam
masalah Dien dan keshalihan. Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim bukan
kafir dan bukan pula zindiq. Dia memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan
tidak disukai oleh sebagian kaum muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain.
Dia memiliki keberanian dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan
kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya.
Namun
pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar yaitu:
1. Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu ‘anhu sedangkan
Yazid tidak memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan
kegembiraan dengan pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi taringnya dengan
besi. Dia juga tidak membawa kepala Husein ke Syam. Dia memerintahkan untuk
melarang Husein dengan melepaskannya dari urusan walaupun dengan memeranginya.
Tetapi para utusannya melebihi dari apa yang diperintahkannya tatkala Samardi
Al-Jausyan mendorong ‘Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya. Ibnu Ziyad pun menyakitinya
dan ketika Al-Husein radhiyallahu ‘anhu meminta agar dia dibawa
menghadap Yazid, atau diajak ke front untuk berjihad (memerangi orang-orang
kafir bersama tentara Yazid -pent), atau kembali ke Mekkah, mereka menolaknya
dan tetap menawannya. Atas perintah Umar bin Sa’d, maka mereka membunuh beliau
dan sekelompok Ahlul Bait radhiyallahu ‘anhum dengan dhalim. Terbunuhnya
beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk musibah besar, karena sesungguhnya
terbunuhnya Al-Husein -dan ‘Utsman bin ‘Affan sebelumnya- adalah penyebab
fitnah terbesar pada umat ini. Demikian juga pembunuh keduanya adalah makhluk
yang paling jelek di sisi Allah. Ketika keluarga beliau radhiyallahu ‘anhu mendatangi
Yazid bin Mua’wiyah, Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke
Madinah.
Diriwayatkan bahwa
Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein dan berkata : “Aku
sebenarnya meridlai ketaatan penduduk Irak tanpa pembunuhan Husein.”
Tetapi dia tidak
menampakkan pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela serta tidak pula
membalasnya, padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq
mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan
perkara-perkara yang lain. Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan
kedustaan-kedustaan atasnya.
2. Ahlil Madinah membatalkan bai’atnya kepada
Yazid dan mereka mengeluarkan utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun
mengirimkan tentara kepada mereka, memerintahkan mereka untuk taat dan jika
mereka tidak mentaatinya setelah tiga hari mereka akan memasuki Madinah dengan
pedang dan menghalalkan darah mereka. Setelah tiga hari, tentara Yazid memasuki
Madinah an-Nabawiyah, membunuh mereka, merampas harta mereka, bahkan menodai
kehormatan-kehormatan wanita yang suci, kemudian mengirimkan tentaranya ke
Mekkah yang mulia dan mengepungnya. Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya
dalam keadaan mengepung Mekkah dan hal ini merupakan permusuhan dan kedzaliman
yang dikerjakan atas perintahnya.
Oleh karena itu,
keyakinan Ahlus Sunnah dan para imam-imam umat ini adalah mereka tidak melaknat
dan tidak mencintainya. Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku katakan kepada
ayahku: “Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta kepada Yazid.”
Maka beliau rahimahullah menjawab: “Wahai anakku, apakah akan mencintai Yazid
seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?” Aku bertanya: “Wahai ayahku,
mengapa engkau tidak melaknatnya?” Beliau menjawab: “Wahai anakku, kapan engkau
melihat ayahmu melaknat seseorang?”
Diriwayatkan pula
bahwa ditanyakan kepadanya : “Apakah engkau menulis hadits dari Yazid bin
Mu’awiyyah?” Dia berkata: “Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia
yang telah melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan?”
Yazid menurut ulama
dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja (Islam -pent). Mereka
tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan
tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang
muslim secara khusus (ta yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Shahih-nya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
Bahwa seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum khamr.
Acap kali dia
didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dicambuknya.
