PROFESI GURU DARI MASA KE MASA


Profesi guru telah hadir cukup lama di Negara kita tercinta ini, meskipun hakikat, fungsi, latar tugas dan kedudukan sosiologinya telah banyak mengalami perubahan. Sejalan dengan kenyataan itu, keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan nasional. Dimana di dalamnya guru menempati posisi utama dan penting. Memang harus diakui dan tak dapat disangkal, selama ini peran guru diperlakukan kurang taat asas. dalam arti dinyatakan sebagai sosok yang yang teramat penting, namun tanpa disertai kesediaan untuk menghargai mereka sebagaimana mestinya.

A.      PROFESI GURU SEBELUM MERDEKA
1.         Pendidikan di zaman VOC
Pada tahun 1607 sekolah pertama didirian di Ambon. Tujuan utamanya melenyapkan agama katolik selanjutnya jumlah sekolah bertambah pada tahun 1632 sebanyak 16 sekolah di Ambon kemudian meningkat menjadi 33 buah dengan 1300 murid, dan perkembangannya mengalami penurunan di abad 18.
Sekolah pertama di buka di Jakarta pada tahun 1630. Untuk mendidik anak belanda dan jawa menjadi pekerja yang kompoten pada VOC. Pada tahun 1636 menjadi 3 buah dan pada  tahun 1706 telah ada 34 guru dan 4873 murid. Sekolah-sekolah itu terbuka untuk semua murid tanpa terkecuali.
Menurut peraturan sekolah 1643 tugas guru ialah memupuk rasa takut terhadap Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama kristen, mengajar anak berdoa, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa dan guru-guru. Kurikumnya belum ditentukan namun sekolah bisanya menyajikan pelajaran tentang katekismus, agama, juga membaca, menulis, dan bernyanyi. Demikian pula tidak ditentukan lama belajar. Peraturan hanya menentukan bahwa anak pria lebih dari usia 16 dan anak wanita lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah.
2.         Pendidikan sebelum Reorganisasi 1892
Pendidikan guru menjadi masalah penting dalam masa perluasan pendidikan. Sekolah guru (kweekschool) pertama dibuka pada tahun 1852 di Solo, segera diikuti oleh sekolah guru lainnya dipusat bahasa-bahasa utama di Indonesia. Sekolah-sekolah ini menghasilkan lebih dari 200 guru antara 1887 dan 1892. Kemudian setelah depresi ekonomi jumlahnya dikurangi.
Sebelum sekolah guru dapat menghasilkan jumlah guru yang cukup, tidak diadakan syarat khusus untuk melakukan profesi guru ini. Karena gudang dan kantor pemerintah hanya dapat diterima sebagai guru. Mutu pendidkan sering sangat rendah apalagi di luar jawa karena diantara guru ada yang tidak pandai berbahasa melayu, yang tak lancar membaca, atau tak dapat mengalikan. Ada kelas-kelas yang besar sekali. Pada tahun 1859 seorang guru di Kaibobo (seram) harus menghadapi 285 murid dan di Manado 260 murid dalam satu kelas.
Karena  kebutuhan guru yang mendesak setelah 1863, pemerintah memutuskan pada tahun 1892 akan mengangkat guru tanpa pendidikan sebagai guru. Pada tahun 1875 diadakan ujian bagi mereka yang ingin mendapat kualifikasi guru tanpa melalui sekolah guru.  
3.         Sekolah Desa
Pada tahun 1907 diciptkan sekolah baru yakni sekolah desa, yang akan menyebarkan cahaya diseluruh nusantara untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Pelajaran yang diberikan di sekolah itu berupa bahasa jawa, pekerjaan tangan membuat keranjang, pot, genteng dan sebagainya.
Sekolah itu sendiri peremitif. anak-anak duduk di lantai seperti di rumah masing-masing. Kaleng kosong yang diperoleh Cuma-Cuma dari warung cina dijadikan meja tulis. Sebidang tanah dipagari, tempat anak-anak yang menggembalakan kerbau dapat menyimpan kerbaunya selama mereka belajar, diawasi oleh seorang dewasa. Sekolah dibuka pulul 09.00 – 12.00 dan 13.00 – 15.00.
Karena keinginan untuk membuat sekolah desa (Volksshcool) sederhana dan semurah mungkin Van Heutz tidak merasa perlu mencari guru yang kompeten dan mengangap juru tulis desa sudah memadai. atas saran DDPA (Direktur Departemen Pengajaran dan Agama) serta para inspektur akhirnya diangkat seorang guru untuk tiap sekolah.
Pada umunya guru sekolah desa lebih rendah mutunya dari pada gur sekolah lainnya. Karena setelah menjadi guru tidak ada kesempatan untuk memperluas dan memerdalam pengetahuannya. Keuntungannya adalah bahwa mereka tetap tinggal di desa. Mendidik guru di kota membuat mereka  enggan kembali ke desa terpencil. Maka pemerinth dihadapi dilema antara memperbaiki mutu guru atau mengusahakan agar mereka menetap di desa.
Guru dengan pengetahuan yang demikian dangkal tidak akan mencetuskan ide-ide yang refolusioner dalam masyarakat desa. Mereka bukan pencetus ide baru, melainkan banyak sedikit alat pemerintah untuk memelihara keamanan dan ketertiban. Inspeksi yang ketat tidak banyak member kebebasan untuk pembaruan dan rupanya mereka juga tidak akan memulai sesuatu yang baru andaikan diberi kebebasan yang lebih banyak.

B.       PROFESI GURU SETELAH KEMERDEKAAN 
1.         Masa orde baru
Kuliah di IKIP kurang bergengsi dan tidak menjanjikan. Tragisnya pandangan saat itu diakibatkan dari kurangnya apresiasi masyarakat dan pemerintah terhadap pekerjaan guru. Guru tidak mengajar sesuai prinsip-prinsip pedagogik hanya sebatas kewajiban saja. Bahkan guru bisa mengajar lebih dari satu sekolah. Juga bisa bekerja sambilan selesai kewajiban mengajar ditunaikan,  misalnya jadi tukang ojek. Semua itu terjadidemi tuntutan kebutuhan hidup yang melambung ketimbang gaji guru yang kecil. Ada lagi hal yang menimpa orang jika memilih pekerjaan guru seorang pria akan ragu meminang perempuan karena bekerja sebagai guru sebaliknya seorang perempuan ragu memilih pria yang bekerja sebagai guru. Orang tua pun tidak akan mengijinkan anak perempuannya jika dipinang oleh pria yang bekerja sebagai guru. Boleh dibilang masa orde baru yang lalu  memilih kuliah di IKIP dan bekerja sebagai guru adalah hal yang sangat memalukan dan memilukan.
2.         Usai masa orde baru
Guru diberikan apresiasi yang luas oleh pemerintah dengan keputusan presiden bahwa guru merupakan pekerjaan mulia yang harus disejajarkan dengan profesi lainnya seperti dokter dan lainnya, maka pekerjaan guru kini merupakan sebuah profesi. Apresiasi guru merupakan sebuah profesi bukan cuma diucapkan saja melainkan ada kelanjutannya yakni seabrek tugas diemban kepada pemerintah melalui departemen pendidikan untuk menggodok regulasi agar guru lebih bermakna. Regulasi yang dikeluarkan pun bergulir dengan menggandeng lembaga LPTK untuk  menyusun langkah-langkah  progres yang sekarang dikenal dengan nama sertifikasi guru. Seorang guru akan memperoleh sertifikat pendidik setelah melalui rangkaian tahapan baik secara administrasi atau pun pelatiahan.