Maka berkatalah seseorang: “Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering dia
didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia
mencintai Allah dan Rasul-Nya. ” (HR. Bukhari)
Walaupun demikian di
kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan laknat terhadapnya
karena mereka meyakini bahwa Yazid telah melakukan kedhaliman yang menyebabkan
laknat bagi pelakunya.\
Kelompok yang lain
berpendapat untuk mencintainya karena dia seorang muslim yang memegang
pemerintahan di zaman para shahabat dan dibai’at oleh mereka. Serta
mereka berkata: “Tidak benar apa yang dinukil tentangnya padahal dia memiliki
kebaikan-kebaikan, atau dia melakukannya dengan ijtihad.”
Pendapat yang benar
adalah apa yang dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah), bahwa mereka tidak
mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di samping itu
kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni
orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan
yang besar.
Diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu ‘anha
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Tentara pertama
yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari)
Padahal tentara
pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyyah dan
pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bersamanya.
Catatan :
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah itu dengan ucapannya :
“Kadang-kadang
sering tertukar antara Yazid bin Mu’ awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu
Sufyan. Padahal sesungguhnya Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan
Shahabat, bahkan orang-orang pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb
(ayah Abu Sufyan bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang
pemimpin Syam yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika
pembebasan negeri Syam. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berjalan bersamanya ketika
mengantarkannya, sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka berkatalah Yazid
bin Abu Sufyan: “Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas kendaraan) atau
aku yang akan turun.” Maka berkatalah Abu Bakar: “Aku tidak akan naik dan
engkau jangan turun, sesungguhnya aku mengharapkan hisab dengan
langkah-langkahku ini di jalan Allah. Ketika beliau wafat setelah pembukaan
negeri Syam di zaman pemerintahan Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau
mengangkat saudaranya yaitu Mu’awiyah untuk menggantikan kedudukannya.
Kemudian
Mu’awiyah mempunyai anak yang bernama Yazid di zaman pemerintahan ‘Utsman ibnu
‘Affan dan dia tetap di Syam sampai terjadi peristiwa yang terjadi.
Yang
wajib adalah untuk meringkas yang demikian dan berpaling dari membicarakan
Yazid bin Mu’awiyah serta bencana yang menimpa kaum muslimin karenanya dan
sesungguhnya yang demikian merupakan bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal
jama’ah. Karena dengan sebab itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa Yazid bin
Mu`awiyah termasuk kalangan shahabat dan bahwasanya dia termasuk kalangan
tokoh-tokoh orang shalih yang besar atau imam-imam yang adil. Hal ini adalah
kesalahan yang nyata.” (Diambil dari Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414)
Bid’ah-bid’ah yang Berhubungan dengan Terbunuhnya
Al-Husein
Kemudian
muncullah bid’ah-bid’ah yang banyak yang diadakan oleh kebanyakan orang-orang
terakhir berkenaan dengan perisiwa terbunuhnya Al-Husein, tempatnya, waktunya
dan lain-lain. Mulailah mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada
hari terbunuhnya Al-Husein yaitu pada hari ‘Asyura (10 Muharram),
penyiksaan diri, mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali
Allah (para shahabat) dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan
ahlul bait serta kemungkaran-kemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab
Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Al-Husein
radhiyallahu ‘anhu telah dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan
mati syahid pada hari ‘Asyura dan Allah telah menghinakan pembunuhnya
serta orang yang mendukungnya atau ridla dengan pembunuhannya. Dan dia
mempunyai teladan pada orang sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya
dia dan saudaranya adalah penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya
telah dibesarkan pada masa kejayaan Islam dan tidak mendapatkan hijrah, jihad,
dan kesabaran atas gangguan-gangguan di jalan Allah sebagaimana apa yang telah
didapati oleh ahlul bait sebelumnya. Maka Allah mulyakan keduanya dengan
syahid untuk menyempurnakan kemulyaan dan mengangkat derajat keduanya.
Pembunuhan
beliau merupakan musibah besar dan Allah subhanahu wa ta’ala telah
mensyari’atkan untuk mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un)ketika musibah dalam ucapannya :
….
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orangyang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa
lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 155-157)
Sedangkan
mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam rangka meratapinya seperti memukul pipi, merobek baju, dan
menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya sangat keras
sebagaimana diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam :
Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul
pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu, bahwa dia berkata: “Aku berlepas diri dari orang-orang yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya, yaitu
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari
al-haliqah, ash-shaliqah dan asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
Empat perkara yang terdapat pada umatku dari perkara
perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: bangga dengan kedudukan,
mencela nasab (keturunan), mengharapkan hujan dengan bintang-bintang dan
meratapi mayit. (HR. Muslim)
Dan
juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak
bertaubat sebelum matinya dia akan dibangkitkan di hari kiamat sedangkan
atasnya pakaian dari timah dan pakaian dada dari nyala api neraka. (HR.
Ahmad, Thabrani dan Hakim)
Hadits-hadits
tentang masalah ini bermacam-macam.
Demikianlah
keadaan orang yang meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya, merobek-robek
bajunya dan lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama dengan itu
kezaliman terhadap orang-orang mukmin (para shahabat), melaknat mereka,
mencela mereka, serta sebaliknya membantu ahlu syiqaq orang-orang
munafiq dan ahlul bid’ah dalam kerusakan dien yang mereka tuju serta
kemungkaran lain yang Allah lebih mengetahuinya.
Sumber :
- Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
- Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
- Al-’Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi
Abu Bakar Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
- Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
- Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh
Ibnu Hajar Al-Asqalani.
- Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
- Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Ali bin Al-Husein Zainal Abidin
(Wafat
93 H)
Nama
sebenarnya adalah Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, neneknya adalah
Fatimah az-zahra binti Rasulillah, terkadang ia disebut dengan Nama Abu Husein
atau Abu Muhammad, sedangkan nama panggilannya adalah Zainal abidin dan
As-Sajad, karena kebanyakan melakukan shalat dimalam hari dan di siang hari.
Perjalanan Hidupnya
Diriwayatkan
bahwa Ia menerima beberapa orang tamu dari Irak, lalu membicarakan Abu Bakar,
Umar dan Utsman tentang sesuatu yang buruk terhadapnya, dan ketika mereka
selesai bicara, maka ia berkata,”Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang
didalam Alquran surat al-Hasyr: 8 yang menegaskan ‘Mereka yang diusir dari
kampung halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena
mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya?”’ Mereka menjawab,
”Bukan…!”
”Apakah
kalian termasuk kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran surat al-Hasyr 97
: ‘Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum
kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang
kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak
mempunyai pamrih apa pun dalam memberikan bantuan kepada kaum Muhajirin. Bahkan
mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri,
kendatipun mereka berada dalam kesusahan?”’ ”Bukan…!”
Kalau
begitu berati kalian menolak untuk tidak termasuk ke dalam salah satu dari kedua
golongan tersebut. Selanjutnya ia berkata” Aku bersaksi bahwa kalian bukanlah
orang yang dimaksud dalam firman allah, “”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman.” (Qs. Al Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari
rumahku, niscaya Allah murka kepada kalian”.
Ali
bin al Husein Zainal ‘Abidin dianggap sebagai ulama yang paling masyur di
Madinah dan pemimpin ulama tabi’in di sana. Hal ini keterangan yang
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dan yang diriwayatkan Ibnu Abbas.
Kurang
lebih 30 tahun Zainal Abidin bergiat mengajar berbagai cabang ilmu agama Islam
di Masjid Nabawi di Madinah. Sikap tidak berpihak pada kelompok mana pun
tersebut mengundang simpati dari semua kelompok yang bertikai. Zainal Abidin
disegani oleh segenap kaum Muslimin baik kawan maupun lawan.
Pada
zamannya, Zainal Abidin diakui masyarakat Muslimin sebagai ulama puncak dan
kharismatik. Ia sangat dihormati, disegani, dan diindahkan nasihat-nasihatnya.