Pada awalnya pelaksaan sertifikasi ini menimbulkan kontradisi karena proses seleksi saat itu ada guru yang menyertakan protofolio palsu lagi-lagi cuma mengejar sertifikat dan sejumlah tunjangan yang besarnya satu kali gaji pokok per bulan. Kepada guru yang melakukan kepalsuan itu sangat memalukan tapi tidak memilukan bagi pelakunya.  Pemerintah pun tanggap atas hal ini maka instrument pun diperketat dengan menyertakan keaslian dari semua sertifikat atau bukti belajar dan karya ilmiah  yang ditempuh guru selama mengemban tugasnya.
Republik Indonesia yang kita cintai, sudah memberikan apresiasi terhadap guru meski belum semuanya dan maksimal. Tidak meratanya sertifiaksi guru dan  permasalahan pengangkatan pegawai PNS terhadap guru bantu merupakan pekerjaan rumah bagi Institusi pemerintah pusat dan daerah. Berbicara pemerintah daerah, DKI Jakarta, salah satu provinsi yang memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan guru dan dunia pendidikan. Bangga menjadi guru di DKI Jakarta.
Sejatinya saat ini guru dituntut bekerja secara berkualitas dan mau belajar agar selalu inovatif. Guru sebagai agen perubahan sudah selayaknya bukan berpangku tangan atau pesimis atas segala persoalan pendidikan khususnya di sekolah pada satuan pendidikan.  Guru harus mengejar ketertinggalan pengetahuan teknologi dan informasi  yang akan terus berkembang dan melesat. Kita akan terpuruk kalau semua apresiasi yang diterima dari pemerintah pusat dan daerah cuma dihitung secara nominal. Guru harus belajar lagi dan berkarya tiada henti  Bukankah belajar sepanjang hayat selama dikandung badan? Memalukan jika guru berhenti belajar, malas mengembangkan kompetensi dan keprofesionalitasnya. Pekerjaan guru sekarang tidak mamalukan tapi jika selalu pesimis akan memilukan. Guru yang  memalukan adalah guru yang  malas datang kerja, sekali datang marah-marah kepada komunitas sekolah,  tidak belajar untuk hal-hal yang baru dan bertanya. Salam  dan selamat kepada seluruh guru di Republik Indonesia.
3.         Profesi guru di masa kini
Kini, masih banyak guru yang berpendidikan diploma, dan hanya sebagian yang sudah memiliki ijazah sarjana. Walaupun demikian, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, pemerintah telah menetapkan syarat menjadi guru yang profesional adalah memiliki ijazah minimal sarjana (S-1). Sehingga, sebagian guru telah mengikuti seleksi sertifikasi guru buntuk menghasilkan guru yang profesional. Sedangkan sebagian lainnya sedang menempuh studi pada jenjang sarjana (S-1) sambil berharap ikut proses seleksi sertifikasi guru menuju guru profesional.
Dalam proses sertifikasi guru menuju guru profesional, ada beberapa keganjalan menurut versi guru di lapangan. Misalnya, banyak guru yang memiliki pengalaman mengajar di atas 10 tahun, 15 tahun, bahkan di atas 20 tahun, tetapi (karena belum memiliki ijazah sarjana) tidak dapat mengikuti proses sertifikasi. Sedangkan beberapa guru yang sudah memiliki ijazah sarjana (S-1), dengan pengalaman kerja di bawah 10 tahun bahkan ada pula yang di bawah 5 tahun ternyata bisa mengikuti proses sertifikasi guru. Tampak kecenderungan bahwa faktor ijazah lebih kuat pengaruhnya daripada faktor pengalaman kerja. Dengan kata lain, orientasi memenuhi kesejahteraan keluarga dianggap lebih penting dibandingkan dengan upaya pemenuhan tuntutan kerja yang profesional sebagai guru Kinerja guru masa kini, dimanapun tempat bekerjanya, tampaknya mengalami fluktuasi yang kompleks. Di tempat tertentu, kinerja guru begitu bergelora dan bersemangat tinggi. Padahal di tempat lain yang jaraknya hanya ratusan meter, justru kinerja gurunya amburadul. Di satu periode tampaknya kinerja guru meningkat dengan cepat, tetapi pada periode tertentu justru kinerja guru ikut menurun tajam.