Kenyataan itu tidak hanya karena kedalaman ilmu pengetahuan agamanya, tidak
pula karena satu-satunya pria keturunan Rasulullah, tetapi juga karena
kemuliaan akhlak dan ketinggian budi pekertinya.
Salah
seorang Putera ‘Amar bin Yasir meriwayatkan bahwa: pada suatu hari Ali bin
Husein kedatangan suatu kaum, lalu beliau menyuruh pembantunya untuk membuatkan
daging panggang, Kemudian pembantu itu dengan terburu buru sehingga besi untuk
membakar daging terjatuh mengenai kepala anak Alin bin usein yang masih kecil
sehingga anak tersebut meninggal. Maka Ali berkata kepada pembantunya,’ kamu
kepanasan, sehingga besi itu jatuh’. Setelah itu beliau sendiri mempersiapkan
untuk memakamkan anaknya.”. Menunjukan kesabaran dan kepasrahan beliau, dimana
seorang pembantu telah menyebabkan kematian anaknya. sehingga ia membalas
kejelekan dengan suatu kebaikan.
Sebuah
keterangan yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Abdul Malik ketika ia sedang menunaikan
ibadah haji sebelum diangkat menjadi Khalifah, ia berusaha untuk mencium hajar
aswad tetapi ia tidak mampu melakukannya, kemudian datang Ali bin Husein hendak
mencium hajar aswad juga sehingga orang orang disekitarnya menyingkir dan
berhenti lalu beliau menciumnya. Kemudian orang orang bertanya kepada Hisyam
siapa orang itu?, dia menjawab aku tidak mengenalnya. Maka seseorang berkata”
Aku mengenalnya, dia adalah Ali bin al Husein.
Para
ulama sepakat bahwa Ali bin al Husein ini anak paling kecil dari Husein yang
selamat, sedangkan kakak kakaknya dan kedua orang tuanya terbunuh sebagai
syuhada. Zainal Abidin kecil selamat dari pembunuhan keluarga Rasulullah,
ketika itu ia sedang terlentang diatas tempat tidur karena sakit, sehingga
keadaanya luput dari pembunuhan, saat itu usianya 23 tahun. Allah melindungi
dan menyelamatkannya.
Ia
wafat pada tahun 74 H di Madinah dalam usia 58 tahun dan dimakamkan di Baqi.
Riwayat lain dikatakan ia wafat pada tahun 93 H dalam usia 57 tahun.
Sumber :
Biografi
Ali bin Husein dalam kitab Al ‘ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy.
Penerbit Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rab’ul Awal di
Madinah al Nabawiyah.
Ummi Kultsum binti Ali bin Abu Thalib
(Wafat
75H)
Namanya
adalah Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, orang yang pertama kali masuk
Islam dari golongan anak, memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang luhur
di sisi Rasulullah. Beliau juga putri khalifah Rasyidin yang keempat. Kakeknya
adalah penghulu anak Adam. Ibu beliau adalah ratu wanita ahli jannah, Fathimah
binti Rasulullah, sedangkan kedua saudaranya adalah pemimpin pemuda ahli jannah
dan penghibur hati Rasulullah.
Dalam
lingkungan yang mulia seperti inilah pada zaman Rasulullah Ummu Kultsum
dilahirkan, tumbuh berkembang dan terdidik. Beliau adalah teladan bagi para
gadis muslimah yang tumbuh di atas dien, keutamaan dan rasa malu.
Amirul
Mukminin Umar bin Khathab al-Faruq , Khalifah Rasyidin yang kedua mendatangi
ayahnya untuk meminang beliau. Akan tetapi, mulanya Imam Ali bin Abi Thalib
meminta ditunda, karena Ummu Kultsum masih kecil. Umar berkata: “Nikahkanlah
aku dengannya wahai Abu Hasan, karena aku telah memperhatikan kemuliannya, yang
tidak aku dapatkan pada orang lain.” Maka Ali meridhainya dan menikahkan Umar
dengan putrinya pada bulan Dzulqa’dah tahun 17 Hijriyah, dan hidup bersama
hingga terbunuhnya Umar. Dari pernikahannya mendapatkan dua anak, yaitu Zaid
bin Umar al-Akbar dan Ruqayyah binti Umar.
Yang
mengesankan pada Ummu Kultsum, istri dari Amirul Mukminin, bahwa suatu ketika
Umar keluar pada malam hari seperti biasanya untuk mengawasi rakyatnya (inilah
keadaan setiap pemimpin yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya dalam
naungan daulah Islamiyah ). Beliau melewati suatu desa di Madinah, tiba-tiba
beliau mendengar suara rintihan wanita yang bersumber dari sebuah gubug, di
depan pintu ada seorang laki-laki yang sedang duduk. Umar mengucapkan salam
kepadanya dan bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Laki-laki tersebut
berkata bahwa dia adalah seorang Badui yang ingin mendapatkan kemurahan hati
Amirul Mukminin. Umar bertanya tentang wanita di dalam gubug yang beliau dengar
rintihannya. Laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya
adalah Amirul Mukminin, maka dia menjawab, “Pergilah anda dan semoga Allah
merahmati anda sehingga mendapatkan yang anda cari, dan janganlah anda bertanya
tentang sesuatu yang tak ada gunanya bagi anda.”
Umar
kembali mengulang-ulang pertanyaannya agar dia dapat membantu kesulitannya jika
mungkin. Laki-laki tersebut menjawab, “Dia adalah istriku yang hendak
melahirkan dan tak ada seorang pun yang dapat membantunya.” Umar bertolak
meninggalkan laki-laki tersebut dan kembali ke rumah dengan segera. Beliau
masuk menemui istrinya, yakni Ummu Kaltsum dan berkata, ”Apakah kamu ingin
mendapat pahala yang Allah akan limpahkan kepadamu?” Beliau menjawab dengan
keadan yang penuh antusias dan berbahagia dengan kabar gembira tersebut yang
mana beliau merasa mendapatkan kehormatan karenanya, “Apa wujud kebaikan dan
pahala tersebut Wahai Umar?” Maka Umar memberitahukan kejadian yang baru
mereka temui, kemudian Ummu Kultsum segera bangkit dan dan mengambil peralatan
untuk melahirkan dan kebutuhan bagi bayi, sedangkan Amirul Mukminin membawa
kuali yang di dalamnya ada mentega dan makanan. Beliau berangkat bersama
istrinya hingga sampai ke gubug tersebut.
Ummu
Kultsum masuk ke dalam gubug dan membantu ibu yang hendak melahirkan dan beliau
bekerja dengan semangat seorang bidan. Sementara itu, Amirul Mukminin
duduk-duduk bersama laki-laki tersebut di luar sambil memasak yang beliau bawa.
Tatkala istri laki-laki tersebut melahirkan anaknya, Ummu Kultsum secara
spontan berteriak dari dalam rumah, “Beritakan kabar gembira kepada temanmu
wahai Amirul Mukminin, bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya seorang anak
laki-laki. Hal itu membuat orang badui tersebut terperanjat. Karena ternyata
orang di sampingnya yang sedang memasak dan meniup api adalah Amirul Mukminin.
Begitu
pula wanita yang melahirkan tersebut terperanjat, karena yang menjadi bidan
baginya di gubug tersebut ternyata adalah istri dari Amirul Mukminin. Takjub
pula orang-orang yang hadir menyaksikan realita yang berada dalam naungan Islam
tersebut ketika seorang kepala negara dan istrinya membantu seorang laki-laki
dan istrinya dari Badui.
Setelah
berselang beberapa waktu lamanya, tangan yang berdosa dan dengki dengan Islam
membunuh Umar bin Khatthab, sehingga Ummu Kultsum menjadi seorang janda.