Tak jauh berbeda dengan kinerja guru masa kini, aspek kesejahteraan guru juga mengalami fluktuasi. Di daerah tertentu, kesejahteraan guru meningkat pesat. Sedangkan di daerah yang lainnya malah kesejahteraannya memprihatinkan. Dalam satu daerah otonomi sekalipun, kesejahteraan guru antar-sekolah berstatus negeri ternyata tidak sama. Apalagi bila dibandingkan antara guru sekolah negeri dengan guru sekolah swasta. Kiranya ada faktor tertentu yang membuat guru menjadi sejahtera tatkala bekerja di suatu sekolah. Jika suatu sekolah tidak memiliki faktor tertentu yang dimaksud, maka kesejahteraan guru pun menjadi tak menentu.
4.         Masa Mendatang
Profesi guru pada guru mendatang sangat menjanjikan karena telah ada kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat bahwa kelak semua guru minimal berijazah sarjana (S-1). Setelah itu, diprogramkan pula bahwa pada waktunya nanti semua guru telah mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional, dengan imbalan insentifnya satu kali lipat guru gaji pokoknya.  Guru yang berijazah sarjana dan telah dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi, baik melalui jalur portofolio maupun melalui jalur pelatihan, sangat menjanjikan bahwa kesejahteraan mereka akan meningkat tajam. Peningkatannya disebabkan oleh adanya kenaikan gaji pokok (hampir setiap tahun), kenaikan tunjangan fungsional (menurut golongan), kenaikan gaji secara berkala (setiap dua tahun), kenaikan tunjangan daerah (tergantung keuangan pemerintah daerah), dan kenaikan tunjangan perbaikan penghasilan (menurut keuangan pemerintah daerah), serta tunjangan profesi sebagai guru profesional (sebesar satu kali gaji pokok) yang kesemuanya dibayar per bulan. Perhitungan penghasilan tersebut masih berpeluang membesar tatkala Undang-Undang Sisdiknas menyebut pasal maslahat tambahan. Maslahat tambahan dimaksud sebagai penghasilan lain yang tidak mengikat dan besar kecilnya disesuaikan dengan keuangan sekolah atau bobot pekerjaannya. Sunguh amat menjanjikan penghasilan dari profesi guru di masa yang akan datang. Pantas saja, sebagian generasi muda terbaik mulai melirik profesi guru sebagai salah satu profesi alternatif yang harus segera diperjuangkan dan dipersiapkan sejak usia dini.
Di balik gemerlapnya profesi guru di masa depan, penulis masih sanksi tentang kinerja par guru. Apakah guru yang sudah bergelar sarjana dan telah mendapat sertifikat sebagai guru profesional itu lantas kinerja mereka semakin baik? Jawabannya yang pasti “belum tentu”. Mungkin ada sebagian kecil para guru yang kinerjanya meningkat setelah mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional. Tetapi sebagian besar para guru (diduga kuat) kinerjanya tidak mengalami perubahan yang signifikan alias biasa-basa saja, sekalipun mereka telah mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional.
Melalui tulisan ini, penulis mengajak semua pihak untuk mawas diri terhadap kinerja para guru yang memiliki ijazah sarjana dan telah mendapatkan sertifikat, sekaligus tunjangannya sebagai guru profesional. Para guru, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan harus saling mengingatkan agar kinerja mereka secara bersama-sama stabil dan dinamis.

Sumber:
Nasution, S. 2001. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara
Nurdin, Syafruddin. 2005. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulim. Jakarta :    
                  Quantum Teaching.
Setijadi. 1975. Pendidikan di Indonsia dari Zaman ke Zaman. Jakarta : Balai Pustaka.