Tatkala
Ummu Kultsum wafat, Ibnu Umar menyalatkannya dan begitu pula putranya, Zaid,
yang berdiri di sampingnya dan mereka berdua takbir empat kali.
Sumber :
Kitab
Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr
asy-Syalabi.
PAMAN RASULULLAH
'Abbas bin Abdul Muththalib
(Wafat
32 H)
Nama
sebenarnya adalah Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim, ia adalah seorang paman
Nabi Shallallahu alaihi wassalam, dengan nama panggilan Abu Fadhel, ia
termasuk pemukan Quraisy baik semasa jahililliyah maupun setelah Islam, ia
memeluk Islam sebelum Hijrah secara diam diam dan tetap berdiam di Makkah guna
dapat mengirimkan berita tentang kaum Musryikin kepada Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam.
Dia
sempat mengikuti perang Hunain bersama Rasulullah dan termasuk pertahanan yang
paling kuat, ia ikut rombongan Anshar dalam Baiat Akabah. Ia adalah paman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dan salah seorang yang paling akrab
dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata
menegaskan, “Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti
Abbas sama dengan menyakitiku.“
Di
zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para
jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat
dengannya. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam bai’at
al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan
tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah
di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab
pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada
waktu Abbas masih anak-anak, ia pemah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau
puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak
lama antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati nazamya itu.
Istrinya
terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya
bernama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada’-nya. Ia meninggal dunia
di Syam karena bencana penyakit. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu
anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya
mirip benar dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pergi berjihad ke
negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma’bad, mati syahid
di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan
murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah.
Para
ulama berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah
penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya,
ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum
muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia
pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah
menyatakan, “engkau lebih baik tinggal di Mekah “.
Keterangan
kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi’, pembantu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku
menjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu,
Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal,
keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan
terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya.”
Hamzah bin Abdul Muththalib
(Wafat
3 H)
Nama
sebenarnya Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang paman Nabi dan saudara
sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian, Ia Ikut Hijrah
bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan ikut dalam perang Badar, dan
meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah menjulukinya dengan “Asadullah”
(Singa Allah) dan menamainya sebagai “Sayidus Syuhada”.
Ibnu
Atsir berkata dalam kitab ‘Usud al Ghabah, Dalam perang Uhud, Hamzah berhasil
membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat beliau tergelincir
sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat
itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya. lalu hatinya dikeluarkan oleh
Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak tertelan dan segera
dimuntahkannya.
Ketika
Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau
sangat marah dan Allah menurunkan firmannya, ”Dan jika kamu memberikan
balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar." (QS an Nahl 126)
Diriwayatkan
oleh Ibnu Ishaq didalam kitab, ”Sirah Ibnu Ishaq” dari Abdurahman bin Auf bahwa
Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya “Siapakah salah seorang pasukan kalian
yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?”, aku menjawab “Dia adalah
Hamzah bin Abdul Muththalib”. Lalu Umayyah dberkata "Dialah yang
membuat kekalahan kepada kami”.
Abdurahman
bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping
Rasulullah dengan memegang 2 bilah pedang.
Diriwayatkan
dari Jabir bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melihat Hamzah
terbunuh, maka beliau menagis.
Ia
wafat pada tahun 3 H, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dengan “Sayidus
Syuhada”.
Sumber :
Riwayat
Hamzah bin Abul Muthalib dalam Usud al Ghabah Ibn Atsir, Sirah Ibn Ishaq..
Abu Thalib bin Abdul Muthalib
(Wafat
3 SH)
Nama
sebenarnya adalah Abdu Manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim, sedang “Abu Thalib”
adalah nama Panggilan yang berasal dari putra pertamanya yaitu Thalib. Abu
Thalib adalah paman dan ayah asuh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Ia
adalah ayah dari Ali bin Abi Thalib.
Abu
Thalib telah menerima amanat dari ayahnya Abdul Mutthalib untuk mengasuh Nabi
dan telah dilaksanakan amanat tersebut. Nabi adalah sebaik-baik asuhan dan Abu
Thalib adalah sebaik-baik pengasuh.
Abu
Thalib membela Nabi dengan jiwa raganya dalam berdakwah. Ketika Nabi
Shallallahu alaihi wassalam dan pengikutnya di hadang di sebuah lembah. Lalu
datanglah Abu Thalib dengan tegar berkata: “Kalian tidak akan dapat
menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku”. Abu Thalib selalu setia
mendampingi Nabi. Beliau adalah orang yang banyak membantu perjuangan dakwah
Islam.
Abu
Thalib ketika mau meninggal dunia berwasiat kepada keluarganya untuk selalu
berada di belakang Nabi dan membelanya untuk menenangkan dakwahnya.
Abu
Thalib adalah pahlawan Bani Hasyim terkemuka dan pemimpin mereka. Nabi
mengajaknya masuk Islam tapi dia menolak.
Hadist
Bukhari dalam Shahihnya, kitab tafsir No. 4675 dan 4772, Muslim
24, Dari Al Musayyib bin Hazn berkata, “Ketika Abu Thalib hampir mati,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengunjunginya dan mendapati Abu Jahl
dan Abdullah bin Abi Umayyah di sisi Abu Thalib. Lalu Rasulullah berkata, ”Wahai
paman, ucapkan Laa Ilaha Illallah suatu kalimat yang aku akan membelamu karena
ucapan itu dihadapan Allah.”
Abu
Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Apakah kamu membenci agama Abdul
Muthalib?” Beliau terus menerus menawarkan kepada pamannya untuk
mengucapkannya, tetapi kedua orang itu terus mengulang-ulang. Hingga akhir
ucapan Abu Thalib adalah tetap berada pada agama Abdul Muthalib dan enggan
mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Rasulullah bersabda,
“Aku
benar-benar akan memintakan ampunan bagimu selama tidak dilarang”.
Lalu
Allah menurunkan ayat,
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, Walaupun
ornag-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik adalah penghuni neraka jahanam. (At Taubah : 113).
Ayat
ini diturunkan Allah berkenaan dengan Abu Tholib. Dan Allah berfirman kepada
Rasullulah
"Sesungguhnya
kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki." (Al-Qoshosh : 56).
Riwayat
lain: Dari Abu Hurairah, berkata ;
Rasulullah
berkata pada pamannya, “ Ucapkan Laa Ilaaha Illallah, aku akan bersaksi
untukmu pada hari kiamat “, Abu Thalib menjawab, “ Seandainya orang
Quraisy tidak mencelaku dengan mengatakan “ Abu Thalib mengucapkan itu karena
hampir mati ”. Lalu Allah menurunkan ayat (At Taubah : 113) kepada
Rasulullah.
Dari
Al Abbas bin Abdul Muthalib, berkata, “Wahai Rasullulah, apakah engkau bisa
memberi manfaat kepada Abu Thalib, sebab dia dulu memeliharamu dan membelamu?”
Jawab beliau, “Benar, dia berada di neraka yang paling dangkal, kalau bukan
karenaku niscaya dia berada di neraka yang paling bawah.“ (HR. Bukhari
no. 3883, 6208, 6572, Muslim 209)
Dari
Abu Sa`id Al Khudri, berkata, Disebutkan disisi Rasulullah pamannya Abu Thalib,
maka beliau bersabda, ” Somoga syafa’atku bermanfaat baginya kelak di hari
kiamat. Karena itu dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka
mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih”. (HR.Bukhari
3885, 6564, Muslim 210)
Masih
banyak riwayat lainnya yang menyatakan kekufuran Abu Thalib pada saat menjelang
kematian.
Ia
wafat pada tahun 3 SH.
Sumber :
Riwayat
Abu Thalib dalam Ishabah 1/117, Thabaqat Ibn Sa’ad 1/24 dan sumber lainnya.
Sumber:
